Bebas

1443 Words
Zhi menghela nafas saat melihat hotel yang ditujunya kini sudah berada di depan mata. Bukan kelegaan yang ia rasakan tapi justru kini ia bingung. Bingung karena ia tak tahu kini apa yang harus ia perbuat. Impian untuk menikmati bulan madu indah di pantai Anyer bersama Hermadi sudah pupus. Malam sebelum hari pernikahannya, Zhi merasa sedikit gelisah. Entah mengapa perasaannya tak enak. Untuk menenangkan hatinya, diam-diam Zhi mengunjungi apartemen Hermadi. Setidaknya untuk meyakinkan bahwa keputusannya tak salah. Sudah lama Zhi memegang kunci cadangan apartemen tunangannya itu, tapi ia tak pernah berani mengunjungi Hermadi. Mereka belum lama saling mengenal sebelum Hermadi langsung melamar Zhi tanpa pacaran. Keraguan selalu hinggap di hati Zhi, meski ia mengiyakan lamaran Hermadi. Setelah lamaran, mereka mulai disibukkan dengan t***k bengek pernikahan. Tak banyak sebenarnya, karena Hermadi ingin pernikahan sederhana. Hanya Zhi ingin pernikahannya lebih spesial. Bagaimanapun ia ingin pernikahannya hanya sekali seumur hidup tapi penuh kesan mendalam. Zhi membuka pintu perlahan. Sengaja tidak mengetuk atau menekan bel pintu. Ia ingin memberi kejutan untuk kekasihnya. Untuk pertama kalinya. Zhi melangkah perlahan, sambil mengenali ruangan yang akan menjadi rumahnya itu. Tapi saat melewati ruang tamu, Zhi mendengar suara pekik perempuan bercampur napas memburu laki-laki dari ruang sebelah. Pintu ruangan itu sedikit terbuka, jadi Zhi memberanikan diri untuk mengintip. Zhi bisa melihat dua orang sedang berdekapan di atas tempat itu. Itu Hermadi yang sedang memeluk seorang wanita. Untuk sesaat tubuh Zhi membeku. Mereka bergerak dalam irama nafas bersama, membuat mata Zhi hampir tak percaya melihatnya. Beberapa detik kemudian, ia bisa melihat siapa wanita itu. Itu adalah Nania. Sahabat baiknya sendiri, yang juga sekretaris Hermadi. Suara jerit tertahan Zhi menghentikan perbuatan keduanya secara spontan. Mereka menoleh dan terkejut melihat Zhi berdiri di depan pintu sambil menutup mulutnya. Hermadi yang lebih dulu menyadari situasi dan melompat turun dari tempat tidur sambil menyambar sesuatu. Zhi tak tahu apa itu karena ia keburu memalingkan wajah. Justru dia yang merasa malu melihat tubuh-tubuh telanjang di depan matanya. "Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Hermadi.  Zhi menatapnya kaget. Bagaimana bisa laki-laki pengkhianat ini membentaknya seakan-akan dirinya yang bersalah. "Pergi!!! Untuk apa kamu di sini?" bentak Hermadi lagi. Kali ini ia menarik tangan Zhi dan menyeretnya keluar. Begitu sampai di depan pintu, pria itu mendorong tubuh Zhi keluar dan membanting pintu keras-keras. Zhi terpana tak percaya.  Bagaimana bisa seorang pria yang akan menjadi suami, justru membentak, menyeret dan mengusir calon istrinya setelah tertangkap basah berbuat m***m dengan perempuan lain yang jelas-jelas telah menikah? Anehnya, Zhi tidak menangis ataupun marah-marah. Ia hanya menghela nafas. Kegelisahannya terjawab sudah. Ini alasan hatinya semakin tak tenang saat waktu pernikahan makin dekat. Kak Amin benar, Zhi belum mengenal dengan baik siapa Hermadi dan doanya terjawab sudah. Lebih baik ia tahu sekarang daripada nanti setelah mereka menikah.  Dengan tenang, Zhi menelpon ibu asuhnya. "Bun, maafkan Zhi ya. Besok Bunda gak usah datang ke gedung." "Loh kenapa, Zhi?" "Pernikahan Zhi batal, Bun." Tak ada kata-kata menenangkan dari Bunda. Hanya terdengar helaan napas Bunda yang terdiam. Zhi pun berpamitan. Ia tak bisa menjelaskan apapun saat ini, dan ia mengerti Bunda pasti memahami dirinya soal itu. Setelah itu, Zhi bergegas ke tempat kostnya. Sembari menelpon kedua sahabat sekaligus saudara panti asuhannya, Rusna dan Kak Amin, ia mengepak kembali pakaian dalam kopernya dari dua orang untuk satu orang saja. Zhi menyingkirkan semua barang milik Hermadi yang ia packing bersama dan akan meminta Kak Amin mengembalikannya pada pria itu.  Tapi sepertinya kedua sahabatnya itu sama sekali tak terlihat keberatan. Mereka hanya berlarian kalang kabut mendatangi Zhi, memastikan ia belum berangkat. Rusna lebih dulu tiba, sebelum Kak Amin juga datang.  "Kamu mau ke mana, Zhi?" tanya Rusna kuatir. Zhi melipat pakaiannya yang terakhir untuk dimasukkan. "Aku akan tetap ke Anyer besok, Rus." "Kamu benar-benar gak papa batalin semuanya begitu aja?" tanya Kak Amin. Zhi hanya mengangguk. "Kamu gak perlu ngasih penjelasan sama Hermadi atau... " "Tidak!" "Kenapa, Zhi?" tanya Rusna dan Imung bersamaan. Zhi menghela nafas. "Aku gak cinta dia." Jawaban itu sebenarnya kurang meyakinkan. Tapi kedua sahabatnya tak lagi bertanya. Dalam diam, mereka membantu Zhi, memisahkan barangnya dengan barang Hermadi, mengangkat koper dan membersihkan semuanya. Malam itu, Rusna juga bermalam di kamar kost Zhi, sesuai janjinya.  Zhi tak lagi peduli soal pernikahan yang sudah ia siapkan berbulan-bulan. Biarlah Hermadi yang mengurus semuanya. Semua ini karena kesalahan lelaki pengkhianat itu. Apalagi selama masa-masa persiapan, hanya Zhi yang selalu sibuk mengurus segalanya sendirian. Seharusnya Zhi tidak bermimpi terlalu tinggi. Bermimpi menjadi Cinderella yang sudah menemukan pangerannya. Zhi tak menggunakan akal sehat saat Hermadi melamarnya, yang bahkan tak pernah menjadi pacarnya. Saat itu Zhi terlalu bahagia menerima lamaran seorang Manager hotel tempatnya bekerja selama ini. Lamaran itu bagai sebuah mimpi. Apalagi untuk seseorang sepertinya, yang hanya pegawai rendahan di bagian housekeeping hotel. Kini, Zhi sadar. Hermadi ingin menikahinya untuk menutupi perselingkuhannya dengan Nania, yang sudah menikah dan memiliki seorang putri. Kecurigaan teman-teman sekerja Zhi selama ini, ternyata terbukti benar dan Zhi menyesal. Ia pernah membela Hermadi mati-matian hingga memilih untuk mendiamkan mereka. Padahal begitu mereka tahu soal pembatalan pernikahan melalui pesan singkat, justru mereka yang mengucapkan penyemangat padanya, menghibur hati Zhi. Saat tahu Zhi akan tetap berlibur, mereka pun memastikan kalau segalanya akan baik-baik saja sampai Zhi kembali. Paket liburan kelas satu ini sudah dibayar lunas oleh Zhi. Semua biaya pernikahan memang dibiayai Hermadi, tapi untuk biaya paket liburan bulan madu ini seluruhnya memakai tabungan Zhi selama bertahun-tahun. Zhi merasa wajar untuk tetap menggunakannya. Kedatangan Zhi disambut dengan ramah dan hangat, seorang pelayan membantunya membawa tas ke kamarnya. Suite honeymoon berlantai satu di lantai teratas hotel itu. Meski bingung melihat Zhi datang seorang diri, pelayan itu sama sekali tidak menunjukkannya. Ia tetap menyapa dengan ramah dan memberitahu beberapa hal seperti acara spesial yang diadakan hotel malam ini. Saat memasuki kamar itu, Zhi harus menahan nafas melihat keindahan ruang khusus untuk pasangan pengantin itu. Wangi bunga mawar menyerbu penciumannya. Hamparan warna pink bercampur pink dominan mewarnai kamar. Sebuah balkon besar tepat di depan tempat tidur, memberi pemandangan laut lepas. Sayup-sayup terdengar suara ombak memecah pantai ketika Zhi berdiri menikmati angin di atas balkon. Saking indahnya, Zhi melupakan keberadaan si pelayan yang langsung keluar sesaat setelah ia meletakkan koper dan tas jinjing Zhi di atas meja. Napas Zhi kembali terasa sesak saat melihat tempat tidur yang dipenuhi oleh taburan bunga mawar merah dan pink. Tempat tidur bertiang empat yang indah itu terbalut kelambu putih yang juga dihiasi pola bunga berwarna pink yang cantik, seakan-akan menggoda setiap orang untuk berbaring di atasnya. Zhi teringat khayalan beberapa minggu yang lalu. Di atas tempat tidur itu, memadu kasih dengan seseorang yang ia pilih untuk menjadi pelabuhan cinta terakhirnya. Zhi memalingkan wajah. Seseorang itu ternyata bukan Hermadi. Ia datang ke sini pun bukan lagi untuk menangisi kegagalannya. Ia datang untuk memulai kehidupan baru dan Hermadi bukan lagi bagian dari rencana itu. Masa bodoh dengan Hermadi, sekarang ia adalah masa lalu yang harus dilupakan. Aku akan mulai menikmati hidupku sendiri. Di sini aku sendiri, tidak untuk berbagi lagi. Aku akan melakukan semua yang kuinginkan, tak ada yang perlu kukuatirkan, pikir Zhi tak peduli. Zhi menghirup udara laut dalam-dalam. Menikmati bau khas yang sudah lama sangat ia rindukan. Bau yang mengingatkannya bahwa bau laut selalu bisa mengembalikan kenangannya tentang masa kecil yang hangat. Masa-masa ia selalu merasakan kasih sayang tulus dan tak ada embel-embel apapun. Setelah beristirahat sejenak merasakan empuknya tempat tidur pengantin itu, Zhi pun mandi dan berganti baju. Bosan berada di kamar, Zhi memutuskan untuk berkeliling di sekitar hotel. Ia ingin melihat-lihat apa yang bisa ia lakukan selama enam hari berada di hotel itu. Zhi ingin mencoba semua fasilitas hotel yang pernah ia baca pada brosur yang ia dapatkan saat mem-booking paket liburan ini dulu. Zhi masuk dalam sebuah lift tepat di depan pintu kamarnya. Pintu lift hampir tertutup, ketika sebuah tangan menghentikannya. Dengan tangkas, Zhi membantu menekan tombol agar pintu lift terbuka kembali. Seorang laki-laki muda mengenakan celana hitam panjang dan kaos putih dengan jaket bomber biru masuk ke dalam lift. Sebuah tas selempang hitam melingkar di bahunya. Pria muda itu tersenyum padanya. "Terima kasih Nona... " ia tak meneruskan kata-katanya. "Zhi, namaku Zhi," sela Zhi menjawab pertanyaan tak langsung itu. "Terima kasih Nona Zhi." "Sama-sama, Mas ... " Ganti kali ini Zhi mengulang cara pria itu. "Panggil Yoe aja."  "Yoe," sebut Zhi sambil mengulurkan tangan. Mereka bersalaman, tersenyum penuh arti. "Liburan? Sendiri?" selidik Yoe sambil melirik Zhi yang asyik menatap angka-angka yang berganti di atas pintu lift.  Zhi hanya mengangguk. Yoe tersenyum penuh arti. "Aku juga sama." Ruangan itu sunyi. Pikiran-pikiran aneh berseliweran di kepala Zhi saat melihat Yoe terus menatapnya. Ruang yang hanya diisi oleh mereka berdua itu tiba-tiba terasa sesak. "Kalau berlibur sendiri rasanya ga enak juga. Bagaimana kalau kita nikmati liburan ini bareng?" ***** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD