3

1690 Words
Tatapanku dan Mas Candra bertabrakan. Tanpa mengalihkan pandang, Mas Candra menyentak napas, membuat perutku seketika bergejolak karena bau alkohol yang menyengat. Baru saja terbesit keinginan berlari ke kamar mandi, tangan Mas Candra tiba-tiba terulur lalu masing-masing mendarat di pundakku, meremasnya kuat. Aku meringis, menahan sakit serta perasaan mual yang semakin menggila. Perlahan, tanganku mulai mengepal menahan gejolak perut, sementara satunya bersidekap di d**a, memegang kitab suci erat agar tidak jatuh. Keringat dingin, perlahan membasahi tubuhku. Apa aku harus berbohong mengenai kegadisanku? Aku menatap Ms Candra. Tidak. Aku tak boleh berbohong. Itu hanya akan membuatku terbebani. “Katakan! Katakan kalau itu terjadi karena kecelakaan biasa bukannya tidur dengan lelaki lain!” kata Mas Candra sedikit membentak, dengan sepasang mata tajam terus menatapku lekat. Perutku terasa semakin diaduk. Tak tahan ingin segera muntah. Makan terakhir kemarin siang, pasti, sekarang aku masuk angin. Bau menyengat yang menyelubungi tubuh Mas Candra, dari detik ke detik kian membuat perutku bergejolak. Tahan. Tahan. “Mas ....” Aku berkata sambil membekap mulut. Rasa gulai kambing yang memuakkan, terasa di tenggorokan. “Katakan, apa kamu pernah kecelakaan sepeda motor? Atau ... kecelakaan mobil? Atau ... jatuh di suatu tempat, hem?” Pandangan Mas Candra melunak. Jika dalam keadaan tenang seperti ini, ia terlihat amat menawan. Lihatlah. Sepasang mata tajam dinaungi bulu-bulu lentik, alis pekat tebal melengkung indah, hidung tinggi ramping, bibir kecokelatan, serta dagu belah dengan kedua pipi sedikit berisi. Keelokan wajahnya, disempurnakan oleh tubuh yang menjulang tegap berwarna kuning langsat dan sedikit berotot. “Mas, aku ke kamar mandi duuu—hueeek!" Sambil membekap mulut, kutelan makanan lunak berasa asam, yang merangkak naik ke tenggorokan agar tak muntah di sini. Perut semakin bergejolak saja. Mas Candra mengeratkan cengkeraman. Sakit yang ditimbulkan tangannya terasa menyengat kulit. Berdenyut-denyut. Pedih. Karena sudah tak tahan lagi, akhirnya kutepis tangan Mas Candra lalu berlari ke kamar mandi, tanpa membuang waktu segera muntah-muntah ke dalam kloset. Perut sebentar-sebentar berkontraksi, sementara makanan lunak bercampur cairan berwarna kehijauan, terus berjatuhan memenuhi lubang kloset. Menatap kloset, rasa mual malah tambah menjadi. Mata sampai refleks mengeluarkan air bening. "Hueeek. Hueeek." Aku menoleh pelan saat merasakan pijitan lembut di tengkuk. Mas Candra terus menggerakkan tangannya dengan lembut. Aku menyalakan keran lalu membasuh mulut, berbalik menghadapnya. Kami pun bersitatap. Tubuh kami begitu dekat. “Katakan yang sejujurnya, setelah itu, kita akan hidup bahagia.” Tatapan Mas Candra nampak begitu terluka. Senyap. Hanya terdengar gemericik air dari keran yang jatuh ke penampungan. Saat kumatikan, terdengar mengalun merdu suara orang mengaji. Begitu lembut, begitu menghayati, membuat hati dan perasaan tenteram. Santri bapak yang satu itu memang rajin, tak heran bapak sangat menyayanginya dan pernah memintaku menjadi istri duda beranak satu itu. Ia penyayang, kata bapak, namun sang istri lebih memilih pergi lalu menikah dengan lelaki lebih kaya, membawa serta anak semata wayang. “Katakan ....” Mas Candra menghiba. Aku menundukkan pandangan, seketika tersadar sedari tadi membawa kitab suci. Tak boleh. Harus segera pergi. Namun, saat melihat tatapan Mas Candra, aku seketika tak berdaya. Seolah kaki terpacak kuat ke dasar bumi. “Ayo, bilang. Akan kudengar, Dik Lita.” Aku mengerjap. Terpesona karena baru pertama kali ia memanggil seperti ini. Begitu lembut. Mas Candra tiba-tiba meremas bahuku. Aku memekik. Sakit. Air mata tanpa bisa ditahan bergulir di pipi. Hangat. Haruskah berdusta untuk membuat Mas Candra senang? Atau jujur apa pun konsekuensinya? Bismillah. “Mas, aku memang—“ “Ataghfirullah, Leee—nak, siapa yang mengajarimu seperti itu! Ibu ndak pernah, to, mengajarimu kasar?!” Ibu yang nampak sudah pulih dari rasa terkejutnya, bergegas menghampiri kami dengan langkah terseok, segera menepis tangan Mas Candra. Ia menatap Mas Candra tajam kemudian membimbingku yang sedang terisak menuju ranjang. Mas Candra langsung menutup pintu kamar mandi. Dari suaranya, sepertinya ia tengah menghantam-hantamkan air menggunakan gayung ke dinding. Wajar, bila Mas Candra sangat kesal dan kecewa. Lelaki mana pun, pasti lebih menyukai gadis yang masih fresh. Itu manusiawi. Kebanyakan orang, pasti lebih menyukai makanan hangat daripada yang dingin, bukan? “Cup, cup. Diam, jangan nangis, lebih baik, ikuti saran ibu saja,” guman ibu, mengusap-usap puncak kepalaku yang terbungkus mukena. Aku menggeleng. Berbohong hanya akan memperkeruh suasana. Juga membuat jiwa tak tenteram. “Cup, cup, cup. Cup, Sa-yaang.” Tangan Ibu bergerak pelan menyusut air mataku. Menyusutnya lagi. “Udah, to, nangisnya, Nduk. Cup.” “Ibu, aku bukan anak ke-ciil. Emang aku anak bayi dicup-cup ....” protesku sambil tersengal. “Bagi Ibu, kamu masih seperti gadis 7 tahun, suka nangis.” “Ah, I-buuu. Aku nangis kan karena—“ "Sudah to, nangisnya,” Interupsi ibu. “yang terjadi di masa lalu dibuang saja, ndak usah diingat-ingat lagi, suamimu nanti Ibu yang urus.” Ucapan ibu malah membuatku semakin tergelincir dalam kepedihan. Andai waktu bisa diputar ... sungguh tak sudi mengamini keinginan Zain. "Bentar lagi azan, ibu mandi dulu.” Ibu beranjak bangun, lalu keluar kamar dengan kaki sedikit disaruk. Belum lama ini, ibu terkena struk ringan. Beruntung, karena dukungan keluarga serta keingan sembuh yang cukup besar, hanya dua bulan terapi beliau sudah bisa berjalan, begitu kata Mas Candra. Lekas kuhapus air mata saat pintu kamar mandi perlahan terkuak, lalu Mas Candra keluar dengan handuk melilit di pinggang. Wajahnya nampak segar. Air terus menetes-netes dari rambut, tangan, serta kaki, dengan seketika membuat lantai menjadi basah. Mas Candra tampaknya sengaja tak menghanduki rambutnya. “Kenapa? Ada yang aneh?” Gelenyar rasa malu sekonyong-konyong menggelitik d**a, membuatku segera berpaling. Seumur hidup, baru kali ini menyaksikan lelaki tak mengenakan pakaian. “Gak usah pura-pura baru pertama kali melihat, kamu tidur dengan lelaki.” vonisnya. Hatiku bergetar. Pedih. Sampai kapan akan berhenti berkata kasar, Mas? Andai tahu begini tabiat Mas Candra, tak sudi aku menikah dengannya. Ternyata benar, anjuran dalam Islam, jika hendak memilih pendamping hidup, prioritaskan yang agamanya bagus. Syukur, mendapat bonus bernasab baik, kaya, serta tampan. Suara ratapan dan tangisan, ancaman, serta kalimat tauhid yang dikatakan berkali-kali, tiba-tiba menerjang ingatanku. Seolah, kejadian seminggu lalu baru saja terjadi. ***Satu Minggu lalu “Urungkan niat menikah dengannya, Nduk. Dia lelaki tak benar, terlihat dari caranya ngobrol dengan Bapak, tak ada sopan.” Bapak berkata di halaman rumah setelah Mas Candra melajukan mobilnya, itu adalah kunjungan kedua Mas Candra. “Bapak belum mengenalnya. Mas Candra baik, kok. Percaya sama Talita, ya? Ya?” Aku menatap Bapak sambil merangkul lehernya. Beberapa santri putri menyaksikan dari kejauhan. Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, begitu kalimat yang sering diucap teman-teman sesama santri, juga termaktub dalam kitab. Maka, aku harus meluluhkan bapak, mengantongi restunya dengan berbagai cara. Bapak menggeleng prihatin, wajah tirus tuanya nampak tertekan. Berkali-kali, Bapak mengusap keringat dengan serban. Matahari memang begitu menyengat, padahal, baru sekitar jam sebelas pagi. Bapak menatap nelangsa, begitu sedih dan tak rela. Wajar, karena aku anaknya. Wajar, karena ia sangat menyayangi putri semata wayang. Kata bapak, setelah tiba saatnya ia berpulang, aku harus bersedia mengurus pesantren, membagi ilmu kepada siapa saja agar ilmu yang selama ini dipelajari bermanfaat. Dengan begitu, pahala yang mengalir padaku, akan berimbas pada bapak dan ibu, membuat keduanya mendapat syafaat di alam barzah, itulah gunanya anak shalihah—kata bapak setiap menasihatiku agar selalu giat menuntut ilmu. Tentu, aku tak keberatan pada permintaan bapak. Itu memang tujuanku hidup, apalagi sebelum pergi, ibu pun berpesan seperti bapak. Tapi, bukan berarti harus aku harus menolak kehadiran Mas Candra, kan? Apa lagi diri ini sangat mencintainya. Menyukai cara Mas Candra memandang penuh pengertian, kerjapan mata yang memukau, juga bibir yang selalu tersenyum manis. Aduhai, sungguh betapa hebat Allah menciptakan insan seelok Mas Candra. “Nduk, menikah saja dengan Azis, dia soleh, pinter ngaji dan penyayang. Sejak dulu, Azis menyukaimu.” “Ba-paaaak!” Aku mengencangkan suara. “seumur hidup, aku gak akan menikah jika bukan dengan Mas Candra, Pak! Bapak ingin aku tua sendirian, Pak?” Dosa. Durhaka. Aku pun menyadari. Tapi, hati ini terasa panas tak terkendali karena bapak tak kunjung merestui. “Astaghfirullah, Lita!” Seumur-umur, baru pertama bapak membentak. Betapa bapak teramat mengkhawatirkan anaknya. Terlihat jelas dari mata tuanya. “Aku memilih tua tanpa pendamping jika tak menikah dengan Mas Candra, Paak.” “Astagfirullaaah, Nduk! Sepertinya kamu harus dirukiah. Astaghfirullah hal adzim. Astaghfirullaaah.” Bapak menggeleng-geleng sambil mengusap air matanya yang terus bercucuran. Usai diusap, timbul lagi. Begitu terus. Ingin sekali memeluk Bapak. Tapi, kutahan. Ego terlalu besar. “Ya Allah Gusti, astaghfirullah hal adziiiiiim.” “Ba-paaak!” “Astaghfirullaaah.” Bapak terus menggeleng. Ujung serban yang melingkar manis di leher telah basah. Koko longgar berwarna putih yang membungkus tubuh kurusnya, juga basah oleh keringat. Mata bapak sembab. Bibir terus komat-kamit namun tak jua mengucap apa pun. Setelah sekian lama, barulah bapak melunak. “Sudah kamu selidiki calonmu seperti apa?” “Sudah.” Aku berdusta. “Apa ia shalat?” “Iya.” “Apa ia bernasab baik?” Aku tetap berdusta, kugadaikan iman demi cinta. ***Setetes air terasa bergulir pelan di pipiku. Hangat. Mas Candra masih di hadapanku, nampak begitu tak sabar. Bismillah. “Mas ... aku memang ....” Aku menatapnya ragu-ragu. Haruskan aku jujur sekarang? Kuhela napas panjang mencoba menetralisir degup jantung yang tak beraturan. Mas Candra berbalik. Ia membuka lemari lalu tanpa risih mengenakan kaos putih longgar serta jins di bawah lutut di hadapanku. Usai memakai baju, ia kembali mendekat, pelan-pelan mengikis jarak denganku sampai hangat embusan napasnya menerpa wajahku. Kami berhadapan. Bertatapan. Lekat. Begitu dekat. Aroma sabun mandi yang terus menguar dari tubuhnya sungguh menenangkan syaraf, membuatku ingin sekali memeluk, membaui aromanya dengan segenap cinta. “Aku—” “Tak usah mengelak. Memang bukan pertama kali kamu melihatnya, ‘kan?” tatapan Mas Candra menghunjam dalam. Aku diam-diam merasai gejolak menyenangan yang membuat jantung ini berdegup kencang. Betapa aku sangat mencintainya. “Ingat, semalam, kamu tidur denganku,” lirihnya. Diraihnya tanganku lalu mengecup lembut. Aku terpana, memandang ia tak percaya. Belum sempat lenyap perkara yang membuat d**a bertabuh kencang, Mas Candra tiba-tiba mengangkat tubuhku lalu mendudukkannya di ranjang, menatap mataku mesra. Tatapan penuh cinta seperti ini ... siapa yang tak menyukainya? Tapi, bukankah ini aneh? Mana mungkin ia tiba-tiba saja berubah lembut padahal sebelumnya sangat marah? Mas Candra mendekatkan wajah kami lalu mengecup pipiku lembut. #Cerita ini akan kulanjut setelah cerbung Suamiku Sangat Marah Saat Tahu Aku Masih Perawan tamat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD