PART 2 - CERAI.

1633 Words
Entah berapa lama ia tertidur. Yang ia rasakan hanya ketenangan dan kenyamanan. Ia pikir semua usai, saat ia menyerahkan semua pada takdir. Untuk apa juga harus hidup di dunia ini jika sebatang kara. Tanpa satupun orang yang tulus menyayangi dirinya. Tapi kembali Nazla tak bisa menolak suratan takdirnya, saat ia akhirnya membuka mata, ia sadar ia masih ada di dunia yang penuh dengan tragedi di hidupnya. “Nazla, kamu sudah siuman?” Suara seseorang membuat Nazla menggerakkan kepalanya perlahan. “Emma?” lirihnya pelan. “Ya Tuhan, akhirnya kamu sadar Nazla.” “Apa yang terjadi padaku Emma?” “Kamu koma setelah operasi sesar Naz.” “Koma?” “Sebentar ya, aku panggil dokter dulu.” Nazla hanya bisa menatap sahabat satu-satunya melangkah keluar dari ruangan. Ia meneliti sekeliling. Tanpa diberitahu ia yakin jika ini sebuah ruang rawat di rumah sakit. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Sontak tangannya meraba perutnya. Kempes? Ya Tuhan, anakku? Mana anakku? Semua berlangsung cepat. Ketika beberapa perawat dan dokter datang memeriksa tubuhnya. Melepaskan satu-persatu selang yang menyambung di tubuhnya. Dokter mengatakan jika kesehatan Nazla berangsur pulih. Andai bisa ia lebih memilih untuk tidak sehat, atau mungkin lebih baik mati sekalian, ketika mendengar vonis dokter tentang bayinya. “Maafkan, tapi bayi ibu meninggal ketika dalam perawatan.” Penjelasan dokter membuat hati Nazla menjerit. “Bayiku?” lirihnya dengan hati hancur. “Yah, bayi anda perempuan, dan sudah dimakamkan hari itu juga saat ia dinyatakan meninggal.” Haruskah ia hidup sendiri lagi? Setelah kedua orang tuanya, neneknya dan kini bayinya? Bayi yang ia pikir akan menemani hidupnya. Nazla tidak perlu apapun. Tidak peduli jika suaminya tidak lagi menjenguknya. Tidak peduli jika ia hanya hidup berdua dengan bayinya saja di dunia ini. Tapi, jika semuanya pergi, untuk apa ia sendiri di sini? Untuk apa ia hidup di dunia ini. “Kamu sabar ya Naz, kamu pasti bisa.” Emma menggenggam telapak tangan Nazla dengan sayang. Nazla tak sanggup berkata-kata. Ia biarkan bening itu meluncur manis di pipinya yang semakin tirus. “Kenapa semua orang pergi meninggalkan aku Em? Apakah mereka gak sayang sama aku? Kenapa aku dibiarkan hidup sendiri di dunia ini?” “Kamu gak sendiri Naz, kamu punya aku. Aku akan selalu ada buat kamu. Kamu sahabat aku. Aku gak akan ninggalin kamu sendiri.” Nazla membiarkan Emma mengusap pipinya yang basah. “Suami aku ada datang?” tanya Nazla sambil menatap Emma. Seharusnya Nazla tidak bertanya, karena percuma. Yang ada hanya sakit hati yang semakin bertambah. “Suamimu datang hanya untuk menguburkan putri kalian. Semua biaya rumah sakit ini sudah dibayarkan oleh suamimu, Fendi.” “Dia pasti bahagia, saat tahu putriku tidak selamat ya Em.” Mata Nazla menerawang membayangkan wajah suaminya yang pasti terlihat senang, karena ia kehilangan bayinya. Tatapan sendu terlihat di wajah Nazla. Sekalipun suaminya menolak mengakui kandungannya ini adalah buah cinta mereka, Nazla tidak peduli. Ia menyayangi bayi yang bersemayam di dalam perutnya selama sembilan bulan ini. Hanya bayinya yang menjadi temannya bicara selama ini. Yang membuat Nazla memiliki semangat tinggi untuk bangkit dari keterpurukan hidup atas sikap kasar suaminya. Bagaimana bisa, suaminya menuduh bayi yang ia kandung adalah anak laki-laki lain? Padahal hanya Fendilah satu-satunya laki-laki yang menjadi suaminya. Laki-laki pertama yang menyentuhnya setelah mereka melaksanakan ijab kabul di pernikahan mereka. Entah dimana akal sehatnya, lelaki itu menuduh Nazla tidak suci lagi, hanya karena tidak melihat bukti kesucian di atas ranjang pengantin mereka. “Bilang sama aku, siapa lelaki yang telah merampas hakku, Nazla!” Saat itu wajah suaminya terlihat emosi sekali. “Gak ada Mas, gak ada satupun yang menyentuh aku, selain dirimu,” aku Nazla dengan wajah sarat ketakutan. “Buta mata kamu hah! Kamu lihat di sana!” Telunjuk Fendi terarah ke atas ranjang. “Adakah bukti kamu itu suci saat aku sentuh, hah! Dasar wanita pembohong!” Rasa sakit di tubuh seiring dengan rasa sakit di dalam hati, mendengar tuduhan dari lelaki tampan yang baru sehari menjadi suaminya. Tanpa perasaan Fendi mendorong tubuhnya hingga jatuh ke atas ranjang. Itu hanya kilasan tentang suaminya, yang telah menunjukkan jati diri yang sesungguhnya. Fendi Permana, sosok laki-laki berpostur tubuh tinggi besar, putra satu-satunya pasangan Agus dan Lisa, yang bersumpah di depan penghulu akan menjadi suami Nazla, menjaga gadis itu dan membahagiakan hidupnya, nyatanya menyalahi sumpah dan janji yang ia ucapkan. Kehidupan Nazla setelah menikah bak dalam neraka. Sikap Fendi yang awalnya terlihat baik, berubah dengan cepat. Hanya ada hinaan dan cacian yang Nazla terima. Tapi semua ia terima dengan lapang dadda. Dan terus berdoa semoga Tuhan memberi hidayah pada suaminya. Hingga akhirnya ia dinyatakan hamil. Nazla berpikir Fendi akan bahagia dengan berita kehamilannya. Tapi bukan sambutan berupa pelukan atau kecupan, justru kembali hinaan yang ia dapatkan. “Anak siapa yang kau kandung itu?” Pertanyaan suaminya ibarat bom yang dijatuhkan di atas kepalanya. “Apa maksudmu Mas?” tanya Nazla dengan terbata. “Aku bertanya, anak siapa yang kau kandung itu!” Kini disertai pukulan di atas meja. Tak henti sampai di sana, Fendi meraih ujung taplak meja dan menariknya kasar, hingga semua hidangan yang Nazla masak hancur berantakan. PRANG!!!! “Mas, kamu bicara apa? Aku hamil dan ini anakmu.” Raut wajah Nazla yang awalnya bahagia, kini berganti ketakutan. Ia menatap nanar pada semua perabot yang kini berantakan di atas lantai. Susah payah ia memasak hanya untuk menjamu suaminya dengan berita kehamilannya ini. Ternyata Nazla hanya menumpuk masalah, itu yang ada di dalam pikiran Fendi. Raut wajah Nazla semakin pias, apalagi saat melihat suaminya perlahan mendekat. “Bilang sama aku, siapa lelaki yang datang ke rumah ini saat aku tidak ada, Jawab!!” Nazla menggeleng dengan air mata yang membanjiri pipinya. Setelah menikah, Fendi memang kerap pergi dengan alasan tugas keluar kota. Tapi ia sama sekali tidak pernah memasukkan satupun laki-laki ke dalam rumah Fendi. Nazla tahu norma agama, tak mungkin ia lakukan hal itu. “Gak ada Mas, Demi Tuhan gak ada laki-laki lain,” elaknya. “Pembohong! Kamu kira aku percaya hah!” Wajah Fendi semakin merah, tanda ia bertambah murka. Tidak menyangka gadis manis yang terlihat polos tak lebih hanyalah wanita pembohong. Bagaimana bisa kedua orang tuanya menikah kan dirinya dengan wanita seperti ini. Fendi sungguh kecewa. Sementara Nazla semakin bingung dan takut. Di mana letak kesalahannya selama ini? Pernikahan ini terjadi bukan kehendaknya. Tapi semuanya ia terima dan berharap sungguh menemukan pelindung untuk hidupnya ke depan. Ternyata ini semua hanya mimpi buruk yang tak berkesudahan. Kebahagiaan yang ia kira akan diraih dalam bentuk pernikahan, hanyalah siksa batin yang terus-menerus ia alami. “Suamimu hanya sebentar kemari Naz, itupun ia membawa ini.” Emma tak enak hati ketika menyerahkan map di tangannya. Dengan tangan bergetar, Nazla menerima map tersebut. Ia membukanya perlahan. Surat gugatan cerai. Ya Tuhan, harus beginikah kisah hidupku pada akhirnya? Kenapa Mas Fendi tidak menunggu aku sehat dulu, dan bicara baik-baik. Tidakkah ia khawatir melihat kondisiku? “Maafkan aku Naz, tapi suamimu menitip pesan, agar kamu segera menandatangani surat ini. Ia tidak ingin berlama-lama menjadi suamimu. Apalagi kini putrimu sudah meninggal. Jadi tidak ada alasan lagi untuknya menunda-nunda mengakhiri pernikahan kalian.” Nazla menghela napas. Jadi saat aku koma, lelaki itu hanya datang sekali dan itupun untuk menguburkan bayi kami, dan membayar biaya rumah sakit ini? Sungguh aku tidak menyangka menyerahkan hidupku pada laki-laki berhati iblis. Tidakkah dia memiliki perasaan, melihat aku sekarat? Bukan justru menyiapkan gugatan cerai begini? “Emma, bagaimana dengan keluarga suamiku? Apa mereka tidak datang menjengukku?” tanya Nazla penuh harap. Sekalipun suaminya berhati iblis, tapi ia memiliki kedua orang tua yang sangat menyayangi Nazla. Pengganti kedua orang tuanya. Emma menggeleng. “Ada yang harus kamu ketahui Nazla. Ayah mertuamu kecelakaan dan meninggal.” “Ya Tuhan, Pak Agus meninggal? Kapan?” Kenapa semua kejadian ini beruntun? “Bersamaan dengan jadwal operasimu. Jadi Pak Agus bermaksud menjengukmu. Dia ingin menjemput istrinya di rumah sebelum kemari. Tapi ditengah jalan mobilnya tertabrak truk dan Pak Agus meninggal di tempat.” “Ya Tuhan.” Terbayang wajah ramah Pak Agus dan istrinya saat dulu ke rumah melamarnya. Mengapa orang sebaik Pak Agus harus pergi secepat itu? Kasihan bu Lisa. “Jadi kamu harap maklum jika keluarga suamimu tidak datang, mereka juga sedang berduka.” Nazla tersenyum. Pasti suaminya tambah membencinya, apalagi kejadian itu karena Pak Agus mau menjenguknya. “Ya, aku mengerti Emma, mungkin nanti aku akan mengunjungi ibu mertuaku, untuk berbela sungkawa.” “Jangan pikirkan mereka Naz. Kamu harus pikirkan hidupmu ke depan.” Lalu tanpa banyak berpikir lagi, Nazla menandatangani surat gugatan cerai itu. Rasanya tidak mungkin lagi ia mengharap belas kasihan pada Fendi. Jadi ia tak perlu berpikir ulang untuk mengikuti semua keinginan suaminya itu. “Emma, tolong berikan surat ini pada suamiku. Biar dia yang mengurus semuanya. Aku yakin sudah lama Mas Fendi menginginkan hal ini.” Emma menerima map dari tangan Nazla. “Baik Naz, aku akan segera berikan pada Mas Fendi.” ** Kesehatan Nazla berangsur pulih. Hingga akhirnya ia bisa pulang ke rumahnya. Bukan rumah tempat suaminya dulu, tapi rumah yang dulu ia huni bersama neneknya seorang. Emma meletakkan tas milik Nazla. “Nazla, aku mau memberi tahu. Mungkin untuk selanjutnya aku gak bisa terus menemanimu. Aku akan mencoba bekerja ke luar kota.” “Oh ya? Ke mana Em? Kita pisah dong jadinya?” Emma tersenyum tak enak hati. “Kalau memang itu sudah jalan yang kamu ambil, aku hanya mendoakan kamu sukses di sana. Terima kasih sudah menjadi sahabatku selama ini, sudah mau mendengar semua curahan hatiku. Maaf, aku selalu merepotkanmu Emma.” Nazla memeluk Emma dengan hangat. Pertemuannya dengan Emma baru ada tiga tahun ini. Dulu mereka satu sekolah dan terpisah. Siapa sangka Emma datang lagi ke kota ini dan mereka dekat kembali. Kepada Emma lah Nazla banyak berkeluh kesah tentang segala beban hidupnya. Emma akan mendengarkan semua tanpa banyak protes. Hanya menjadi pendengar yang baik. Itu sudah cukup buat Nazla.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD