3. Asisten Baru Chef

1911 Words
"Bener itu asisten barunya kabur lagi?" "Iya. Dari pagi nggak ada itu kelihatan di ruangannya. Parah, baru juga seminggu udah nyerah?" "Kalau aku, juga bakal nyerah Mir. Muka si Chef flat sangat kaya papan seluncur gitu. Dikira anak buahnya punya indra keenam? Nyuruh atau merintah hanya cuma pakai bahasa isyarat saja?" Telinga Liana pun keduanya serentak berdiri diam-diam ikut menyimak, ketika Yuni menyebut kata chef. Mereka berlima, Liana, Mira, Yuni, Bowo, dan Ega sedang duduk santai beristirahat di markas besar tempat me-time mereka, yaitu di halaman teras samping dapur utama. Di situ tersusun beberapa meja dan kursi santai. Liana yang masih asyik dengan cemilan ringan di tangannya, diam-diam mendengarkan berita yang dibawa oleh teman seprofesinya itu. Semenjak insiden sepatu melayang ke pagar duri, Liana menjadi sangat sensitif bila mendengar atau melihat tentang chef muda itu. "Padahal yang terakhir kabur nih, ceweknya lumayan cantik loh. Gitu-gitu nggak betah juga kerja di samping si Bos," lanjut Yuni lagi. "Kamu aja coba Yun, ajuin diri buat jadi asistennya, dengar-dengar lumayan loh gajinya." "Tak lah, aku pilih jadi asisten koki bakery yang sekarang aja. Nggak perlu pakai ilmu kira-kira kerja sama beliau. Biar agak tua tapi lebih sabar. Sama Chef, bisa kaku kejang juga hidup aku." "Iya juga sih. Aku aja yang kadang dapat sidak dadakan dari si Bos, kadang pilih ngumpet di belakang. Nggak nahan sama pedas mulutnya. Model cowok perfeksionis plus antagonis. Aku kepikiran, yang jadi istrinya kelak, bakal sabar dan tahan gak ya?" "Ssst ... Jangan diterusin. Tahu-tahu dia di belakang nongol habis kita," ucap Bowo menengahi obrolan Yuni dan Mira. Sedangkan yang lain hanya menganggukkan kepala saja. "Liana," panggil Yuni, mengintrupsi. Liana yang sedang minum coca-cola fanta, hanya menaikkan satu alis matanya, seolah memberi isyarat jawaban kepada Yuni yang memanggil namanya, 'apa?' "Betah di bagian sayur?" tanya Yuni melanjutkan. Liana meletakkan kaleng coca-cola yang sudah berkurang isinya itu di samping bungkus snack camilannya. "Betah Mba. Enak aja kok kerja bareng Pak Anjar. Yang penting disiplin dan nggak lelet, selesai urusan sama beliau." Liana pun menjelaskan dengan santai, yang akhirnya dibalas anggukan kepala para rekannya. "Iya. Kata Mba Dea yang udah risegn itu , enak kerja bareng Pak Anjar, orangnya sabar dan humoris juga. Sayang kan Mba Dea mesti berhenti karena hamil." "Udah rezeki aku berarti Mba Yun. Mba Dea pamit, aku masuk gantikan." Ketika sedang asyik bergosip, ada salah satu staff HrD menghampiri mereka. "Cari siapa, Mas?" tanya Ega, mewakili teman-temannya untuk bertanya. Yang disapa punmengganggukkan kepala, tetapi pandangan matanya langsung mengarah ke Liana. "Lima menit lagi, Liana ke ruangan Chef Arkhan. Di sana sudah ada manager Pak Suko juga. Aku cari tadi di dapur-dapur gak ada, ternyata sedang ngadem di sini kamu. Aku disuruh Pak Suko buat cariin kamu." "Eh, kenapa ya?" tanya Liana spontan. Otak kecilnya langsung berpikir keras, kesalahan apa yang sudah ia perbuat, hingga Pak Suko sampai datang sendiri ke ruangan Chefnya. Apakah insiden sepatu melayang itu berlanjut dibahas lagi oleh Chefnya. Apakah Pak Suko menanggapi aduan Chef itu? Kalau benar, berarti chef itu sangat kekanakan sekali, batin Liana sedikit geram. "Nanti juga kamu akan tahu sendiri. Nggak usah mikir aneh-aneh, nggak sendiri juga kamu di sana nanti, ada anggota lainnya kok." Perkataan staff itu pun, membuat Liana merasa sedikit lega. "Oke lah kalau gitu. Aku ke loker dulu ya? Siap-siap." "Jangan pakai lama Na. Tadi Pak Suko udah on the way juga ke arah ruangan Chef Arkhan," kata staff itu yang dibalas anggukkan kepala Liana. "Si Chefnya ada juga?" tanya Mira penasaran. "Ya ada. Kan beliau yang punya ruangan," jawab staff HrD itu, lalu ia pun berlalu dari hadapan Yuni dan kawan-kawannya, sedangkan Liana sudah berlalu duluan pergi, untuk mencuci wajahnya. Di depan meja kerja Executif Chef itu, sudah ada Pak Suko, satu asistennya, dan Arkhan si empu ruangan tersebut. "Baiklah, maaf sudah mengganggu waktu kalian sebentar. Karena sudah lengkap, langsung saja ya." Pak Suko menjeda kalimatnya sejenak, "berhubung asisten yang baru Chef Arkhan sudah mengundurkan diri hari kemarin, di sini kalian kami kumpulkan untuk dipilih oleh Chef Arkhan sendiri, untuk menjadi asistennya. Untuk menemani semua pekerjaan." Liana tampak santai layaknya di pantai. Dalam bayangannya, pasti dirinya tak akan dipilih, selain pengalaman kerjanya yang baru di perdapuran hotel itu, dia juga sempat bermasalah dengan chef muka frezzer tersebut. Tentu saja karena tentang kejadian sepatu melayang itu. Hingga membuatnya berpikir tak akan sedikit pun nama dan wajahnya dilirik chef. Terlalu asyik melamun dengan pikirannya sendiri, Liana pun sampai tidak begitu mendengar kata-kata yang diucapkan oleh managernya. "Saya pilih dia." Suara Chef Arkhan yang sedikit keras itu menerobos gendang kecil telingannya. Yang akhirnya berhasil mengembalikan kesadarannya untuk apa ia berada di ruangan itu. "Bisa diulangi Chef?" tanya Manager itu kembali. "Iya. Saya pilih dia." "Liana, tolong sebutkan nama lengkap kamu," ucap Manager memberi perintah. "Liana Merlyna, Chef." Liana menjawab sedikit pelan. Arkhan hanya menganggukkan kepala, tanda dia sudah fix menentukan pilihannya. "Mati aku, ngapain dia pilih aku sih. Apa dia dendam sama aku?" bisik Liana pada dirinya sendiri dan agak panik. Dari yang ia dengar, chef yang ada di depannya itu sangat perfeksionis dan irit bicara. Liana tak bisa membayangkan nasibnya setelah ini. "Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Arkhan tiba-tiba, karena pertanyaan ditujukan ke arah Liana, dan membuat semua mata memandang ke arahnya. Liana tampak sedikit gugup lalu meringis lucu, "tak ada Chef. Hehehe ...." "Saya minta, mulai hari ini juga, kamu pindah ke ruangan saya. Perlu digaris bawahi, kerja dengan saya dituntut cepat paham tanpa saya perlu menjelaskan dua kali. Kamu di sini bekerja bukan belajar. Dan satu lagi, disiplin dan cekatan adalah point penting untuk saya. Mengerti kamu?!! " ucap Arkhan dengan jelas tetapi sangat mengintimidasi Liana. "Ngerti Chef." Arkhan kembali berbincang serius dengan Manager Suko. Sedangkan anggota yang tidak terpilih pun sudah mengundurkan diri satu persatu dari ruangan Executif Chef itu. Ketika Liana akan melangkahkan kaki balik ke pintu, ada suara mencegah langkahnya, "mau ke mana kamu?" Karena penasaran, Liana pun kembali menghadapkan wajahnya ke arah suara tersebut, "saya?" "Apakah ada orang lain di sini selain kita? Apa kiranya sopan kalau saya sebut Pak Suko dengan sebutan kata 'kamu'?" tanya Arkhan seraya menyindir, yang membuat Liana mencebikkan bibirnya. "Maaf Chef," jawab Liana, dan kembali berdiam diri menunggu kata-kata lanjutan atasan barunya itu. "Sudah saya bilang, saya cukup mengulangi perintah saya sampai dua kali saja." "Baik Chef." "Coba, ulangi, saya meminta apa ke kamu tadi?" Liana pun tampak berpikir sejenak, "mulai bekerja dengan Chef mulai hari ini," jawab Liana agak mengambang takut salah bicara. "Lalu, ngapain kamu balik mau pergi." "Hehehee ... lupa Chef." "Saya tidak suka sama partner kerja yang cengengesan begitu. Seperti tidak ada keseriusan." "Maaf Chef." "Sudahlah Chef. Jangan terlalu keras dan kaku. Jangan sampai asisten baru kamu ini, kabur juga nantinya." Potong apak Suko, menengahi ucapan Arkhan kepada Liana itu. "Lebih baik, sekarang kamu terus terang di sini. Masih mau lanjut, atau mau berhenti. Kalau berhenti, silahkan mengundurkan diri dengan hormat." Arkhan berkata sedikit ketus seolah-olah belum puas memberi orientasi pada Liana. Liana sempat melongo dengan ucapan chef barunya. Fix, si bos nih dendam sama gue. Batin Liana sedikit merengut. "Nggak usah ngedumel dalam hati." Skak Arkhan masih ingin menggojlok Liana. "Oke Chef, sepertinya, anda masih ingin wawancara untuk asisten baru ini. Saya undur diri dulu ke ruangan saya." Pamit Pak Suko dengan menahan senyum, dia pun paham, tentang insiden sepatu tempo hari, karena insiden itu sudah menyebar ke area para staff di hotel. Sepertinya Arkhan ingin sedikit membalas keisengan Liana. "Iya. Makasih Pak atas bantuannya," jawab Arkhan sedikit melunakkan suaranya. "Sama-sama Chef. Jangan keras-keras ya sama dia, kinerjanya lumayan bagus dan disiplin. Makanya saya berani merekomendasikan dia untuk Chef." "Kita lihat saja nanti Pak, apakah benar penilaian apak Suko untuk dia," ucap Arkhan sedikit meremehkan Liana. 'Dasar cabe!' guman kesal Liana lirih, tetapi Arkhan seperti tahu sedang digibahin oleh hatinya Liana. "Ngomong apa kamu." "Enggak ada Chef. Heheee ...." "Jangan cengengesan." "Iya Chef." "Dan satu lagi, jangan suka nyusahin!" ucap Arkhan masih dengan intonasi ketus. *** Liana menyeka beberapa keringat yang ada di dahi, kening dan hidungnya. Ruangan khusus tempat stok berbagai macam bahan makanan dan minuman yang dingin itu tak membuat Liana merasa nyaman. Tugas pertama yang diberikan oleh Arkhan tidak tanggung-tanggung. Mendata dan mencatat semua bahan-bahan yang masih tersedia. Mencocokkan kembali dengan data yang sudah ada. Lalu mencatat barang dan bahan-bahan yang keluar masuk, dan masih harus mencatat bahan-bahan pokok yang dibutuhkan di semua dapur hotel tersebut. "Ini nih dendam terselubung namanya. Apa guna catatan yang ada, kalau masih harus didata ulang?" gumam Liana sambil merengut. Liana adalah tipe-tipe yang suka langsung memegang alat-alat masak daripada harus pegang buku dan bolpoint. Membuat otaknya bekerja dua kali lipat. "Nggak usah ngedumel." Karena terlalu fokus dengan notesnya dan segala bahan barang-barang yang ada di sekitarnya itu, sampai membuat Liana tidak menyadari, kalau sudah ada Arkhan di belakangnya. "Eh. Chef ... Hehehee ...." "Apa cengengesan itu kebiasaan kamu?" "Eh, enggak Chef. Maaf reflek." "Sudah dua jam kamu berkutat di ruangan ini. Belum kelar juga?!!" "Banyak chef. Mana sendiri lagi," ucap Liana sedikit mengeluh, sangat kentara sekali keletihan di wajahnya. "Makanya itu gunanya otak! Punya otak tuh dipakek! Putar otak kamu, kalau kerja itu cari cara tercepat! Jangan lelet apalagi lemot!" ucap Arkhan ketus dengan intonasi the power. Seketika Liana pun menutup kedua telinganya. Suara Arkhan yang keras dan ketus bukan mambuatnya takut, tetapi sangat mendengung pengang di telinga, apalagi jarak mereka yang lumayan dekat begitu. Jiwa dan harga dirinya serasa terinjak-injak dengan ucapan ketus dan meremehkan dari atasan barunya itu. Sungguh atasan tidak berakhlak, batin Liana semakin kesal. "Kenapa! Tersinggung? Mau nangis?!!" "Enggaklah. Sorry ya Chef. Saya nggak selemah itu," sahut Liana kesal. Baru kerja dua tiga jam dengan Arkhan, sudah berhasil membuatnya naik darah. "Bagus kalau gitu. Lanjut kerjain." "Iya Chef," jawab Liana masih merengut kesal. "Nggak usah pasang wajah sok imut. Saya nggak butuh itu." "Chef nggak sakit ya tenggorokannya?" "Kenapa?" tanya Arkhan balik, sambil memicingkan sebelah matanya ke arah Liana. "Ngegasss melulu dari tadi," ucap Liana tanpa beban. "Lihat muka kamu, jadi sebel saya." "Terus ngapain Chef di sini?" tanya Liana sambil kembali mendata kelompok kopi dan teh. Sesekali menghitung jumlah satuannya. Lalu mencatat kembali ke buku yang sedang ia bawa itu. "Nggak usah ge-er. Saya ngawasin kamu di sini!" jawab Arkhan masih dalam mode ketus. "Chef dendam ya sama insiden sepatu itu?" tanya Liana lagi, tetapi dia masih fokus dengan catatannya bahkan tanpa sedikit pun melihat ke arah Arkhan. "Nggak usah dibahas. Nggak malu apa punya kelakuan yang abnormal begitu." "Mulut Chef kayak cabe." "Mulai berani kamu." "Tuh kan? Makanya jangan pedas-pedas kalau ngomong." Posisi Liana masih memunggungi sang Chef dan sibuk dengan gerakan kembali menghitung manual stok mentega dan butter lainnya. "Nggak takut saya pecat kamu." Liana langsung menengokkan kepalanya. "Pecat aja. Biar Chef makin pening cari asisten lagi. Lagian perjanjiannya kan saya cuma harus disiplin dan cekatan. Cerewet saya gak termasuk loh ya. Chef lupa?" jelas tanya Liana semakin berani. Arkhan pun beranjak berdiri dari duduknya. "Udah lah, selesaikan tugas kamu, sebelum jam empat. Kalau tidak, kamu harus lembur hari ini." "Mending Chef pergi aja deh." "Maksudnya?" "Bikin saya nggak konsen, kalau Chef di situ." "Kenapa, kamu terpesona sama saya?" "Geer. Cewek datar nggak level ya, terpesona sama orang yang suka sok ganteng gitu," jawab Liana ketus lalu melengos, kemudian melanjutkan tugas-tugasnya. Tanpa mau memperdulikan lagi sesosok makhluk yang sudah membuat moodnya ambyar. "Dasar cewek bar-bar!" sungut Arkhan, kemudian berlalu dari ruangan bahan makanan itu. "Dasar cabe," ucap Liana pelan, yang ternyata masih terdengar di telinga Arkhan yang sangat sesitif itu. "Saya dengar Lian!" .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD