Kedatangan Ibu

1545 Words
##Bab 2 Kedatangan Ibu Ia menghela napasnya perlahan, semoga saja Mayang bicara jujur padaku. Namun, baru ingin mengatakannya padaku, tiba-tiba ibu datang. Seperti biasa ia datang membawa lauk pauk makan siang. Tadi ibu bicara di telepon besok tidak antar lauk pauk, tapi hari ini ia masih mengantarkannya untuk kami. “Assalamualaikum,” ucap ibu dengan wajah semringah. “Waalaikumsalam,” jawab kami berbarengan, tapi suara Mayang masih agak serak karena tadi menangis. Ibu menautkan kedua alisnya, ia keheranan melihat kami sedang saling berhadapan. “Mayang, kamu kenapa? Matamu sembab begitu, apa nangis?” tanya ibu saat melihat mata Mayang yang sembab. Namanya Diah Sarita, ibuku tinggal di daerah kompleks sebelah. Namun, memang tiap siang ia mengirimkan masakannya ke sini. Kalau pagi, sarapan biasa dengan roti atau nasi goreng buatan Mayang. Aku yang meminta ibu untuk memasak setelah Mayang melahirkan anak kami, Arya. Selain karena aku lebih suka masakan ibu, ini semua kulakukan agar Mayang tidak terlalu lelah. Paskah Caesar, ia didiagnosis oleh dokter memiliki anemia. Jadi, tidak boleh terlalu capek dan terlalu banyak begadang. Untuk itulah Mbok Ani yang menjadi perawat khusus untuk Arya, agar kesehatan Mayang pun tidak terganggu. “Bu, sini makanannya, agar aku tata di meja makan.” Aku dan Mayang tak menjawab pertanyaan ibu tadi, kualihkan dengan meminta masakan yang ibu bawa. Kemudian, aku pergi ke dapur dan meletakkan makanan di atas meja satu persatu. Setelah selesai mengaturnya, aku pun kembali ke ruang tamu. Ketika ingin melangkah, aku dengar suara bisikan ibu pada Mayang. Namun, tidak jelas ia bicara apa padanya. “Ehem ....” Aku mengejutkan mereka berdua. Kelihatannya ada pembicaraan yang serius antara mereka berdua. “Kalian ngobrolin apa?” tanyaku penasaran. “Nggak, Ibu coba hapus air mata istrimu tadi,” sahutnya. Kemudian Ibu berdiri dan seperti biasa ia menengok cucunya di kamar terlebih dahulu sebelum pulang. “Mau aku antar, Bu?” tanyaku ketika ibu keluar dari kamar Arya. “Tidak usah, istrimu lebih membutuhkan kamu ketimbang Ibu. Ya sudah, Mayang, Ibu pulang dulu, ingat pesan Ibu tadi, ya!” cetusnya. “Pesan apa, Bu?” tanyaku heran. “Rahasia wanita,” ledek ibu. Kemudian, ia pun pergi begitu saja. Kulanjutkan obrolan tadi yang terjeda dengan kedatangan Ibu. Namun, sepertinya Mayang sudah tak lagi mau bicara. Ia malah bangkit dari duduknya. “Sayang, Mayangku, istriku, lanjutkan lagi ya, apa kamu punya utang?” tanyaku lagi sambil menarik tangannya karena ia sudah berdiri dan hendak bergegas pergi. “Mas, aku ingin mandi. Bicarakan ini nanti lagi ya,” jawabnya membuatku mendesah kesal. “Huft, padahal jika kamu ada utang, aku mau membayarnya. Asalkan kamu tidak lagi ngojek, Sayang!” teriakku kesal, tapi Mayang tak menoleh sedikitpun ketika aku teriak. Usai mandi, kami pun makan di meja makan. Masih kuperhatikan Mayang dengan tatapan penasaran. Ada yang mengganjal di hati ini jika belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Mayang, tolong ceritakan padaku, berapa utangmu? Dan utang dengan siapa? Apakah banyak hingga uang yang kuberikan tidak cukup untuk membayarkannya?” tanyaku dengan penuh selidik. Pertanyaanku begitu banyak yang keluar dari mulut. “Mas, kita makan dulu, ya!” suruhnya sembari menyendok makanan untukku. Tidak ada kebahagiaan di matanya, apakah ia begitu tersiksa menikah denganku? Sepertinya dulu ia tidak begitu. Sepertinya semenjak melahirkan Arya, Mbok Ani tadi juga keceplosan bilang begitu. Setelah makan, ia pun merapikan piring kotor ke wastafel, aku turut membantunya agar pekerjaan ini cepat selesai, dan ia segera menceritakannya padaku. “Mayang, aku mohon cerita ya, kamu itu ibu menyusui, harus tenang pikirannya,” ungkapku sembari merapikan sedikit rambutnya yang kusut. Mayang menatap wajahku, kemudian ia menyergap pundak ini lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Rapuh ketika pelukan seorang istri diiringi dengan isak tangis. Rasanya aku telah gagal menjadi kepala rumah tangga yang baik. “Nanti tepat bulan September, di hari ulang tahun Arya, aku akan ceritakan semuanya, Mas,” bisiknya sembari memelukku. “Kenapa harus nunggu bulan September, Mayang? Aku nggak mau kamu kepanasan lagi, ngojek lagi!” sanggahku berusaha menyecarnya. “Mulai besok aku hentikan ngojek, tapi maaf aku belum bisa cerita sekarang. Tepat tanggal 5 September nanti, akan kuceritakan semuanya,” jawab Mayang. Aku sedikit lega dengan ucapannya yang akan menghentikan pekerjaan. “Ya, kuharap jangan ada lagi ke luar rumah tanpa izin, aku akan tambah uang untukmu, jika memang kamu butuh uang,” sahutku lagi. “Pokoknya, nanti tanggal 5 September selesai, Mas,” sahutnya membuatku cemas. Mau apa Mayang pada tanggal itu? “Mayang, apa yang kamu lakukan nanti di tanggal 5 September? Bukan meninggalkan aku, kan?” tanyaku lagi. Kemudian ia pun bergeming. “Jawab, Mayang! Jangan diam begitu! Jangan bilang kamu ingin kita pisah, kita harus selesaikan masalah keluarga secara baik-baik!” cecarku dengan nada tinggi. Ting ... tong .... Suara bel berbunyi, ada tamu datang, Mayang pun segera membukakan pintunya. Rupanya ibu mertuaku yang datang, mamanya Mayang. “Assalamualaikum,” ucapnya ketika sudah diperkenankan masuk. “Waalaikumsalam,” sahutku dan Mayang. Ratna Antika namanya, mamanya Mayang ini terbilang glamor penampilannya. Sering tetanggaku bilang bahwa Mayang dan mamanya seperti kakak dan adik. Wajah yang sangat glowing, penuh perawatan, pastinya akan membuatnya bertanya-tanya akan penampilan anaknya setelah melahirkan Arya. “Cucuku di mana, Mayang?” tanya mama mertua. “Ada di dalam, tadi kecapean nangis, sekarang mungkin tidur,” jawabku. Mayang pasti tidak mengetahui bahwa anaknya tadi nangis. “Oh gitu, padahal mama kangen dengan Arya. Oh ya, Ardan, terima kasih uangnya sudah Mama terima, padahal Mama nggak berharap dikasih oleh kalian, yang penting kalian bahagia, Mama pun ikut bahagia,” ungkapnya membuatku tercengang, Aku mengernyitkan dahi, heran dengan ucapan mama mertua, ucapan terima kasih untuk apa? Aku tidak memberikannya apa pun! Tiba-tiba saja otakku berpikir, apa mungkin ini semua jawaban dari teka-teki ini? “Emm, sama-sama, Mah,” jawabku. Terlihat wajah Mayang keheranan mendengar jawabanku. Aku coba untuk mengindahkan ucapannya, jangan sampai mama mertua curiga dengan masalah kami berdua ini. Nanti setelah ia pulang, barulah kutanyakan pada Mayang baik-baik. “Ya sudah, Mama mau ke kamar cucu Mama dulu, setelah ini pulang, mau mampir ke salon,” sahutnya. “Aku antar ya, Mah,” celetuk Mayang. Mereka ke kamar Arya berduaan, dan aku di sini masih merenung dengan ucapannya tadi. Kalau memang Mayang ingin memberikan uang pada mamanya, aku akan berikan, asalkan ia tidak ngojek lagi. Perih rasanya melihat wanita yang kucintai mencari rezeki di jalanan. Terlebih, imbasnya adalah ke tubuh anakku, Arya. Mbok Ani bilang ketika Mayang menyusui, ia tampak mengeluarkan air mata. Itu pasti karena letih dan tangisannya pecah karena melihat sosok anak yang ia cintai. Setelah mereka keluar dari kamar, mama mertuaku pun pamit pulang. Seperti yang ia ucapkan tadi, sepulang dari sini ia hendak ke salon. “Mama pulang dulu, ya,” ucapnya. “Bawa mobil, kan Mah?” tanyaku sambil melihat ke luar. Biasanya mama mertua memang bawa mobil sendiri ke manapun. Ia termasuk wanita mandiri, ke mana-mana sendiri. “Iya, Mama bawa mobil. Oh ya, Ardan sesekali ajak Mayang ke salon, kusam banget itu mukanya, Mama aja yang udah tua masih perawatan, uang dari Papanya Mayang, Mama gunakan untuk mempercantik diri,” terangnya. Memang betul, penampilan mama jauh berbeda dengan Mayang, tapi ia juga kurang mengurus penampilannya setelah melahirkan Arya saja, makanya aku pikir ini hal wajar. “Nanti aku ajak Mayang, Mah. Atau ke salon bareng Mama saja, aku izinkan kok,” sahutku. “Nggak mau, aku sibuk,” cetus Mayang. “Ya sudah, Mama pamit dulu, keburu sore,” jawabnya. Kemudian, kami mengecup tangannya dan mama mertuaku pun pergi. Aku menutup dua daun pintu yang terbuka lebar, kemudian masuk ke dalam kamar bersama Mayang. Sepertinya ia tahu ada yang ingin aku bicarakan setelah ini. “Mayang, aku ingin menanyakan tentang Mama, tapi kamu jangan marah dan tersinggung,” ucapku dengan jantung yang berdetak kencang. Khawatir salah bicara padanya. Sebab, aku benar-benar berada di pihak yang serba salah. “Aku sudah duga itu, pasti kamu akan menanyakan hal ini padaku,” sahutnya mengerti dengan apa yang aku ingin tanyakan. Namun, pertanyaan belum aku lontarkan, d**a sudah berkejaran detakkannya. Aku coba tarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Perasaan takut Mayang tersinggung terus menerus muncul, karena masalah uang itu rentan membuat pecah belah silaturahmi. Apalagi ini masalah keuangan yang diam-diam aku tidak ketahui arah jalannya. “Aku mau tanya, apa kamu ngojek untuk memberikan Mama uang?” tanyaku penasaran. Mayang mengecap bibirnya, ia tampak tidak menyukai pertanyaanku. “Mayang, tolong jawab, jika memang iya, aku izinkan kamu untuk memberikan uang kepada Mama dari uang yang kuberikan,” sambungku lagi. “Sebelumnya aku minta maaf, telah berikan Mama uang memakai namamu, Mas,” jawab Mayang. “Justru karena kamu memberikan uang pada Mama atas namaku, ini membuatku tersentil, berati seharusnya aku berikan pada Mama. Bukan hanya namanya saja,” jawabku. Kemudian Mayang bergeming. Aku tidak tahu bagaimana caranya menanyakan rincian yang kulihat di buku diary Mayang. Mau langsung tanya, apakah untuk membayar utang mama atau bukan, tapi aku masih khawatir Mayang tersinggung. “Mayang, memang kamu berikan uang pada Mama berapa? Hingga harus ngojek kepanasan?” tanyaku penasaran. Mayang bergeming lagi. Kemudian, aku genggam tangannya erat-erat. Agar ia percaya padaku, bahwa kejujurannya takkan membuat suaminya ini luntur mencintainya. “Mayang, aku mohon, jujurlah, Sayang. Kamu berikan uang untuk Mama berapa?” tanyaku sekali lagi meskipun dengan d**a yang benar-benar kencang detakkannya. Kuberanikan diri untuk menghilangkan rasa penasaranku ini. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD