PART. 3 CHAKAR AYAM

1138 Words
Mobil Sakha berhenti, ia membiarka Shinta berjalan menyusulnya. Ia enggan memundurkan mobilnya untuk mendekati Shinta. Terlihat jelas wajah Shinta yang cemberut. Mulutnya seperti berkomat kamit. Sakha yakin Shinta tengah melontarkan sumpah serapah untuk dirinya. Begitu tiba di sisi mobil Sakha, Shinta segera naik ke dalam mobil. "Mobil lo bisa jalan mundurkan!?" Tanyanya sengit. "Bisa" jawab Sakha santai sambil menstarter mobilnya. "Kenapa nggak mundur? Lo sengaja ya biar gue cape jalan" "Dasar manja, cuma jalan beberapa beberapa ratus meter, masa capek?" "Jadi lo bener-bener sengaja! Awas lo ya gue laporin ...." "Mimi Pipi!" Potong Sakha cepat. Shinta melengoskan wajahnya. "Kita mau ke mana?" "Aku ingin ke peternakan, besok sore baru pulang." "Haah, terus gue bagaimana?" "Telpon Mimimu, bilang kalau kamu menginap di peternakan bersamaku." "Kita nggak bisa balik ke Jakarta ya?" "Kamu mau balik ke Jakarta?" "Iya." Mata Shinta berbinar ceria. "Kalau begitu turun dari mobilku, cari tumpangan sendiri untuk balik ke Jakarta, pesanku hati-hati salah tumpangan, karena mobil hantu sering lalu lalang mencari penumpang," ujar Sakha dengan nada yang terdengar sangat santai. Mata Shinta melotot, dipukulnya lengam Sakha dengan keras. "Dasar Chakar ayam menyebalkan!" "Sebaiknya sekarang telpon Mimimu seperti yang aku katakan tadi, sebelum Mimimu heboh karena kehilangan Princess Churutnya." "Lo bilang gue apa?" "Kamu budeg ya!" "Errrr dasar Chakar ayam!" "Dasar Princess Churut, cepat telpon Mimimu!" Shinta mengambil ponsel dari dalam tasnya. "Low bat," keluhnya. "Kamu nggak bawa power bank?" "Ketinggalan di mobil." "Mobilmu mana?" "Di parkiran kantor Pipi." "Pakai saja ponselku." Sakha menyerahkan ponselnya yang tergeletak di antara kedua jok yang mereka duduki. Ragu Shinta menerima ponsel Shaka. "Mimi Dilla nama kontaknya," kata Sakha. Dengan wajah ditekuk Shinta menelpon Miminya. "Assalamuallaikum calon mantu Mimi yang ganteng." "Waalaikumsalam, ini Shinta Mimi." "Eeh kok pakai ponsel Sakha, ponselmu mana?" "Low bat." "Kalian di mana? Sedang apa?" "Shinta ikut Chakar ke peternakannya." "Haah! Ikut ke peternakan? Bukannya tadi pagi kamu baru ngerayu Mimi Pipi ya buat batalin pernikahan kalian, tapi kok sekarang kamu bisa ikut ke peternakan sih?" Tanya Dilla heran. Shinta melirik Sakha yang tengah fokus menyetir. "Ceritanya panjang, Mi, nanti setelah aku pulang, aku ceritain ya" "Hhhh ya sudah, tapi jangan macam-macam ya!" "Macam-macam bagaimana?" "Masa nggak tahu sih maksud Mimi." "Ya siapa tahu saja persepsi Mimi, dan aku beda tentang macam-macam." "Jangan bikin Mimi kesal, Shinta!" "Iya, iya, aku ngerti, Mimiku sayang, jangan khawatir soal itu, aku bisa jaga diri kok, lagi pula kalau kami khilaf ya ntar kan dinikahkan juga," sahut Shinta, bermaksud menggoda Dilla. "Hsstt, dosa tahu, meski Pipimu bule, kita lama tinggal di luar negeri, tapi kita tetap orang yang beragama, dan berb ...." "Iya, Mimi, iya ... aku cuma bercanda, assalamuallaikum, Mimi, muaachh!" Cepat Shinta memutuskan pembicaraan, sebelum Miminya ceramah lebih lama lagi. "Nih!" Shinta menyodirkan ponsel ke hadapan Sakha. "Taruh saja di situ." Sakha menunjuk dengan dagunya tempat di mana tadi mengambil ponselnya. Baru saja Shinta meletakan ponsel Sakha, ketika ponsel itu berbunyi. Sakha menepikan mobilnya, baru menjawab panggilan dari ponselnya. Sengaja ia memasang speaker, agar Shinta bisa mendengar pembicaraannya. "Ya." "Mas di mana? Jadikan malam ini menemani aku ke resepsi pernikahan temanku?" "Aku tidak bisa, aku malam ini menginap di peternakan dengan calon istriku." "Apa? Jadi pernikahan Mas tetap dilangsungkan?" "Iya." "Terus bagaimana dengan hubungan kita?" "Bagaimana apanya?" "Apa kita masih bisa bertemu?" "Tentu saja bisa, memangnya kenapa?" "Istri Mas nanti nggak cemburu?" "Dia baik hati, dan tidak cemburuan kok." Sakha mengedipkan sebelah mata, pada Shinta yang tengah menatapnya. Shinta langsung melengoskan wajah, dengan gigi bergemurutuk, dan tinju mengepal. "Ooh begitu ya, syukur deh." "Sudah ya, aku masih di jalan, bye." "Bye." Sakha kembali menyalakan, dan menjalankan mobilnya, diliriknya Shinta yang tengah memandang ke luar jendela. *** Tiba di peternakan, mereka langsung menuju rumah besar yang dibangun Sakti untuk keluarganya menginap saat berkunjung ke sini. "Kita menginap di sini?" "Hmmm." Sakha memarkir mobilnya. Mereka berdua disambut oleh sepasang suami istri yang merupakan penjaga rumah itu. "Mas Sakha datang dengan siapa?" Tanya Bik Sumah. "Kenalkan ini Shinta, Bik, Mang, calon istri saya." Sakha memperkenalkan Shinta pada Bibik, dan Mamang. "Calon istri, cantik sekali, bule ketemu bule, anaknya pasti nanti bule juga ya Pak?" "Iya, Bu." Sakha tertawa mendengar ucapan Bibik. "Siapkan dua kamar untuk kami ya, Bik" "Kamar Mas Sakha sudah Bibik siapkan, kamar Mbak, pakai kamar yang mana, Mas? Ehmm silahkan masuk, Mbak Shinta." "Terima kasih, Bik." Sakha membawa Shinta masuk ke kamar yang biasa ditiduri Salsa, diikuti Bibik di belakang mereka. Bibik langsung mengganti sprei di kamar itu. Sakha membuka lemari pakaian yang berisi pakaian Salsa. "Kamu bisa mandi, dan ganti pakaianmu dengan milik adikku, dia pasti tidak akan keberatan kamu meminjamnya, aku ingin ke kamarku sekarang." Sakha meninggalkan Shinta berdua dengan Bibik di kamar itu. "Bik." "Ya, Mbak." "Si Chakar ayam sering bawa cewek ke sini ya?" "Chakar Ayam?" Tanya Bibik bingung. "Ehmm, Sakha maksud saya" "Oooh ... baru Mbak perempuan yang dibawa ke sini, Mbak." "Beneran!?" "Iya, Mbak." "Ya sudah, aku mau mandi dulu, Bik." "Silakan, Mbak," sahut Bibik. Shinta membuka lemari pakaian Salsa. Ia memang belum mengenal Salsa secara dekat, tapi mereka pernah beberapa kali bertemu sebelumnya. Tubuh Salsa, dan tubuhnya hampir sama, jadi Shinta yakin kalau pakaian Salsa akan muat di tubuhnya. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, Shinta teringat dengan ponselnya yang low bat. Charger tertinggal juga di mobilnya. Shinta meletakan pakaian yang tadi diambilnya ke atas kursi. "Kamar, Cha ... ehmm Sakha yang mana ya, Bik?" "Paling ujung, Mbak." "Terima kasih, Bik." Shinta ke luar kamar menuju kamar Shaka. Diketuknya pintu kamar Shaka, dengan ketukan yang cukup keras. Daun pintu terbuka. Shaka berdiri dihadapannya menjulang dengan bertelanjang d**a. "Ada apa?" "Pinjem charger lo dong!" "Ambil sendiri tuh di atas ranjang." "Gue nggak mau masuk kamar lo." "Kenapa?" "Aah ambilin cepet!" "Ambil sendiri" Sakha membuka lebar pintu kamarnya. "Lo kenapa sih doyan banget berantem sama gue?" Shinta masuk ke dalam kamar Sakha, karena ingin mengambil charger yang ada di atas ranjang. Sakha menutup pintu kamarnya, ia berdiri bertolak pinggang di depan pintu. Shinta yang ingin ke luar kamar, jadi memukul d**a Sakha dengan telapak tangannya. "Pinggir!" "Kamu berhutang banyak padaku, Chinta." "Hutang apa?" "Pertama, menyelamatkanmu dari tangan pacarmu itu, kedua, memberikanmu tumpangan ke sini, ketiga, memberikanmu kamar untuk bermalam, keempat, meminjamkan pakaian adikku kepadamu, kelima, meminjamkan charger ponselku untukmu, dan nanti, akan banyak hal lagi yang akan menjadi hutangmu kepadaku." "Dasar, Chakar Ayam perhitungan! Sebutkan jumlah yang harus gue bayar ke lo, berapa!?" Seru Shinta, kepalanya mendongak menantang tatapan Sakha. Sakha menarik satu sudut bibirnya ke atas. "Bukan berapa? Tapi harusnya pertanyaanmu, pakai apa kamu harus membayarnya." "Apa maksud lo haah!?" Shinta menjinjitkan kakinya, agar ia merasa puas menantang tatapan Sakha. Sakha menundukkan kepala, membuat Shinta kelabakan dibuatnya, karena bibir Sakha menempel di atas bibirnya. Ia memang pernah berciuman, tapi tentu saja dengan pria yang menjadi pacarnya. Bukan dengan pria yang .... Mata Shinta membesar, karena bibirnya sudah berada dalam ciuman bibir Shaka tanpa disadarinya. ***BERSAMBUNG***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD