“Sen … Senna …” Galen memanggil beberapa kali, tetapi gadis yang dipanggilnya, tidak juga menyaut. Padahal, saat itu keadaan perpustakaan tenang, dan Senna duduk di pojok sambil mengerjakan tugas, entah apa yang dipikirkannya sampai tidak mendengar panggilan dari pria yang telah resmi jadi kekasihnya itu. Dua puluh menit, tepatnya dia mencari tempat untuk menenangkan isi kepalanya yang sedang kacau. “Senna,” panggilnya lagi, kali ini menyentuh bahu, membuat Senna yang tadinya melamun, terperanjat kaget. “Len, kapan—” “Udah dari tadi tahu, dipanggil-panggil nggak dengar,” keluh Galen sambil memanyunkan bibirnya. “Mau es krim nggak?” Senna mengangkat wajahnya menatap Galen, ajakan Galen barusan speerti kejutan kecil untuknya, membuat sudut bibirnya terangkat. Ia mengangguk, lalu menjawab

