Sang Pemilik Elemen Air (2)

1103 Words
Byakko masih terdiam. Tanpa ekspresi dia melihat putri duyung berambut merah menyala itu. Sang putri duyung tertawa. "Kenapa kau terdiam? Apa kau tak berani mendekat?" Gigi-gigi rapinya jelas terlihat, dia tersenyum manis. Bibirnya memerah seperti darah. Matanya besar-besar dengan hidung runcing yang menambah kesan cantiknya. "Aku akan menyisakanmu nanti. Sekarang aku akan mengeluarkan darahnya dulu." Putri duyung itu perlahan masuk ke dalam sungai lebih jauh. Semakin dalam, rasanya Athela semakin sesak. Tekanan airnya semakin besar membuat tubuh gadis berambut pirang itu semakin tak berdaya. "Jangan merengek. Sebentar lagi aku akan membawamu ke kerajaan duyung supaya kamu bisa dijadikan jamuan makan malam hari ini." Mata Athela terbelalak sempurna. Gadis itu mencoba melawan, tetapi sepertinya sia-sia saja. Seperti pepatah bahwa lautan adalah tempat para duyung hidup, itu berarti bahwa manusia yang notabenenya hidup di daratan akan kesulitan menyesuaikan diri. Mereka akan kalah karena laut bukanlah wilayah mereka. Rasanya semakin waktu berlalu, semakin susah pula dia bergerak. Namun anehnya, dia masih bisa bernapas. Mungkin karena di dalam dirinya mempunyai darah seorang penyihir. Setidaknya fakta itu bisa menyelamatkannya saat ini. "Mengejutkan sekali kau bisa bernapas sampai sini." "Mengapa kau mengincarku?" "Mengapa?" Putri duyung itu seperti tengah bertanya kepada dirinya sendiri. Dia berdeham. "Jarang sekali ada manusia yang mandi di sini. Bisa dikatakan seratus tahun sekali." Gadis duyung itu kembali berdeham, kali ini cukup panjang. Seperti tengah memikirkan sesuatu. "Kalau dipikir-pikir sudah dua ratus tahun yang lalu sejak terakhir kali ada manusia di sini." Dua ratus tahun? Itu tidak mungkin! Ah lagi pula setelah kejadian ini semua, apa yang tidak mungkin? Di dunia fantasi pasti mempunyai kemungkinan berpresentase seratus persen. Mungkin jika nanti dia melihat di dasar laut sana ada pasar malam untuk para klan duyung dia tidak akan terkejut. "Wah, pasti semuanya akan senang sekali jika aku membawamu ke sana. Omong-omong siluman tadi sepertinya tidak bisa merasakan manisnya darahmu. Soalnya, aku sudah yakin nanti darahmu akan habis—bahkan tubuhmu—tak bersisa sebelum kuberikan kepadanya. Ups, aku telah berbohong kepadanya." Athela menghela napas pelan. Gadis ini benar-benar cerewet. Dulu semasa kecil dia selalu berkhayal tentang bagaimana jika suatu saat dia akan bertemu dengan mermaid? Putri duyung yang sangat cantik seperti tokoh disneyland, Ariel? Lalu Papa menyangkal, dia bilang jika di dunia ini tidak ada yang namanya putri duyung. Karakter Ariel putri-putri duyung diciptakan untuk memenuhi imajinasi tanpa batas milik anak-anak. Jika suatu saat nanti dia bertemu dengan Papa dan bercerita bahwa sudah bertemu dengan putri duyung, apakah beliau akan mengerti? Atau malah tertawa, menganggap semua yang dia ceritakan adalah omong kosong? Tiba-tiba dia teringat satu hal. "Duyung, ada yang ingin kutanyakan kepadamu." "Jangan panggil aku duyung. Eh omong-omong boleh juga, ya, kau bisa berbicara di lautan." Athela terbelalak sempurna. Otaknya seperti tidak bisa menerima ini semua. Bisa berbicara di lautan? Sepertinya juga akibat garis keturunannya sebagai anak dari seorang penyihir. "Iya. Aku memang bisa berbicara di lautan. Kau menangkapku hanya karena suatu alasan lemah itu?" "Alasan lemah katamu? Ras duyung diberkati oleh Tuhan ketika mereka menemukan daging manusia setelah menunggu selama beratus-ratus tahun. Dan ini sudah dua ratus tahun, aku yakin keberkatan dari Tuhan juga akan menyertai kami." "Kau taat beragama juga, ya," celetuk Athela. Sesekali dia meringis kesakitan. Walaupun bisa berbicara di air, tetapi tubuhnya tidak bisa menahan tekanan dasar laut yang begitu besar itu. Duyung berambut merah menyala itu mendecih. "Aku hanya diberi kepercayaan, kepercayaan itu telah tertanam dalam diriku sejak masih berumur dua ratus tahun. Dan kami dipaksa untuk meyakininya. Bukankah terdengar sangat egois?" Athela tak mendengarkan ocehan gadis itu, dia sibuk menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Otaknya pun berpikir jika gadis duyung ini tidak tahu keberadaannya sebagai seorang keturunan asli dari penyihir sepanjang masa. Kemungkinan gadis itu tak mengincarnya karena itu, tetapi murni dari kepercayaan leluhur mereka mengenai memakan manusia beratus tahun. Dia melihat ekornya gadis itu yang melambai-lambai sedang berenang ke dalam. Matanya berat, sekujur tubuhnya nyilu. Kepalanya terasa berat dan berdenyut-denyut. Pandangan mata gadis itu menjadi buram sebelum pelupuk matanya benar-benar terpejam. "Wah, kau sudah tepar saja? Padahal barusan kau berbicara denganku," sindir sang gadis berambut merah menyala. Ekornya masih bergerak-gerak di belakang, dia tertawa. Sepertinya dia sedang berkata kepada dirinya sendiri. Bagi Athela yang melakukan perjalanan ke dasar laut, setiap menit sudah seperti sehari saja. Gadis itu yang notabenenya sejak kecil mempunyai tubuh yang lemah sangatlah tidak diuntungkan. Waktu cepat berlalu, tujuh menit seperti tidak terasa. Sebuah pemukiman di dasar laut terlihat sejauh mata memandang. Gadis itu beringsut mendekati pemukiman itu. "Rupanya hari ini kau diberkati Tuhan, ya, Sereia." Gadis duyung yang dipanggil oleh warga Sereia itu tertawa pelan, sembari ekor-ekornya berenang menuju ke sebuah bangunan tua yang paling megah di sana. Ekornya dalam sekilas berubah menjadi sepasang kaki putih mulus seperti manusia biasa. Rupanya negeri para duyung itu memang ada. Jika Athela saat ini sedang membuka mata, gadis itu pasti akan tersentak karena majunya negeri ini. Seperti sebuah negara kebanyakan, tapi jumlahnya hanya sedikit. Seperti kota kecil. Akan sulit dicerna akal manusia jika keramaian itu adalah sebuah negeri, atau bisa disebut sebagai kerajaan klan duyung. "Aku tak sengaja melihatnya sedang mandi di pesisir sungai. Sepertinya harinya sudah tiba, ya." Beberapa duyung mengangguk, kaki mereka seperti manusia kebanyakan. Ada pula yang masih mempunyai sirip. Sepertinya mereka diberi kebebasan untuk mengubah wujud kaki mereka. "Kau akan pergi menghadap ke raja?" Sereia mengangguk. "Aku akan mempersembahkan ini kepada Yang Mulia Raja. Ini demi umat duyung di bumi ini." *** "Kudengar kau menemukan sesuatu, ya, Sereia?" Seorang lelaki duduk di kursi tahtanya. Di kanan dan kirinya ada dayang-dayang kerajaan. Jika dilihat pun sudah pasti tertebak siapa dia, seorang raja dari Kerajaan Duyung. Lelaki tua yang umurnya kisaran delapan puluh tahun dengan jenggot panjang berwarna putih. Begitupun dengan rambut yang dipasangi mahkotanya. Sereia tersenyum, membungkuk takzim. "Benar, Yang Mulia. Saya telah menemukan daging manusia yang tadi sedang mandi di pesisir sungai." Raja tersenyum, mengelus janggut putihnya yang sepanjang d**a. "Kau memang tidak pernah mengecewakan, Sereia." "Terima kasih atas pujiannya, Yang Mulia. Saya rasa saya tidak pantas menerimanya." "Kau sudah melakukan hal yang terbaik, tidak ada salahnya jika aku sedikit memujimu." Mata raja menatap ke para pelayannya, setelah itu mereka mengangguk dan mengangkut tubuh Athela yang tidak berdaya menuju tempat persembahan. Tempat yang sangat menyeramkan, bahkan tersedia sebilah pisau yang siap menguliti gadis yang malang itu. "Kau akan kuberikan jabatan yang layak sebagai imbalan dari kerja kerasmu." Sereia tersenyum licik lalu kembali membungkuk takzim kepada sang Raja. NB: Sereia: memiliki arti putri duyung dalam Bahasa Portugis Source: https://www.google.com/amp/s/parenting.orami.co.id/magazine/amp/11-nama-bayi-perempuan-yang-indah-seperti-dari-negeri-dongeng/
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD