Chapter One

765 Words
Sepulang nongkrong bersama Naya tadi, dia sempat melihat Banyu sekilas. Walau dia tidak yakin, karena sebenarnya dia melihat Celine di sana. Hanya saja Bening tidak mau memberitahu temannya itu sebab dia akan bilang habis-habisan untuk tidak memikirkan Banyu. Yang kata Naya lelaki tak diuntung. Dulu Naya sebenarnya tidak mempermasalahkan dia menyukai seorang Banyu, tetapi sekarang untuk membahasnya saja sudah bikin malas. Bisa-bisa temannya itu yang mengamuk. Mendengar namanya saja katanya dia mau muntah. Pernah sekali dia cerita sangat antusias, sampai-sampai Naya bosan katanya. Ish, iya sih, salah Bening juga, sedikit-sedikit nama Banyu aja yang disebut. “NAYA!” panggilnya. “Ngga usah pake teriak, Maemunah. Ini bukan hutan!” sungut Naya kesal. Yang diomeli hanya nyengir tanpa dosa. “Ish, Naya ngga asik tahu,” rajuknya. “Ngga asik emang sama gue. Kalo mau asik, sono loh sama Mamas Banyu lo,” jawabnya seraya mengusir. “Astaga, gitu aja ngambek kamu, dasar mantannya Nakula, hehehe,” kekeh Bening menggoda Naya. Nakula adalah orang yang menyukai Naya. Pernah mengatakan Naya adalah mantan, tapi mantan gebetan. Saat itu mereka masih kelas sepuluh, jadi masih malu-malu kucing. Sekarang mah, dia sudah malu pisan euy. “Mantan gebetan. Gue belom pernah jadi pacarnya. Boro-boro mantan, masih gebetan aja udah buat ilfil,” kata Naya kesal. “Elah, kan dulu sih Nay, sekarang dia udah makin cakep lo. Mana tajir dan pinter lagi.” Bening mencoba mempengaruhi Naya. Iya sih, Naya juga tahu, Nakula emang makin cakep juga keren. “Malesin banget tau dengernya. Sok-cakep-lagi-tuh-orang.” Naya menekankan setiap katanya dalam hati. “Tapi aku ke sini tuh bukan karena itu sih, Nay....” Ada jeda dalam ucapannya. Ragu memberitahu Naya akan perasaannya. “Apa lagi?” “Ya ampun, lagi dapet, Buk?” tanya Bening heran mengapa temannya sensitif banget. “Aku mau cerita tentang perasaanku,” katanya melanjutkan, mencoba melihat ekspresi di wajah Naya. “Siapa?” Naya memasang wajah innocent. “Mas Banyu,” jawab Bening sambil nyengir. “Apalagi sih yang mau kamu bicarakan tentang lelaki itu?” Naya malas menanggapinya. “Aku lihat dia jalan sama Mbak Celine, Nay,” ujarnya tak semangat. “Terus gimana?” Naya masih malas membahas Banyu. Ujung-ujungnya pasti temannya akan sakit hati. “Aku galau.” Bening menelungkupkan kepalanya ke meja yang dialasi tangannya. “Udahlah, Ning, jangan bahas dia mulu.” “Tapi kan ... aku ....” Sambil melihat Naya mengangkat tangannya, Bening akhirnya diam. “Aku muak, bosan. Denger nama dia aja aku mau muntah.” Naya beranjak memesan makanan untuk dimakan karena dia lapar. Kembali sekarang, dia benar-benar lelah juga sebenarnya. Tapi bagaimana kalau hati sudah memilih. Dia kan ngga tahu toh, ke mana hati akan berlabuh? Buatlah dia cinta monyet. Masa-masa remaja yang bahagia. Lalu kenapa? Maka biarkan saja dia menikmati saat-saat ini. Tapi entah sampai kapan dia akan sanggup, tidaklah ada yang tahu. Karena hatinya harus siap jika kembali sakit dan terjatuh. Karena tidak ada kemungkinan dia bisa dengan cepat berpaling dari Banyu walaupun tahu hati pria itu bukan untuknya. Drrrtt! Getar ponsel Bening mengalihkan perhatiannya dari buku yang dia baca. Melihat notifikasi instagramnya dan langsung membukanya. ‘BanyuS_biru mengupload sebuah postingan : my world’ “Ish, apa sih? My World segala. Kaya ngga ada kata lain aja,” sungutnya ketika melihat Banyu merangkul Celine tepat di sebuah cafe yang berada di seberang mereka tadi. Dia tahu persis itu tempatnya walau jarang ke sana. Karena di sana kan tempatnya para orang berduit. Ya kali dia cuma ngabisin duit jajan yang ngga seberapa buat nongkrong demi Banyu? Batinnya mulai meronta. Sebenarnya dia tidak mau. Akal hatinya dan akal sehatnya masih menolak, tapi dikalahkan oleh egonya. “Besok nongkrong di sana aja ah, ajak Naya,” katanya pada diri sendiri. “Ah, dari pada duduk di rumah mending buat kue aja, deh. Terus antar ke tempat kak Banyu,” ujarnya girang. *** Tidak lama, dia sudah hampir selesai membuat semua makanan. Akhirnya dapur jadi penuh. Alhasil, dia harus membersihkan segala peralatan jika tidak mama akan cerewet nanti. “Hem, wangi sekali. Mama seperti mencium bau-bau masakan deh,” kata mama menggoda Bening. “Ih, Mama. Sok-sok ngga tau lagi. Kesel, deh Bening,” katanya merajuk. “Uluh-uluh, anak mama. Mau ngasih siapa sih banyak banget gini?” tanya mama. Bukan dia tidak tahu, tapi dia hanya sengaja menggoda Bening. Bening yang ditanya hanya senyam-senyum malu ditanya mama seperti itu. “Buat Kak Banyu, Ma, boleh ya?” pintanya. “Hem, bolehlah. Tapi ngga usah terlalu lama di sana ya. Kamu mau antar sekarang, ‘kan?” Bening hanya mengangguk dan berlalu setelah mencium mamanya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD