Bab satu : Si Berandalan

1453 Words
“Perang Dunia II secara resmi digaungkan saat Jerman berhasil menginvasi Polandia pada 1 September 1939.” Usai membenarkan letak kacamata yang merosot akibat minyak berlebih di area batang hidung, sang guru melanjutkan, “Selain itu, terdapat dua peristiwa lainnya yang memicu perang dunia kedua, yaitu kegagalan Liga Bangsa-Bangsa dalam menjaga perdamaian dan keinginan balas dendam Jerman yang kalah saat Perang Dunia I.” Suasana kelas begitu hening. Materi Pelajaran Sejarah yang dibacakan Pak Husein seolah-olah menghipnotis seluruh siswa di kelas. Tidak ada lagi yang fokus memperhatikan. Beberapa anak di bangku terdepan tengah susah payah berjuang agar tetap membuka mata lebar-lebar, serta menahan kepala meski sudah berulang kali hampir terjatuh. Berbeda dengan bangku paling belakang, dua siswa telah tertidur pulas. Mungkin sedang bermimpi menjadi salah satu prajurit Nazi Jerman. Tak terkecuali dengan Alana Putri, gadis cantik bersurai panjang di barisan bangku bagian tengah. Matanya memerah karena tak henti-hentinya menguap. Ia terus menyeka air mata yang menggenang di kedua pelupuk mata sambil sesekali mulutnya mengecap. Rasa malas menguasai dirinya sejak sejam lalu. Untuk apa repot-repot mempelajari sejarah yang sudah lewat hampir seabad yang lalu itu? Bukankah pepatah mengatakan bahwa yang lalu biarlah berlalu, sekarang saatnya menatap masa depan? Benar-benar membosankan. Gadis itu terus membatin. Gadis tersebut menyerah. Ia tidak tahan lagi. Buku pelajaran segera ditutup, lalu melipat kedua lengan dan menenggelamkan wajahnya di atas meja. Baru saja beberapa menit ia menikmati sensasi kenyamanan tiada tara dengan mata terpejam, bangku miliknya didorong-dorong seseorang dari belakang. Meski pelan, cukup untuk mengusik kedamaian sesaat gadis itu. “Hei, Alana, bangun! Pak Husein sedang melihat ke sini!” seru seseorang di belakang. Nada suaranya meninggi, tapi setengah berbisik. “Diamlah, Mita. Aku benar-benar mengantuk,” ucap Alana tanpa berniat mengubah posisi barang sedikit pun. Mita bergidik ngeri. Kedua matanya membulat saat melihat Pak Husein kini bangkit berdiri dan berjalan ke arah mereka. “A-alana,” panggilnya lagi. Kali ini nada suaranya terdengar ketakutan. “Hei, kau!” Tiba-tiba Pak Husein berseru dengan lantang. Beberapa siswa pun sontak tersentak kaget, termasuk Alana sendiri. Gadis bersurai panjang itu langsung duduk tegap. Punggungnya refleks menegang begitu mendengar bariton Pak Husein barusan. Buru-buru ia menyembunyikan wajah di balik buku cetak, berpura-pura sedang dalam mode serius belajar. Sesekali matanya melirik ke depan, memantau pergerakan sang guru yang semakin mendekat. Seketika jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. “Hei, apa kau pura-pura tidak dengar?!” bentak Pak Husein. Mendengar derap langkah yang semakin cepat, Alana sadar tak ada gunanya lagi bersandiwara. Mengaku salah mungkin bisa meredakan amukan Pak Husein. Ia meletakkan kembali bukunya, lalu menundukkan kepala. Matanya terpejam erat, bersiap menerima hukuman. Dengan terbata-bata, Alana berkata, “Ma-maaf, Pak! Saya tidak akan—” “Bangun kau, Bagas!” perintah mutlak Pak Husein. Bagas? Alana langsung membuka mata, menatap Pak Husein melewati dirinya, lalu menuju bangku paling belakang. Setiap pasang mata kompak mengikuti langkah guru Pelajaran Sejarah itu. Di sana ada seorang siswa yang tengah terlelap. Dialah Bagas Elvano, siswa dengan predikat berandalan sekolah. Laki-laki itu bangun dari tidurnya, lalu menguap begitu lebar tepat di depan Pak Husein. Ia mengerjapkan matanya berulang kali sembari menatap sosok yang sedang menahan amarah tersebut. Tak ada pengakuan bersalah, apalagi permohonan maaf. Raut wajahnya seakan-akan berkata bahwa ia sengaja melakukan itu. “KELUAR DARI KELAS SEKARANG JUGA!” teriak Pak Husein. “Iya, iya. Tidak perlu berteriak juga,” jawab Bagas dengan entengnya. Ia mengusap sebelah telinga sambil memasang mimik kesal. Bagas berjalan keluar dengan santai. Sebelum meninggalkan kelas, ia sempat kembali menguap lebar. “Membosankan,” gumamnya. Pak Husein yang mendengar hanya bisa menggeleng tidak percaya, menahan geram. Di lain pihak, beberapa siswa terkikih. Mereka sudah terbiasa dengan sikap Bagas yang seperti itu. “APA YANG KALIAN TERTAWAKAN?!” bentak Pak Husein. Emosinya telah mencapai puncak ubun-ubun. Seketika suasana kelas hening. Pak Husein berjalan kembali ke depan kelas dan segera melanjutkan materi yang sempat tertunda. Alana berdecak. Ia tak habis pikir dengan kelakuan Bagas. Setiap hari dimarahi guru, apa tidak lelah? Namun, kali ini Alana bersyukur karena berkat Bagas tertidur, ia luput dari perhatian Pak Husein. “Dasar aneh,” gumamnya. Rasa kantuk mendadak hilang. Terpaksa Alana kembali berkutat dengan buku sejarahnya. Bel pulang sekolah berbunyi. Para siswa segera membereskan buku pelajaran masing-masing. Begitu sang guru meninggalkan kelas, suasana mendadak gaduh bagai pasar. Hiruk-pikuk memenuhi ruangan. “Ayo!” ajak Mita, menghampiri Alana yang sedang sibuk memasukkan bukunya ke dalam tas. Mereka berjalan beriringan meninggalkan kelas. “Eh, kudengar hari ini Kak Ojin punya pacar baru,” celetuk Mita. “Benarkah? Lantas bagaimana dengan yang kemarin? Bukankah mereka baru berpacaran satu minggu?” Alana menatap Mita dengan pandangan tidak percaya. “Katanya dia mencampakkannya. Bahkan siang tadi kulihat dia sedang menggandeng seorang siswi kelas sepuluh,” kata Mita penuh keyakinan. “Wah, benar-benar playboy. Kuakui wajahnya memang tampan. Sayang sekali dia dilahirkan dengan sifat berengsek seperti itu.” Siapa yang tidak kenal Ojin, anak kelas dua belas, seorang playboy yang hobi bergonta-ganti pacar. Namun, ketenarannya masih tidak sebanding dengan Bagas Elvano, si berandal. “Aku jadi kasihan sama cewek yang pernah men—” BRUKKK! “Aduh!” Ucapan Alana tadi terpotong saat dirinya tanpa sengaja menabrak seseorang. Ia hampir saja terjatuh jika Mita tidak menahannya. “Aishhh! Gunakan matamu dengan benar!” omel orang yang bertabrakan dengannya itu. Kedua mata Alana membelalak saat mendongak. Ia mengenali sosok tersebut. Bagas. “Apa?! Koridor masih luas! Seenaknya saja menyalahkanku. Lagi pula, aku tidak sengaja!” balas Alana. Ia masih memegangi pundak kanannya yang terasa berdenyut. Segala kalimat barbar telah siap keluar dari mulut Bagas, tapi gejolak perut menahannya. Pemuda itu berdecak kesal sambil mengarahkan jari telunjuknya di depan wajah Alana. Kemudian, usai mengembuskan satu helaan napas panjang, Bagas berlalu. Tanpa menggubris ocehan gadis itu, ia berjalan meninggalkannya begitu saja. Jika bukan karena perutnya sedang tidak enak, Alana pasti sudah diterkam. “Apa-apaan, tuh? Dia bahkan tidak meminta maaf padaku!” ucap Alana kesal. Tidak seperti siswi-siswi lain, Alana tidak takut dengan Bagas. Tidak peduli gelar berandal yang melekat pada dirinya. “Hentikan. Bagas bisa mendengarnya. Kau tidak ingin terlibat masalah, ‘kan?” Mita berusaha menarik temannya itu menuju gerbang. “Benar-benar menyebalkan! Dasar berandal sekolah!" *** “Aku pulang.” Alana langsung melepas sepatu ketika tiba di rumah. Suara ibunya terdengar tengah berbicara dengan seseorang di ruang TV. Penasaran, gadis itu buru-buru menghampiri sumber suara. Ada seorang wanita paruh baya di sana, duduk berdampingan dengan sang ibu. Usia mereka tampak tidak terpaut jauh. “Ah, kau sudah pulang, Alana,” sapa Kirana. Tangannya mengisyaratkan agar sang putri segera mendekat. “Kenalkan, ini Tante Maria, teman Ibu.” Alana segera memberi salam dengan berjabat tangan. “Saya Alana, Bu.” Wanita itu memandang gadis di depannya dari ujung kaki hingga kepala, lalu tersenyum. “Ini putrimu, Ran?” tanya Maria, lalu berpaling kembali pada Alana. “Wah, kau cantik sekali, ya.” Alana membalas senyum dengan malu-malu sambil menjawab, “Terima kasih.” “Ah, kalau begitu aku pamit pulang dulu, ya, Ran. Putraku pasti sudah menunggu.” Wanita paruh baya itu beranjak dari posisinya, bersiap untuk pulang. Kirana dan putri semata wayangnya ikut mengantarkan Maria menuju pintu gerbang sampai menaiki sebuah mobil yang dikendarai sendiri dan pergi, menghilang setelah tikungan di ujung jalan. “Aku tidak pernah melihatnya,” ucap Alana usai sempat mengingat-ingat. “Dia sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, jarang sekali ke sini,” terang Kirana. “Lantas, tumben dia ke sini?” “Bukan Maria yang sengaja ke sini, tapi Ibu yang memintanya mampir. Ada yang perlu dibicarakan.” Kirana merangkul pundak Alana, mengajaknya kembali masuk. Alana hanya mengangguk pelan. *** “Dari mana saja kau?” Seorang pria paruh baya bertanya saat melihat putranya memasuki rumah. Bukannya menjawab, lelaki itu justru langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua, mengabaikan sang ayah. “BAGAS!” teriak David lagi dengan suara melengking. Namun, Bagas sama sekali tidak menggubris. “Sebenarnya, apa yang ada di kepala anak itu? Apa dia benar-benar ingin jadi berandalan?!” David masih saja mengomel. “Bagas baru baru pulang, Yah?” tanya sang istri yang baru kembali dari belakang. Sebelum menjawab, David memulai dengan embusan napas kasar. “Bagaimana bisa siswa SMA hampir setiap hari pulang larut malam? Apa sih yang dia lakukan? Beberapa hari lagi kita harus pergi ke Jepang. Bagaimana kita bisa pergi jika kelakuannya seperti itu?” “Tenanglah, dia pasti akan baik-baik saja,” bujuk Maria. Ia mengusap lembut punggung suaminya. “Lalu, bagaimana jika dia menimbulkan banyak masalah selagi kita pergi?” “Bagas tidak akan menimbulkan masalah apa pun. Aku sudah memikirkan caranya. Cukup percaya saja padaku,” ucap Maria dengan senyum kepuasan. “Cara?” tanya David, tidak mengerti. Sang istri hanya mengangguk sambil menyunggingkan senyum penuh arti. - TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD