Bab 2 Dunia Aiyra

2163 Words
                Sebuah ketukan pintu membuyarkan keasyikanku nonton televisi di siang bolong. Kesempatan langka karena Baby A molor sejak habis zuhur tadi. Siapa yang datang ya? Kuharap bukan sales panci langganan asrama. Kuharap juga bukan om-om yang minta tanda tangan untuk pengajuan nikah. Ya, sebagai ibu Dankipan A, aku sering menghadapi om-om kompi A dan calonnya yang hendak menikah. Aku disuruh untuk memberikan wejangan di usiaku yang masih 24 tahun pada calon IP yang kadang berumur 26 atau 29 tahun. Apa itu tak terlalu aneh ya? Tapi, tak apalah, aku kan menang pengalaman walau umurku masih 24 tahun. “Eh, Kak Nindy? Ya ampun, kirain siapa! Kok gak nelepon dulu sih, Kak?” berondongku sedikit mengecilkan suara karena takut membangunkan Baby A. Kak Nindy masuk bersama Baby K alias Khanza, putrinya yang berusia 1,3 tahun, sepupu Aiyra. “Gak apa-apa, Dek. Nih tadi gak sengaja lewat depan asramamu. Makanya mampir. Mana Aiyra?” tanyanya sambil celingak-celinguk. “Biasalah Kak, molor dia. Semalam habis ngajak dangdutan gegara ditinggal papanya piket. Dia kan gak bisa tidur kalau gak cium ketek Papanya,” selorohku. Kak Nindy tertawa kecil sambil menutup mulutnya. “Haha, beda sekali sama Khanza. Dia malah gak suka sama abinya. Mungkin karena abinya bau rumah sakit,” celetuk Kak Nindy.                 Bruak! Sebuah suara mengagetkan kami dan kulihat Baby K, Khanza sudah menghamburkan mainan Aiyra yang sangat kujaga kerapiannya sedari tadi. Hiks. Kerja rodi lagiii. Dan tak lama kemudian, kudengar suara tangisan kaget anakku. Baiklah, ada panci ketemu tutupnya. Pusing pala Nyonya. Aku mengangkat Aiyra dari boks bayi dan mendudukkannya di dekat Khanza. Aiyra langsung diam dan tersenyum usil. Pasti sebentar lagi… “Huwaaaaaaaa,” tangis keras Khanza karena Aiyra mencubit pipinya. Ya gitulah Aiyra. Entah sifat bar-bar itu keturunan dari siapa? Perasaan si papa emang tegas sama anggota, tapi gak pernah menyakitiku secara fisik. “Aiyra, jangan nakal dong, Nak. Kasihan kan Kakak Khanza,” ujarku sambil menarik Aiyra dan memangkunya. “Gak apa-apa kok, Dek. Namanya juga bayi. Aiyra kan emang usilnya sama kayak kamu,” ujar Kak Nindy. “Maaf ya Kak. Setiap Khanza main ke sini selalu aja disakiti Aiyra. Masak iya dia nurun kebandelanku?” tanyaku heran. “Iyalah, mama saja dulu sampai pusing sama kenakalanmu kok. Oh iya, aku juga dipesani mama suruh ajak Aiyra ke rumah. Banyak oleh-oleh dari kunjungannya di Bali kemarin,” ujar Kak Nindy. Jadi terjawab sudah asal muasal watak bar-bar bayiku. “Iya Kak. Mama juga udah telepon aku kok. Mau ke sana belum sempat. Soalnya Kak Erlan sibuk banget. Itu bina danton yang masih remaja. Mungkin besok sore,” ujarku pelan. “Ya ampun, aku sampai lupa bikin air minum. Yuk Kak, ke meja makan. Kita makan kue dan minum teh dulu. Biarkan balita dan dunianya ini asyik sendiri,” ujarku sambil menyeret Kak Nindy.                 Kami pun akhirnya larut dalam obrolan ringan sembari menikmati teh chamomile dan kue opera. Enak sekali bisa kembali bersama Kak Nindy tanpa buntut masing-masing. Lama sekali kami tak seperti ini. Siapa yang sangka kalau kehidupan rumah tangga dan t***k bengeknya datang dengan cepat pada kehidupan gadis muda seperti kami.                 Tak lama kemudian, ada sebuah deru mobil berhenti di depan rumah. Mobil Kak Erlan berhenti dengan mulus di garasi rumah. Terdengar tawa riangnya dan suara seksinya. Tak hanya itu, sepertinya ada suara lelaki lain yang mengekor setelah tawa Kak Erlan. Siapa pula itu? Aku berpamitan pada Kak Nindy untuk menyambut suamiku di depan pintu. Dengan memakai jilbab, kubuka pintu ruang tamu. Kulihat suami yang gagah bersama dengan 2 orang om-om berpangkat letda. Aku mencium tangan Kak Erlan yang masih wangi walau habis bekerja. “Sayang, kenalin ini adik asuhku. Letda Panji dan Letda Husni,” ujar Kak Erlan halus sambil menyuruhku bersalaman dengan kedua tentara muda itu. “Izin Mbak, saya Letda Panji Wisnutama.” “Izin Mbak, saya Letda Husni Tamrin.” Sapa kedua tentara muda itu. Aku mengangguk dan memperkenalkan namaku, “saya Nabilla, istrinya Kapten Airlangga,” ucapku ramah. Kak Erlan mempersilahkan keduanya duduk.                 Aku segera bergegas ke dapur untuk membuat air minum dan mengambil kue. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar suara teriakan. Dengan panik aku melihat Letda Panji sudah mengelus-elus bokongnya kesakitan. Kenapa pula itu? Aduh, aku baru tahu saat Kak Erlan mengangkat sebuah mainan kayu bentuk segitiga yang iseng mencium b****g Letda Panji. Aku merasa kasihan, merasa geli juga. Tentara muda ahli senjata itu termakan jebakan anak balitaku. Bokongnya tertusuk mainan kayu Aiyra.                 Anak balitaku? Oh Tuhan, mana anak itu? Mana dia? Khanza ada kok Aiyra lenyap? Hem, aku mulai lupa. Aiyra kan kalau sudah ada papanya langsung nemplok macem ulat bulu. Ya, dia sudah minta dipangku papanya sembari mendengarkan ocehan si papa dan kedua adik asuhnya itu. Padahal, aku sendiri saja tak tahu isi pembicaraan mereka. Apalagi Baby A! Iya juga sih, bagi Aiyra, dua om tentara itu bagaikan sasaran tempat gendong baru. Benar kok, Aiyra sudah nempel dengan manjanya ke tangan kekar si Om-om. Aduh, anakku. But, wait… “Ya ginilah Nji, kalau sudah ada balita, rumah tiada rapinya,” ujar suamiku yang langsung kupotong. “Jangan pegang, Aiy…ra,” ujarku langsung lemas ketika Om Panji baru saja menyentuh ranjau. Diaper anakku yang penuh ompol. Hiks… “Iya…Bang,” ujar Om Panji lemas seketika. Parfum wangi khas bujangan lenyap bercampur aroma syedap ompol Baby A. “Mam…” kode Kak Erlan sambil melirikku malu. Aku hanya bisa berwajah datar sambil mengangkat anakku. “Lain kali Dedek dimandiin dulu ya kalau ada tamu. Panji, ke kamar mandi situ. Bersihkan ranjaunya,” suruh Kak Erlan sungkan. Om Panji hanya mengangguk malu. “Iya, Pa. Maaf ya Om Panji,” ujarku malu yang dibalas anggukan sungkan Om Panji. Ingin rasanya tenggelam ke ompol Aiyra saking malunya. Sementara itu, Kak Nindy hanya tertawa cekikikan di meja makan sambil memegang Khanza. Aiyra… --- “Dedek, besok-besok kalau kamu habis ngompol, bilang dulu ke Mama. Jangan langsung nemplok ke Om-om ya. Malulah Dek, anak perawan kok,” ujarku menceramahi Aiyra yang sudah wangi habis mandi. Aku menyisir rambut lebatnya penuh kasih lantas memakaikan bando pita warna pink. Si bayi hanya tersenyum-senyum, entah mengerti atau tidak. Di dalam dunia Aiyra, kehadiran lelaki baru yang pakai seragam alias Om-om itu adalah anugerah terbesarnya. Dia bisa minta gendong sampai berjam-jam. Hingga tangan si om kebas karena menahan tubuh gimbulnya. Padahal om-om itu datang untuk menghadap papanya, bukan menghadapinya. Ada untungnya sih, si mama alias aku bisa luluran dulu sekalian me time. Tapi, gak bisa lama-lama juga. Kasihanlah omnya. Mereka tentara bukan baby sitter-nya anakku. Aiyra sudah cantik, wangi, dan bersih dengan rok daster warna pink dan legging bayi warna abu-abu. Dengan langkah mungil dia kembali nemplok ke papanya dan tentu saja ke para om itu. Kali ini giliran ke Om Husni. Om Husni tentu sangat senang menerima Aiyra yang sudah wangi dengan aroma bayinya. Kali ini aroma parfum Om Husni diganti dengan aroma minyak telon dan cologne bayi. Hihi. Lucu juga. “Aiyra itu berani juga ya? Dia gak pemalu loh, beda banget sama Khanza. Lihat om-om aja udah lari. Sama bapaknya aja malah gak mau,” ujar Mbak Nindy ketika aku kembali menemaninya. “Ya namanya anak pasti beda-bedalah, Kak. Dunia Aiyra dan Khanza pasti bedalah. Di dunia Aiyra, cowok berseragam itu adalah ayunan barunya. Nah, kalau buat Khanza, cowok berseragam kayak musuh,” ujarku sambil tersenyum. “Iya ya. Tapi, aku ingin sekali anakku bisa berbaur dengan santai, Dek. Kayak Aiyra gitu,” curah Kak Nindy. Aku menepuk pundak Kak Nindy. “Kak, setiap anak dilahirkan berbeda. Jangan memaksakan sesuatu pada anak sekecil Khanza. Mungkin dia emang mirip sama mamanya yang anti sama cowok,” hiburku yang membuat Kak Nindy maklum. “Iya juga ya?” ujarnya maklum. Kakakku ini memang agak tertutup kan? Udah kubilang sejak awal kan kalau Kak Nindy itu agamis.                 Ya ya, aku bisa mengartikan seperti itu karena perlakuan Kak Nindy pada Khanza sangat berbeda dariku. Di usia sekecil itu, dia sudah diikutkan PAUD. Selain itu, les mengaji untuk hafalan Al-Qur’an dan macam-macam. Kegiatan itu sangat cocok dilakukan untuk anak usia minimal 3 tahun kan? Tapi, Kak Nindy sangat ingin Khanza menjadi anak yang solehah semenjak kecil. Aku tak menyalahkannya, setiap orang tua punya cara asuh yang beda, kan? Pengetahuan agama itu sangat penting. Aiyraku? Jangan tanya aku deh, tentu saja itu sangat berbeda dengan cara mendidikku. Aku membiarkan Aiyra tumbuh sesuai dengan seusianya. Untuk pengetahuan agama, aku memang perlahan mengenalkannya. Sebenarnya sejak dalam kandungan, aku juga sudah mengajaknya beribadah. Kulantunkan ayat suci sepanjang waktu sebab lantunan itu bisa membuatnya berhenti main sepak bola di dalam rahim. Tapi, aku tak memaksanya harus hapal surat Al-fatihah di usia sekecil itu. Untuk aktivitas sehari-harinya, kubiarkan dia bebas bergaul dengan alam. Aku tahu dia anak tentara yang pasti suka alam. --- “Nanti Bang Rehan jemput kan, Mbak?” tanya Kak Erlan santai sambil meminum kopinya. Kami bertiga duduk teras belakang sambil menikmati udara sore. “Iya, Lan. Nanti juga jemput kok. Tadi kami ke sini naik taksi,” jawab Kak Nindy sambil terus mengawasi Khanza. Khanza memang tak diizinkan main di rerumputan teras belakang. Padahal maksud hati Khanza ingin ikut adek Aiyra main rumput. Ya, setelah cantik beberapa saat, anakku main kotor lagi. Hiks. “Mbak, Khanza biarin aja main. Nanti kan bisa mandi di sini. Pakai bajunya Aiyra,” ujarku karena kasihan melihat anak balita itu menahan keinginannya. “Gak usah, Dek. Biar aja. Nanti kena cacing gimana?” tolak Kak Nindy. “Duh, Kak. Rerumputan itu bersih kok. Sering dipangkas jadi gak ada cacingnya. Udahlah biarin dia explore,” paksaku. Kak Nindy tetap teguh tak mengizinkan Khanza. Sampai pada akhirnya, Khanza tantrum. Mungkin dia lelah dilarang terus-terusan. Heloo Kakak Nindy, balita ya tetap balita. “Hati-hati ya Sayang. Jangan jauh-jauh,” ujar Kak Nindy perhatian sambil terus menjaga Khanza.                 Betapa perhatiannya Kak Nindy pada buah hatinya. Sangat beda denganku yang membebaskan Aiyra bermain sesukanya. Pikirku, baju kotor bisa dicuci. Tapi pengalaman baru tak bisa dicari nanti. Biarlah toh imunisasi Aiyra hampir lengkap. Kekebalan tubuhnya bagus. Insyaallah dia sehat-sehat saja kok. Biar saja dia mencari perbedaan rumput dan tanah. Yang penting aku selalu mengawasi dari jauh. Itu saja. “Huwaaaaaa,” lamunanku terhenti karena mendengar tangisan. Suara siapakah itu? Aiyra? Khanza? Ternyata keduanya!                 Aku berlari tergopoh menghampiri dua balita cengeng itu. Wajah Khanza merah padam seperti kesakitan. Sementara Aiyra juga menangis sambil memegangi mulutnya. Aduh kenapa pula anakku? Aku menggendongnya sambil mendiamkan tangisnya. Kuamati apa yang membuatnya menangis. Tuhan, ada apa pula dengan cabai di tangannya. Rupanya anakku habis makan cabai. Dia memetik cabai dari polibek buatan papanya. Mungkin dia pikir karena warnanya merah itu pasti manis seperti stroberi. Lalu kenapa dengan Khanza? Setelah aku tahu yang terjadi ingin rasanya aku pingsan saja. Aiyra memasukkan potongan cabe itu ke hidung Khanza. Aiyraaaaaa, mama nangis juga deh, Nak! “Maafin Aiyra ya, Kak,” ujarku sambil memburu Kak Nindy yang tergopoh membasuh hidung Khanza dengan air. “Ya Dek. Itulah kenapa Kakak gak mau anakku maen sembarangan,” ujarnya tampak kesal. Rupanya kakakku jadi super sensitif jika menyangkut tentang Khanza. Maafin aku ya Kak. Anakku Aiyra memang usil, tapi dia gak nakal kok. “Ayo Dedek minta maaf sama Kak Khanza. Dedek, gak boleh bandel lagi ya, Nak,” ujarku sabar sambil menggendong Aiyra yang sudah reda tangisnya. Dia mengerti dan meraih tangan Khanza lantas menciumnya. Oh, saliimmm. Pintarnya anakku. “Maaf ya Kak. Namanya juga anak balita yang sedang aktif-aktifnya. Khanza jangan kapok ya maen sama Dek Aiyra,” kata Kak Erlan pelan. Kak Nindy berusaha tertawa kendati kekesalan masih terlihat di wajah cantiknya.                 Kak Nindy masih banyak diam hingga Kak Rehan menjemputnya. Dia hanya mencium pipi kanan dan kiriku dengan dingin. Aku tahu Kak Nindy memang sensitif kalau masalah Khanza. Tapi kan anakku tak sengaja melakukannya. Masa hanya karena masalah anak-anak, dia marah padaku. Ah, sudahlah, mungkin Kak Nindy cuma sedih melihat anaknya seperti itu. Secara aku tadi memaksanya melepas Khanza untuk bermain dengan Aiyra.                 Aku meraih Aiyra penuh sayang ketika dia masih asyik melambai tangan ke arah mobil Kak Nindy. Aku tahu balita ini sayang pada Khanza. Namun, dia punya cara sendiri untuk mengungkapkannya. Dunia Aiyra dan Khanza kan memang berbeda dengan dunia papa dan mamanya. Orang tualah yang harus memahami mereka. “Dedek, pasti haus kan? Ayo minum ASI dulu,” ajakku lantas menidurkannya di pangkuanku. Dia menyusu dengan cepat. Aku tahu dengan kapasitas kegiatan seperti Aiyra, rasa haus dan lapar terus menyiksa perut gimbulnya. “Sayang, besok jangan usilin Kak Khanza lagi ya? Kak Khanza itu usianya jauh lebih muda dari Dedek. Dedek harus sayang sama Kak Khanza. Ya Nak?” ujarku sabar sambil membelainya penuh kasih. “Sabar ya, Sayang. Kadang apa yang kita pikirkan beda dengan orang lain,” ujar Kak Erlan sambil mengelus punggungku. Aku menatapnya dan mengangguk pelan. Kak Erlan mencium keningku ketika Aiyra mulai mengantuk. Pasti dia lelah setelah menangis. Bajunya yang berlumuran cabe juga sudah kugantikan. Semoga dia bisa tidur dengan nyenyak. Aku kembali mencium buah cintaku ini. Aku sayang Aiyra dengan semua duniamu, Nak. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD