Namanya Athela

1245 Words
"Apa kau yakin, La?" tanya seorang gadis yang berusaha menyejajarkan langkah dengan Athela. Rambutnya bewarna merah menyala, dengan panjang sekitar sepinggang. Dia memakai jepitan rambut warna putih yang terbuat dari logam bercorak bunga. "Apa yang harus diragukan di saat seperti ini?" "Maksudku, bagaimana bisa kau pergi kamping sendirian?" "Aku tidak sendirian. Aku mengajakmu. Apa ini tandanya jika kau tidak mau menerima ajakanku?" Gadis berambut merah itu menghela napas gusar, dia memutar kedua bola mata hitam miliknya. "Bukan begitu, tapi...." Athela berhenti berjalan, begitupun dengan gadis berambut merah itu. Mata biru Athela berputar, dia menatap gadis di depannya sejenak. "Aku tetap akan mengikuti kamping. Walaupun itu sendirian." Dua hari yang lalu saat Athela pulang dari rumah, dia tak sengaja melihat sebuah brosur tentang kamping di sebuah gunung di dekat perbatasan negara. Tidak terlalu tinggi, tapi untuk ukuran gadis yang belum pernah mengikuti kamping sepertinya lumayan tinggi. Gunung itu terletak di perbatasan Negeri Cetigid dengan Negeri Maj yang berada di utara. Konon katanya, di gunung itu banyak sekali makhluk tak kasatmata yang menghuni. Gadis berambut merah itu menggeleng penuh kengerian. "La, kau tahu aku ini sudah menjadi sahabatmu sejak kecil. Bukannya aku tidak mau, tapi di sana... ah, apakah kau belum pernah dengar mitosnya?" tanya gadis itu tiba-tiba dengan suara mengecil. Kantin banyak siswa di saat jam istirahat seperti ini. Mereka berlalu lalang sembari membicarakan sesuatu. Tak sedikit pula di antara mereka yang memesan makanan. "Sudah. Aku akan tetap ke sana." Keduanya tak banyak bicara, Athela mulai fokus mengunyah bakso tanda pembicaraan mereka harus berhenti. Rambut pirangnya dengan lembut tertiup angin. Lagi pula, dia juga tidak ingin mengungkit masalah ini. Pikiran gadis itu terlalu pendek dan sangat gegabah hingga tak menyadari bahwa takdir yang telah digariskan Tuhan telah dia ubah. Bukan, bukan dia ubah. Tuhan telah memberikan pilihan takdir untuk umat manusia, tinggal bagaimana mereka memilih takdir yang digariskan-Nya. Tentunya, Athela telah memilih takdir yang terburuk. *** Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Athela menghela napas gusar. Tangan kanannya memegang brosur yang berisi jadwal kamping. Apakah dia bisa sendiri? Entahlah. Dia tidak memikirkan sampai situ. Yang dia pikirkan saat ini hanyalah bagaimana bisa keluar dari rumah neraka ini. Ya, rumah neraka. Mungkin jika tidak punya malu, dia akan membuat papan pamflet yang bertuliskan: Rumahku Nerakaku. Setiap hari saat pulang sekolah dia seperti memasuki neraka dunia. "La!" Tiba-tiba suara seseorang memanggilnya. Lengkingan panggilan itu sampai di indera pendengaran dan menggetarkan dinding-dinding telinga. Suara yang penuh dengan kekuasaan, otoritas, dan amarah yang membuncah-buncah. Terdengar derap langkah seseorang yang sedikit dipercepat diiringi dengan bunyi sepatu berhak tinggi yang mengetuk-ngetuk lantai. Tak butuh waktu lama pintu kamar ukiran kunonya terbuka. Di ambang pintu terlihat seorang wanita cantik dengan memakai dress biru laut selutut. Wajahnya agak tirus dengan bibirnya diberi warna merah marun. Dia mendelik menatap Athela. "Heh, Anak s****n. Bagaimana bisa kau lupa membuatkan kue ulang tahunku hari ini?" Wanita berparas ayu dengan wajah tirus itu masih memelotot ke arah Athela. Gadis berambut pirang itu menunduk. Tak berani menatap mata yang setiap harinya dia panggil dengan sebutan mama. Mama apanya? Mana ada ibu yang tega memanggil anaknya dengan sebutan 'Anak s****n'? "Sadarlah. Kau hanya gadis yang kupungut dari jembatan. Harusnya kau merasa terhormat sampai detik ini masih melayaniku." Bagi Mama, Athela hanyalah gadis dengan ibarat seonggak daging busuk yang tak lagi berguna. Bahkan kucing pun enggan untuk memakannya. Entah itu perkataan Mama benar atau tidak. Barangkali dia memang gadis buangan yang ditemukan oleh Papa di bawah jembatan, lalu mencoba diasuh oleh keluarga terpandang ini. Mungkin mereka malu karena tak kunjung dikaruniai anak hingga mau memungutnya. Memungut gadis dekil berambut pirang yang sampai sekarang hidup bersama mereka. Anak angkat. Mungkin mereka akan berkata seperti itu sebagai istilah. Akhir-akhir ini perkataan Mama cukup mengusiknya hingga dia berpikir jika itu benar. Papa bernah bercerita jika dia pertama kali dilahirkan saat musim salju. Entah siapa yang harus dia percayai saat ini, tapi pemikiran-pemikiran itu cukup mengusik kepalanya. "Ulang tahunku besok, d***u! Apa kau bisu?!" Suara anggun tak lagi terdengar. Samar-samar tadi dia mendengar suara Mama yang berbicara dengan tetangga dengan sangat anggun. Kini lenyap setelah Mama melihat wajah dekil Athela yang saat ini meringkuk di ujung ranjang. Sayup-sayup terdengar suara Papa mendekat. Dari anak tangga yang berada di atas kamarnya yang berukuran dua kali dua setengah meter, terdengar ketukan pelan sepatu yang tak lain dan tak bukan adalah Papa. "Apa yang kau ributkan malam-malam seperti ini?" tanya Papa mendekat. Dia menatap Mama yang memasang wajah sebal, kemudian beralih memandang Athela yang kini menutupi wajahnya dengan selimut. "Anakmu tidak mau membuatkanku kue, padahal besok ulang tahunku. Memang dia tidak punya sopan santun." Nada bicara mama merendah, Papa menepuk pelan pundak Mama seraya mencoba menenangkan istrinya. "Apa yang kau pikirkan, La? Bukankah kemarin sudah kukatakan jika hari ini harusnya kau membuatnya?" Mata Papa lalu memerah, kakinya melangkah lebar mendekati Athela yang masih meringkuk di bawah selimut, kemudian tangannya bersiap untuk- PLAK! "Kau telah kubesarkan hingga enam belas tahun. Selama itu aku merawatmu. Dan kau tidak punya rasa terima kasih?" Mata Papa memelotot sempurna. Dapat dilihatnya, Mama yang berada di ambang pintu tersenyum seringai. "Pa... Athela bisa menjelaskan ini semua. Athela-" Dengan cepat Papa menariknya. Tangan kekar lelaki paruh baya berambut cepak itu mencengkeram lengan Athela kuat-kuat. Gadis itu merintih saat dia merasakan seluruh badannya terasa ngilu semua. Langkah mungilnya dipaksa untuk sejajar dengan Papa. Dia memaksa Athela berjalan terburu-buru keluar dari kamar, lalu menyusuri ruang tamu dan sampai di ambang pintu. Tak dihiraukan rintihan gadis itu, matanya memerah seperti kerasukan. "HARI INI TIDUR DI LUAR!" bentak Papa. Dia mendorong tubuh Athela keluar dari dalam rumah. Gadis itu menangis sesenggukan. Air mata mengalir ke mana-mana. "PAPA! ATHELA MOHON, ATHELA TIDAK MAU TIDUR DI LUAR LAGI, PA!" BLAM! Sayang, pintunya sudah tertutup. Sayup-sayup dia dapat mendengar teriakan Mama dari rumah. "Itulah ganjarannya menjadi anak nakal dan tidak tahu diri." Setelah itu suara Mama, Papa, dan derap langkah yang mengisi kekosongan malam lenyap. "PAPA! ATHELA JANJI, PA! ATHELA AKAN MENURUTI SEMUA KEMAUAN PAPA! ATHELA AKAN MEMBUAT KUE ULANG TAHUN MAMA BESOK. ATHELA AKAN MENJADI GADIS YANG BAIK. Athela tidak akan menjadi anak yang nakal lagi, Pa... tolong...." Lirihnya. Air mata Athela tumpah ruah, dia bersender di pintu cokelat ukiran kuno dengan mengetuknya beberapa kali. Berharap jika kedua orang tuanya akan melupakan semua. Melupakan kejadian ini dan bertidak sewajarnya seperti keluarga biasa. Sampai dia meragukan statusnya sendiri sebagai anak. Apakah dia ini anak yang dipungut seperti yang dikatakan Mama Papa selama ini? Lalu bagaimana dengan pengakuan Nenek, Kakek serta kerabat yang melihatnya dilahirkan dari rahim Mamanya? Apa Mamanya sudah lupa pernah mengandung dia? Giginya bergemeletuk, perutnya bunyi minta diisi. Sepagi tadi, dia hanya makan roti isi pemberian Evelyne-gadis berambut merah-sahabatnya. Entah sejak kapan kepribadian Papa dan Mamanya mendadak keras sejak setahun yang lalu, saat dia masih berumur lima belas tahun. Saat itu mereka pergi ke pasar malam dan paginya tingkah mereka berdua sangat aneh. Benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dengan saat sebelum pergi ke sana. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi pada mereka berdua? Lupakan itu, yang terpenting adalah sekarang gadis itu akan tidur di luar lagi seperti kemarin-kemarin. Sudah beberapa kali dia tidur di luar, tapi entah kenapa hawa malam akhir-akhir ini menjadi sangat menyeramkan. Gadis itu terduduk di rumput, menyaksikan malam yang semakin pekat saja. Dia meringkuk di dekat pohon palem berukuran besar, lalu kembali mendongak, memandangi bulan yang bersinar samar. Mereka telah lupa jika tiga hari lagi ulang tahunnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD