Chapter 4 - 6

1072 Words
CHAPTER 4                 Banyak hal yang disiapkan, mulai dari barang-barang rumah tangga sampai barang-barang asing yang agak sulit ditemukan walau mereka berhasil mendapatkannya. Malam itu, di tengah-tengah tanah yang masih dihuni beberapa batu nisan, si Mbah duduk di atas karpet bersama banyak lilin serta sesembahan.                   Ia mulai membaca mantra sementara yang lain berdiri di pinggir jalan memandanginya.                   “Inget, jangan ada yang ganggu, jangan gerak!” tegur sekretaris Brendon yang dibalas anggukan oleh mereka.                   Tiba-tiba, angin bertiup kencang, api-api dari lilin bergerak liar dan beberapa ada yang mati, suasana begitu dingin sampai-sampai mereka memeluk diri sendiri. Tetapi Mbah tampak tak terusik meski jenggot serta rambut panjangnya berkobar ke sana ke mari.                   Ia tampak berkomunikasi dengan seseorang.                   Tak ada yang melihatnya ketika Mbah membuka mata, ratusan orang berpakaian putih dengan wajah pucat ada di hadapannya. Wanita dengan rambut berantakan dan berdarah-darah, pria dengan tali pocong, anak kecil dengan celana dalam, dan masih banyak lagi wujud-wujudnya yang beragam.                   “Kami enggak mau pergi dari sini!” kata seorang wanita cantik yang berdiri paling depan, tampak memakai kain merah di tangan kanannya.                   Mbah tersenyum. “Saya enggak bermaksud mengusir kalian, saya gak bakal setega itu. Tapi, apa kalian gak males sama suasana yang dekil kek gini? Sesekali gedung, lah, ya?”                   Tampak, wanita itu berpikir sambil menatap kawanannya.                   “Mak Kendall Bolong, ada benernya juga!” ujar pria berbadan besar dengan tubuh hijau legam.                   “Yeay, tempat mainku makin modern!” Si botak memakai celana dalam memekik bahagia.                   “Iya juga, ya!” Sang Kendall Bolong manggut-manggut. “Tadi, juga, kuliat ada cogan dingin mata cokelat.”                   “Eits, kalian jangan ganggu manusia ampe mereka terganggu, atau saya bakalan ngusir kalian!” ancam sang Mbah, mengangkat telunjuknya. Para pekerja bangunan serta sekretaris Brendon yang memperhatikan menatap bingung. “Oke, gak? Oke, dong ....”                   “Asal mereka gak ngusik balik aja, jaga tata krama perhantuan!” ujar wanita yang hampir sama dengan Kendall Bolong, ia tertawa ‘hihi’ dengan intesitas panjang.                   “Oke, deal, Mbah! Saya Kendall Bolong, ketua klub hantu di sini, setuju dengan tawaran Mbah!” Wanita itu menyodorkan tangannya yang disambut salaman oleh sang Mbah.                   “Wah, si Mbah salaman sama siapa, tuh?” tanya sekretaris Brendon, yang dibalas gedikan bahu dari lawan bicaranya. CHAPTER 5                 “Pak, berhasil, Pak!” kata sekretaris Brendon disusul si Mbah dan pekerja utamanya memasuki ruangan.                   Brendon yang tengah merapikan berkas bergumam menanggapi. “Bagus, saya harap bangunan udah jadi ASAP.”                   “Tapi ingatlah, saya gak ngusir mereka, cuman bernegosiasi dan menenangkan mereka,” ujar Mbah begitu serius. “Kalian semua harus menjaga tata krama, jika enggak mau mereka ganggu, oke?”                   “Iya, Mbah!” jawab sekretaris Brendon.                   “Nak Brendon denger Mbah?” tanya sang Mbah, Brendon hanya menatap sekilas, mengangguk kemudian fokus ke pekerjaannya. “Saya harap begitu. Baiklah, cepat transfer, saya mau liburan ke Zimbabwe!”                   “Yah, awas saja saya masih mengalami kerugian saat ini.” Brendon membuka laptopnya dan cukup cepat proses, ia menatap ke sang Mbah. “Udah saya transfer.”                   “Siplah!” Entah dapat dari mana, sebuah kacamata hitam muncul di tangan sang Mbah yang kemudian memakainya. Lagak keren membuat mereka terperangah sebelum akhirnya pria itu beranjak pergi. “Gudbai, Eperibadeh!”                   Brendon menggelengkan kepala. “Orang pinter, huh? Good. Btw, saya bayar pakai gaji kamu setengahnya. Kalau pembangunan gagal, angus.”                   Sekretarisnya menghela napas pasrah.                   “Baik, Bos Brendon, saya permisi dulu!” Pekerja itu menunduk sopan.                   “Dan kamu, awas aja nipu saya!”                   “Iya, Bos!” Berbalik, ia mengejek pria itu, sebelum akhirnya beranjak pergi.                   “Daripada kamu diem di sana, bantu saya!”                   “Eh, i-iya, Pak!” Ia pun mulai membantu Brendon menangani berkas dan pekerjaan digital. Sementara bosnya itu duduk santai di kursinya.                   “Lucu sekali saya ketipu dengan permainan ini,” gumam Brendon dengan dengkusan kasar. “Masa bodo, saya bisa tuntut balik.”                   “Pak, sekali aja, percaya, Pak!”                   “Iya, iya!” Brendon memutar bola matanya.                   “Dan saya harap Bapak gak lupa pesan Mbah. Oke, Pak?”                   “Terserah!” Karena bagi Brendon, tak ada makhluk fana seperti itu di dunia ini. Hanya ada manusia, pengecualian baginya akan keberadaan Tuhan, Malaikat, Iblis setan serta apa pun yang menurutnya tak masuk akal keberadaannya.   CHAPTER 6                 Setelah sekitar setengah tahun dengan pengerjaan supercepat, bangunan pun jadi dengan megahnya. Brendon tersenyum ke arah orang-orang dan kamera-kamera yang menangkap gambarnya di depan pita merah.                   “Dengan ini, masa depan baru perusahaan Emanuel dibuka!” Seseorang menyerahkan gunting padanya yang kemudian ia potong pita merah.                   Gedung besar ini telah menjadi perusahaan utama Emanuel Corp. Terbesar dan terpaling banyak karyawan di dalamnya. Semua berjalan dengan baik, benar-benar baik, walau mereka tak menyadari mereka tengah berdampingan dengan makhluk-makhluk tak kasat mata.                   Kendall Bolong dan anak-anak buahnya.                   Mereka berjanji tak menggoda manusia, sebagai gantinya mereka boleh di mana saja asal jangan menyentuh manusia atau membuat mereka menyadari kehadiran mereka. Kekuatan Mbah mengekang hal itu di perjanjian. Meski begitu, perjanjian bisa putus dengan berbagai kesalahan fatal.                   Kendall Bolong senang di sini, ramai, lebih ramai tepatnya. Bahkan, di sini, ia bisa memandangi seorang pria tampan yang duduk di kursi kebesarannya bersama para hantu-hantu perempuan lain. Mengagumi ketampanan makhluk nyata itu.                   “Siapa tadi namanya? Brendon, kan, ya?” tanya seorang wanita di samping Kendall Bolong, kemudian terkikik geli ‘hihi’-nya.                   “Perfect banget, sih, cius!” Seorang wanita lain berpakaian perawat menyahuti.                   “Eh, Kylie Anak, Selena Ngesot, jangan rebut dia dari gue, ya!” Kendall Bolong menodong keduanya, ia memakan ayam mentah tanpa dipotong di tangannya di mana tak lama tulang keluar dari punggungnya yang berlubang penuh ulat dan darah.                   “Iya, Bu Bos!” sahut mereka berdua.                   “Ganteng, sih. Tapi aku masih punya Mas Wowo!” kata gadis lain dengan pakaian ala China-nya. “Tapi kalau Bu Bos berubah pikiran, oke aja.”                   “Heh!” pekik Kendall Bolong kesal, hawanya yang dingin seketika membuat si gadis menciut. Brendon, memegang keningnya yang tiba-tiba bulu kulitnya meremang. Hawa dingin AC bertambah begitu saja. “Awas lo, ya, kalau berani nyentuh dia!” Kendall Bolong menodongnya.                   “Bercanda, Kakak!” Ia menunjukkan tanda perdamaian di tangannya.                   “Eh, Bu Bos! Santai!” tegur si gadis dengan leher dikelilingi darah seakan ingin putus. “Tuh, kekuatan Bu Bos bikin dia merinding, tuh!”                   “Ups, ya maaf!” Kendall bolong tertawa pelan, kembali mereka memperhatikan pangeran tampan mereka yang kembali fokus bekerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD