Pengakuan

1182 Words
##Bab 4 Pengakuan Mbok “Tapi Bapak jangan bilang tahu dari Mbok, ya!” pesannya sembari melipat pakaian Arya yang berada di hadapanku. “Ya, Mbok, saya janji, akan merahasiakan nama Mbok,” jawabku. “Pak, sebenarnya Bu Rika yang tadi datang ke rumah, itu sering ke sini. Tiap bulan ia datang,” tutur Mbok Ani. Berati benar dugaanku, uang yang ia rinci di buku diary, itu rincian utang. “Mbok tahu nggak itu utang apa?” tanyaku lebih detail lagi. Aku harus tanyakan pada Mbok, apa yang ia tahu lagi tentang Mayang. “Kalau untuk apanya, Mbok kurang tahu, Pak. Tapi, seingat Mbok, Bu Mayang pernah cerita katanya si untuk Arya,” jelas Mbok Ani kembali membuatku terkejut. Untuk Arya? Sepertinya ini ada hubungannya dengan kelahiran Arya. “Mbok, apa Rika datang setelah Arya lahir?” tanyaku penuh selidik. “Betul, Pak. Sekitar usia Arya sebulan kalau tidak salah ingat, nah semenjak itulah Bu Mayang sering ke luar pagi hingga siang,” jawab Mbok lagi. Kira-kira untuk apa ya? Bukankah Arya lahiran aku sudah bayarkan, memang uangnya aku dapat pinjam dari ibuku, tapi setelah diangkat jadi manager, aku lunasi utang itu yang sebesar 20 juta rupiah untuk biaya melahirkan Caesar. “Mbok, itu utang apa ya? Kalau untuk Arya, aku sudah bayar ke Ibu sebesar 20 juta rupiah, dulu kan ketika melahirkan aku tidak memiliki uang sepeserpun, pinjam Ibu uangnya,” celetukku sambil berpikir uang yang Mayang bayar kepada Rika kira-kira untuk apa. “Coba tanya Rika yang tadi ke sini aja, Pak. Ia tinggal di dekat rumah Bu Diah kok,” cetusnya membuatku seketika ingin segera menemui Rika. Jika tinggal di dekat rumah ibu, itu artinya ibuku kenal dekat dengan Rika. “Ada lagi nggak yang Mbok tahu tentang Mayang?” tanyaku lagi. Jawaban Mbok Ani sangat membantuku untuk mengetahui kenapa ia tidak mempergunakan uang yang kuberikan, malah terkadang ngojek dari pagi hingga siang, ternyata uangnya untuk bayar utang pada Rika, wanita yang baru kukenal tadi pagi. “Ibu Diah, tiap ke sini sering Mbok dengar marahin Bu Mayang, Pak,” celetuknya. Rasanya hatiku teriris ketika mendengar penuturan Mbok yang satu ini. Memarahi istriku tanpa sebab itu yang paling tak kusukai. “Terima kasih banyak, Mbok. Keterangan dari Mbok sangat membantuku untuk mencari tahu kenapa Mayang sering menangis,” jawabku lagi. “Sama-sama, Pak. Tapi ingat jangan bilang, tahu ini dari Mbok, apalagi pada Bu Diah, tentang Mbok ngadu ia seringkali memarahi Bu Mayang,” pesannya padaku. “Tenang, Mbok, rahasia aman,” sahutku singkat. Kemudian, aku kembali ke kamar, agar ketika Mayang pulang tidak curiga. Dari keterangan-keterangan yang Mbok berikan, aku dapat menyimpulkan bahwa Mayang masih dalam keadaan sehat, ia hanya tertekan pada satu ancaman ibuku. Ini menurut opiniku saja, belum tentu kejadian yang sesungguhnya seperti itu. Untuk mencari tahu utang apa yang dibayarkan pada Rika, maka akan kudatangi saja ke rumahnya besok sepulang kerja. Menurut Pak Wijaya, aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum tanggal 5 September, tanggal yang Mayang tentukan akan membeberkan semuanya. Selang beberapa menit aku masuk ke kamar. Tin ... tin .... Suara klakson mobil, sepertinya Mayang sudah pulang. Untungnya aku dan Mbok Ani sudah menghentikan obrolan kami berdua. Tidak lama kemudian, Mayang pun masuk ke dalam kamar. “Kamu sudah pulang, Sayang? Ngapain sih? Aku jadi kepo sama urusan wanita!” ledekku ketika ia baru saja datang. Kemudian, Mayang merebahkan tubuhnya, lalu bersandar di pundakku. Sudah lama sekali ia tak melakukan hal ini, menyandarkan kepalanya di pundakku ini. “Mas, tadi Bu Tiara cerita padaku, katanya kamu itu mikirin aku terus tadi di tempat kerja, memang gitu ya, Mas?” tanya Mayang. “Iyalah, Sayang. Aku mikirin kamu yang ngojek, sedih hati Mas, Mayang. Seperti merasakan gagal menjadi kepala rumah tangga,” jawabku padanya. Kemudian, wanita yang sudah terlihat kurus itu duduk dan menggenggam tangan ini. “Mas, sebelumnya maafkan aku yang tidak jujur padamu, tapi ini terpaksa. Jangan paksa aku untuk bicara padamu, ya. Yang terpenting, sekarang aku tak lagi ngojek,” sahutnya membuatku menghela napas. “Aku pikir bersandar dan ngerayu ingin bicarakan semua yang jadi beban pikiran kamu, tapi ternyata nggak,” jawabku sambil berpaling darinya, berharap wanita yang melahirkan Arya dengan susah payah itu berubah pikiran dan mengatakan semuanya pada suaminya ini. “Mas, kamu sayang padaku?” tanya Mayang secara tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi, heran kenapa masih saja meragukan cintaku. “Sayang banget, aku sayang banget pada kamu,” jawabku sambil menggenggam tangannya. Tiba-tiba ia tersenyum tipis dan memelukku. “Mas, menurutmu aku ini wanita yang sempurna atau malah wanita yang merepotkan suami?” tanya Mayang membuatku semakin kesal, pertanyaan yang ia lontarkan aneh menurutku. Ketika wanita menjadi istriku, pasti ia adalah tanggung jawab aku juga, bukan istri yang merepotkan suaminya. “Mayang, justru kalau kamu ngojek seperti kemarin, aku merasa bersalah dengan apa yang kamu lakukan.” Mayang bergeming, ada air mata yang mengembun di sudut matanya. “Mas, yang aku tanyakan, aku ini merepotkan kamu atau tidak? Apalagi biaya Caesar Arya itu cukup besar.” Aku menautkan kedua alis ini, ia bertanya tentang persalinan yang sudah terbayarkan. “Arya itu tanggung jawab kita berdua, terutama aku, Sayang,” tekanku padanya. “Tapi aku bukan istri yang sempurna, karena melahirkan Arya dengan Caesar, tidak melahirkan normal. Seandainya aku tidak memiliki penyakit anemia, mungkin bisa normal, ya Mas?” tanya Mayang semakin ngawur. “Buat aku, mau kamu proses Caesar atau normal, itu sama saja. Kamu tetap wanita sempurna untukku dan Arya,” sahutku sambil membelai rambutnya dan menatap wajah Mayang, kulit yang dulu bening, kini terlihat kusam. “Lalu, jika aku meninggalkan kamu dan Arya terlebih dahulu, apa yang kau lakukan, Mas? Memberikan Arya Ibu baru, atau tetap merawatnya sendirian hingga besar nanti?” tanyanya semakin ngawur. “Sudahlah, makin ngaco kamu, Sayang. Kita tidur saja, besok aku banyak urusan,” jawabku menutup pembicaraan. Aku dan Mayang tidak lagi membicarakan apapun, kami tidur berpaling badan. Aku menunggunya tertidur pulas, agar mendapatkan nomer ponsel Rika di handphone Mayang. Setelah yakin ia sudah tertidur, barulah aku ambil dan memeriksa beberapa kontaknya. Ada nama Rika, hanya satu yang tertera di kontaknya. Lebih baik aku save saja kontak Rika terlebih dahulu. Namun, setelah selesai menyimpan kontak Rika, aku melihat notifikasi chat yang belum dibuka oleh Mayang. Masih berada di layar push up ponselnya. Di sana tertera rumah sakit Maya Bakti memberikan jadwal kontrolnya. Aku semakin penasaran, ingin k****a pesannya, tapi ia belum membaca pesan tersebut. Nanti ketahuan aku membaca isinya terlebih dahulu. Lebih baik besok aku tanyakan saja pada Mayang. Kontrol apa ia besok? Bukankah jahitan Caesar sudah sangat bagus. Lagi pula sudah hampir 2 tahun, masa iya Mayang masih merasakan sakit! Pagi telah mengeluarkan sinarnya, aku pun tengah bersiap untuk berangkat kerja. “Sayang, aku berangkat dulu,” ucapku sambil meletakkan piring yang kupakai untuk sarapan. “Hati-hati, Mas,” jawabnya sambil meraih tanganku untuk diciumnya. “Oh ya, tadi malam aku nggak sengaja lihat notifikasi chat masuk, ada pesan dari rumah sakit Maya Bakti, kamu mau kontrol apa? Kenapa tidak minta antar aku saja?” tanyaku penuh selidik, pertanyaanku cukup banyak dan seketika membuat mata Mayang membulat. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD