3. Penyusup

1758 Words
Adrian memarkir mobil begitu saja di halaman rumah. Dia masih merasa sangat kesal dan jengkel. Kepalanya masih sangat pening. Badannya pun tak enak, seperti tak bisa sepenuhnya dia kendalikan. Dia menyandarkan kepala di setir mobil dan mengumpat kesal pada dirinya sendiri. "Bodoh! Bodoh!" berulang kali Adrian mengatakannya sambil memukul-mukul setir mobilnya. Tak dia pedulikan tangannya yang sakit karenanya. Setelah beberapa saat, pria jangkung itu keluar dari mobil dan masuk ke rumah dengan langkah lesu. Dia tak bersemangat membuka pintu rumah yang tidak dalam keadaan terkunci. Lengang. Adrian masuk ke rumah dalam keadaan lelah mental dan fisik. Dia tak mendapati siapa pun di dalamnya. Sepi seperti kuburan. Tak pernah Adrian merasa lebih sepi dari saat ini walaupun kadang Susan dan anak-anak juga pergi bila ada keperluan. Evita segera pergi saat suasana sudah sangat kacau. Suatu tindakan yang cerdas karena bila dia tetap memaksakan diri untuk tetap berada di sana, mungkin nyawanya tak akan selamat. Adrian bukan orang yang bisa bersikap dingin dalam kondisi yang tidak menguntungkan baginya. Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, Adrian merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Sistem tubuhnya belum berfungsi dengan sempurna walaupun sudah melakukan banyak hal. Dia pun meneguk langsung setengah botol air dingin tersebut, kemudian menyiramkan sisanya di kepala. Air dingin mengalir perlahan ke tubuh Adrian. Walau jumlahnya tak banyak, tapi cukup untuk mengurangi panas di badan dan kepala Adrian. Kemeja katun putih pria itu pun perlahan basah dan menempel ke raga yang terpahat sempurna. Tetap indah walaupun wajahnya tampak kusut dan lelah. Kepala Adrian yang sudah mulai dingin, kini merenung dan berpikir ulang tentang kejadian yang dia alami dan solusi yang hendak dia tempuh. Sebenarnya dia cukup takut karena rencananya sangat berisiko tinggi. Namun, di sisi lain, dia merasa harus tetap melakukan hal ini karena dia merasa tak ada cara lain lagi untuk mendapatkan hati Susan. Bagaimana dengan anak-anak? Semua tentang anak-anak akan mudah bila Susan bisa ditaklukkan. Anak-anak akan mengikuti semua keputusan orang tuanya. "Benar, pasti mereka akan menurut nanti!" gumam Adrian pada diri sendiri seraya mengembuskan napas panjang. Pria bermata biru jernih itu lalu meremas botol di tangan dan melemparnya kasar ke tempat sampah. Bulir air menghambur di sekitarnya, membuat karpet dan lantai kayu basah dan terlihat jorok. Dia kemudian menggaruk kepala yang tak gatal, membuat rambut coklat gelapnya yang basah menjadi semakin lepek dan berantakan. Kemudian, tanpa menunggu lebih lama lagi, kakinya bergegas melangkah menuju kamar mandi untuk berendam air dingin. Satu-satunya hal penting yang belum dia lakukan sejak tadi. Setelah sekitar tiga puluh menit, Adrian keluar dari kamar mandi dalam keadaan berbalut handuk kecil yang tergantung begitu rendah di pinggang, menampakkan tubuh kekar berotot yang terbungkus kulit pucat yang sebagian berwarna sedikit lebih gelap karena terpapar matahari. Biasanya, dia memamerkan pemandangan indah itu untuk hanya untuk Susan. Kini, hanya serangga musim panas saja yang bisa menikmatinya karena Adrian tak bermaksud berbagi penampilan terbaiknya kepada wanita lain. Adrian lalu duduk di tepi ranjang dan mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Hai, David! Aku butuh bantuanmu." *** Cahaya matahari menembus tirai musim panas yang tipis, membelai kulit wajah pucat Susan yang terawat dengan baik. Wanita berambut pirang itu membuka mata, menampakkan warna hazel indah yang biasanya selalu membuat siapa pun yang memandangnya tersihir masuk dalam dunia Susan. Namun, kali ini pesona indah tak ada di dalamnya karena si pemilik bola mata cantik itu hanya bisa tertidur dua jam saja. Susan turun dari ranjang dengan hati-hati agar tidak membangunkan kedua anaknya yang masih terlelap. Gaun tidur yang dia kenakan sedikit membuka, menampakkan kulit indah yang masih sangat kencang. Dia tak terlihat seperti seorang ibu dua anak, melainkan seorang remaja wanita yang masih perawan. Karena itulah, akan sangat mengherankan bagi siapa pun bila Adrian yang memiliki wanita sempurna seperti Susan, masih mencari-cari kesenangan di luar rumah. Penampilan Susan jauh lebih menyenangkan mata daripada wanita kebanyakan. Tak terkecuali Evita. Susan menggelung rambut panjangnya agar lebih rapi. Dia lalu pergi ke kamar mandi untuk membereskan urusan paginya dengan perasaan yang masih tak menentu. Hatinya suram dan gelap, sangat kontras dengan suasana di luar saat ini. Bagaimanapun juga, dia kini tak lebih dari sekadar ibu muda yang terluka karena pengkhianatan suaminya. Hancur lebur. Saat menggosok gigi, Susan mendengar tangisan Liana. Dia pun segera berkumur dan bergegas menghampiri putrinya. "Ada apa, Li?" Liana yang kini tengah dipeluk oleh saudara kembarnya tak menjawab pertanyaan sang ibu. Dia memilih memeluk Alan erat tanpa mengatakan apa pun karena takut ibunya akan memarahinya. "Ada apa dengannya, Alan?" tanya Susan kepada sang putra yang tampak ragu memandangnya. Mulut Alan membuka, tetapi tak bersuara. Baru setelah beberapa saat, Alan pun berhasil mengeluarkan suara seraknya, "Dia bilang, tak mau Ayah dan Ibu berpisah. Itu sangat menyedihkan!" Alan memandangi wajah wanita dewasa yang bermata sama dengannya. Anak itu menemukan satu jawaban pasti dari ekspresi sang ibu. Tak akan ada kompromi akan hal itu sehebat apa pun dia dan Liana memohon. Seperti kali ini. Sebenarnya, Alan dan Liana yang tak mau ayah dan ibunya berpisah, bersekongkol untuk bertingkah dramatis agar ibunya berubah pikiran dan memaafkan sang ayah. Itu semua tentu adalah akal bulus Liana yang terlalu sering bergosip dan mencuri dengar pembicaraan orang dewasa. "Dengarkan aku!" bentak Susan kemudian. "Ini adalah urusan antara aku dan Ayah kalian. Jadi, pisah atau tak pisah, kalian berdua harus memakluminya." "Apakah Ibu tak bersedia memaafkan Ayah? Ibu guru di sekolah bilang kita harus pandai memaafkan. Bila kita memaafkan, akan mengurangi beban untuk diri sendiri." Alan menjawab bentakan ibunya dengan jawaban yang dia tiru dari gurunya di sekolah bila ada teman lain yang berbuat usil padanya. Hal itu biasanya akan membuat Alan berhenti membalas perbuatan temannya. Marahnya akan cepat hilang. Sungguh perkataan ajaib yang sangat Alan sukai. Karena itulah, saat ini Alan memakai mantra itu untuk ibunya. Dia berharap hati ibunya juga akan tersentuh dengan jurus silat lidah yang menurutnya hebat. Sayangnya, tidak untuk saat ini. Suasana hati Susan tak mendukung apa pun yang berkaitan dengan kata maaf untuk Adrian. Sepertinya, kedua anak ingusan di hadapan Susan itu belum mengerti betapa besar kesalahan sang ayah. Bagaimana ibu muda itu akan memahamkan hal ini kepada si kembar nanti? Apakah memaksa mereka untuk mengerti arti sebuah kesalahan dan konsekuensinya akan begitu sulit? Padahal, perpisahan hanyalah satu-satunya hal yang Susan inginkan saat ini. Susan menggeleng untuk menepis semua keresahannya. Dia memilih untuk optimis dan mengajarkan hal seperti ini kepada keduanya dengan perlahan. Dia lalu menuju ranjang si kembar dan menarik mereka agar segera bergantian membereskan urusan di toilet. Rencana mulia si kembar telah gagal kali ini. Namun, mereka berdua akan tetap berusaha tanpa menyerah. "Jangan pasrah kepada keputusan Ibu bila kau tetap ingin hidup enak bersama Ayah! Ingat, Ibu itu pelit dan akan melarang kita membeli ini dan itu. Tak seperti Ayah yang sangat pemurah!" Begitulah pesan dan motivasi yang selalu Liana berikan kepada saudara kembarnya. "Kau harusnya mengatakan hal yang lebih indah dari itu, Li! Ingat, kau ini wanita. Jangan mata duitan seperti itu. Orang akan menganggapmu gold digger!" balas Alan atas nasihat Liana yang walaupun masuk akal, tetapi sama sekali tidak sopan bagi Alan. Kedua anak itu memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan cinta kepada keluarga. Alan mungkin lebih dewasa karena suka membaca buku. Sedangkan Liana terkesan kekanak-kanakan. Namun, cinta keduanya kepada orang tua, sama sekali tak diragukan. "Alan! Liana! Sedang apa kalian! Cepatlah atau kalian akan ketinggalan sarapan!" seru Susan dari luar toilet sambil memakai pakaian yang pantas untuk turun ke restoran. Liana dan Alan menjawab serempak dan segera melakukan aktivitas mereka dengan cepat. Tak seorang pun ingin kehilangan sepiring pancake butter yang harum dan lembut di pagi hari. Mereka sangat lapar. *** Sarapan di hotel tersebut memang tak pernah mengecewakan Susan dan anak-anak. Walaupun tak selezat dan bernutrisi sebagaimana sarapan di rumah mereka, setidaknya rasa masakannya edible. "Apakah nanti aku akan bisa menikmati makanan yang lebih baik dari ini bila Ibu dan Ayah berpisah?" tanya Liana dengan sengaja. Dia tahu ibu mereka akan membawa mereka pergi dari sang ayah. Dia pun tahu mereka akan hidup miskin bila bersama sang ibu. "Tentu saja kita tak akan bisa. Jangan membuat Ibu susah, Li!" jawab Alan yang memang tak ingin membuat ibunya terlampau sedih bila tak ada satu orang pun dari mereka yang membela. "Namun, Ibu pasti tak akan tega membiarkan hal itu terjadi pada kita." "Tentu, Alan." Susan mendengus kesal melihat kelakuan anak-anaknya. Namun, dia berusaha menahan diri agar tak terlihat terlalu pemarah di depan anak-anak. Dia beberapa kali jengkel karena anak-anak memancingnya. Kemudian, dengan senyuman yang dipaksakan, dia menambahkan, "Ibu akan berusaha sebaik mungkin agar bisa menghidupi kita bertiga tanpa bantuan Ayah kalian." Alan dan Liana saling melirik dan melempar senyum masam. Ibu mereka sangat keras kepala. Keduanya pun terpaksa menghentikan aksi daripada harus mendapatkan amukan tak menyenangkan dari sang ibu. "Jangan hanya makan karbo, ambillah protein lebih banyak agar kalian tidak cepat lapar hari ini! Kita harus berkeliling untuk mencari apartemen," perintah Susan kepada si kembar tanpa mempedulikan isi kepala mereka. Dia hanya menerima komplain yang tak berkaitan dengan perpisahannya dengan Adrian. "Baik, Ibu!" jawab si kembar serempak. Kedua anak itu lalu beranjak untuk menambahkan telur, beef bacon, dan sosis ke piring mereka. Sebenarnya, keduanya masih berencana untuk mengambil pancake. Namun, tatapan tajam sang ibu membuat mereka takut dan mengurungkan niat. Selesai sarapan, Susan dan anak-anak kembali ke kamar. Mereka memperbincangkan berapa lama lagi mereka harus tinggal di hotel. Susan hanya mengatakan bahwa mungkin ini hanya satu pekan saja sampai mereka menemukan tempat tinggal yang cocok. Susan membuka pintu kamar dengan santai. Dia menyuruh anak-anak masuk lebih dulu untuk memeriksa sekeliling karena merasa ada yang aneh. Namun, alangkah terkejutnya dia saat di dalam kamar, anak-anak sudah tak sadar dan dipanggul oleh dua orang pria berpakaian hitam-hitam. "Siapa kalian? Mau kalian apakan anak-anakku?" Susan membelalakkan mata tak percaya dengan kejadian di pagi hari yang tak seharusnya berlangsung ini. Mengapa tiba-tiba ada serombongan pria tak dikenal memasuki kamarnya secara ilegal dan bahkan menangkap kedua anaknya. Namun, kepanikan Susan tentu saja tak berlangsung lama karena ada seorang lagi dari belakang berusaha membekap mulutnya dengan sapu tangan yang dibubuhi obat bius. Susan memberontak, menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri demi menghindari sapu tangan tersebut. Sayangnya, ibu dua anak itu gagal menghindarinya. Tangan kekar tersebut berhasil membekapnya sehingga dia tak sadarkan diri. Tubuhnya pun lemas lunglai dalam hitungan beberapa detik saja. Tubuh Susan yang tak sadarkan diri kini ditopang oleh pria kekar itu. Walau agak berat, pria itu kemudian mengangkat Susan yang pingsan dan membopongnya ke tempat si kembar. Pria yang membopong Susan lalu menatap bosnya dan memberi isyarat yang memberitahukan bahwa para target telah dilumpuhkan. "Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Bos?" tanyanya kemudian. Pimpinan mereka pun menjawab, "Bawa mereka ke markas!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD