"Pagi!"
Senna menyempatkan diri menyapa Devan yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Sebelum menarik kursi yang masih tertata rapi di bawah meja. Matanya masih sulit dibuka. Sekarang Senna bahkan masih mengenakan baju tidur.
"Bagaimana rasanya tidur sendirian?" Devan langsung mengungkit masalah tidur.
Senna tidak langsung menjawab. Dia mengambil roti tawar yang sudah diisi Devan dengan telur mata sapi dan selada, lalu menggigit pinggirnya dengan mata tertutup.
"Seru, kok." Senna menyahut sekenanya.
Dia benar-benar mengantuk. Kalau saja pagi ini dia tidak memiliki jadwal kuliah, dia mungkin akan melanjutkan tidurnya hingga siang. Tentu saja Devan tidak akan membiarkannya tidur dengan tenang.
"Beneran bisa tidur semalam? Sepertinya tidak, kantung matamu tidak bisa berbohong, tuh."
Senna dongkol dalam hati. Semalam dia sudah memohon pada Devan untuk menemaninya tidur, tetapi lelaki itu menghiraukannya. Sekarang dia menginterogasi seolah dirinya seorang buronan.
"Tidur, kok tapi setengah lima." Senna tertawa kecil. Setelahnya dia meneruskan mengunyah roti yang ada di tangannya.
Devan menghela napas kasar. "Kalau memang tidak bisa tidur sendirian, kenapa tidak bangunkanku? Kalau ngantuk gini, gimana mau belajar dengan benar, huh. Astaga!"
Devan menghampiri Senna yang kepalanya tergeletak di atas meja. Gadis itu terlelap dengan bibir yang masih mengunyah makanan.
"Senna! Kau dengar apa yang aku katakan atau tidak?" Devan menepuk pelan pipi Senna supaya gadis itu terbangun.
"Denger, tapi males jawab." Senna menjawab pertanyaan Devan tanpa membuka matanya.
"Kamu masih marah? Ngambek?"
"Pikir saja sendiri. Padahal aku sudah merengek buat tidur bareng tapi Om mati-matian menolakku. Kalau aku tidur dengan Om, pasti semalam tidak ada tuh yang ngetok-ngetok jendela kamarku. Semalam aku coba tidur sendirian buat buktiin kalau berani." Cerita Senna sedikit ketus. Dari sela-sela matanya meleleh cairan bening. Dia benar-benar ketakutan semalam.
Devan memutuskan duduk di samping gadis itu. Dia merasa iba. Semalam keputusannya untuk menolak Senna tidur bersamanya dia anggap tepat. Tapi tidak dengan sekarang. Devan menyesal telah melakukan itu. Setidaknya dia bisa saja tidur di sofa setelah Senna terlelap di atas kasurnya.
"Maafkan, Senna. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak tidur semalaman. Maaf, ya," pintah Devan penuh penyesalan. Lelaki itu mengusap sekilas puncak kepala putri sahabatnya.
"Nggak. Aku masih ngambek."
Senna menghiraukan Devan. Apa yang terjadi padanya semalam itu benar-benar bukan sebuah hal yang bisa diremehkan begitu saja. Dia memang tidak pernah tidur dalam keadaan gelap dan sendirian. Dia memang berbeda dengan para gadis yang lainnya. Senna selalu membutuhkan orang lain untuk menemaninya tidur.
"Gimana kalau hari ini setelah pulang bimbingan skripsimu, kita jalan-jalan? Bonus es krim, deh. Gimana?" Devan mencoba merayu, walau wajahnya masih terlihat kaku. Dia bukan tipe pria yang romantis. Dia hanya tidak ingin Senna menelepon orang tuanya dan bicara macam-macam.
"Okay, tapi tambah tambah boba sama pizza." Senna memasang wajah memelas.
"Ya sudah, iya."
Devan menyahut pasrah. Senna langsung bersemangat dan berlonjak gembira sambil menari tidak jelas. Tanpa sadar Devan tersenyum melihat tingkah anak sahabatnya itu.
"Aku mau mandi dulu."
"Mau ditemani nggak, Om?" Senna menggoda Devan sambil mengedipkan matanya.
"Senna!" Devan membentak membuat Senna mengerucutkan bibirnya. "Habiskan sarapannya!"
Devan memilih segera kembali ke kamarnya. Dia tidak ingin Senna tahu kalau dirinya tersenyum saat melihat tingkah lucu Senna tapi juga perkataan Senna yang menggodanya membuat tubuhnya berdesir.
Senna langsung patuh dan kembali duduk. Dia menghabiskan makanan yang ada di piringnya tanpa protes.
Setelah keduanya sama-sama siap, Devan segera mengantar Senna ke kampus seperti biasanya. Dari sana, Devan langsung ke kantornya. Sudah menjadi kebiasaan lelaki itu, dirinya sering menghabiskan banyak waktu hanya untuk memperhatikan dengan seksama foto gadis muda di dalam ponselnya.
"Berapa kali aku bilang, kalau suka, katakan saja, Dev. Jangan menyiksa diri seperti itu. Kamu dan dia sudah sering bertemu, apalagi sekarang kalian tinggal satu rumah," ucap seseorang yang tampaknya sudah sangat biasa masuk ke ruangan milik Devan.
"s**t. Adam. Kau mengagetkanku saja. Kau tahu jika menyatakan perasaanku pada Senna tidak masuk akal. Memang Senna pasti akan menerimaku tapi bagaimana dengan Dimas? Dia sahabatku. Bagaimana mungkin dia akan jadi mertuaku? Itu terdengar lucu?" Devan tertawa kecil, lebih tepatnya dia menertawakan dirinya sendiri.
Adam duduk di samping Devan. Dia menatap sahabatnya itu lumayan lama. Setelahnya, dia tertawa geli.
"Devan ... Devan. Cinta tidak pandang usia, Dev. Jika Dimas saja percaya padamu untuk menjaga putrinya bukan tidak mungkin kalau dia menerimamu juga untuk jadi menantunya. Selagi tujuanmu baik, aku rasa dia tidak akan melarang." Adam menyampaikan pendapatnya.
Apa yang dikatakan oleh Adam ada benarnya. Selama ini Dimas sudah memberinya kepercayaan untuk menjaga sang putri. Ada kemungkinan Dimas juga akan mengizinkan dirinya untuk mendekati Senna sebagai seorang wanita yang dia cintai.
"Sebenarnya ada masalah lain yang belum kuceritakan padamu, Dam. Ini soal nenek., dia memintaku untuk bertemu dengan cucu sahabatnya. Lebih tepatnya, mau menjodohkanku dengan seseorang." Devan bercerita sedikit ragu-ragu.
Sebenarnya nenek Devan sudah cukup lama membahas soal ini, hanya saja dia bisa menghindar dengan berbagai alasan. Dia belum ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Mungkin suatu saat, dan gadis yang Devan inginkan itu tentu saja Senna.
"Bukannya masalah itu bisa diatasi? Kau tidak perlu terus menghindari nenekmu. Lagi pula sampai kapan, huh? Katakan saja padanya jika punya gadis yang mengisi hatimu. Apa itu susah?" Adam memberikan saran. Dia tidak ingin Devan terus berlarut dalam masalahnya.
"Dengan mengaku jika menyukai Senna? Itu ide gila. Aku tidak mau berbohong pada nenek. Dia sudah tua, aku tidak mau tertimpa karma sudah berbohong dengan orang tua."
Devan serius. Dia memang tidak terbiasa untuk berbohong dengan orang tua. Apalagi hubungannya dengan sang nenek cukup dekat. Sebelum ada rencana perjodohan yang dilakukan oleh neneknya, Devan sering menghabiskan banyak waktu dengan perempuan renta itu.
"Makanya gerak cepat, dong. Jangan terlalu lama membiarkan Senna menyukaimu sendirian. Dia cantik dan imut, bisa saja dalam waktu sekian jam dia akan direbut oleh orang lain. Jangan sia-siakan dia, Dev." Adam memberikan dorongan.
Devan menghela napas kasar. "Aku sudah membuatnya kecewa semalam, Dam. Pagi tadi dia marah. Untung saja aku membujuknya."
Devan mengenang kembali apa yang sudah dia lakukan pada Senna semalam. Dia sudah membuat gadis itu tidak bisa tidur semalaman karena ketakutan. Sampai detik ini dirinya masih merasa sangat bersalah.
"Astaga! Kau masih saja, Dev. Sudahlah, jangan denial lagi. Cepat akui di depan Senna kalau kau juga memiliki perasaan padanya."
"Pasti, Dam. Tapi belum tidak sekarang. Aku harus izin pada Dimas. Bagaimana pun juga, dia ayah kandung Senna."
"Ya sudah, terserahmu saja."
Suara pintu diketuk mengalihkan perhatian Adam dan Devan.
"Masuk." Devan segera mempersilahkan seseorang yang ada di luar sana untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.
Seorang wanita berpakaian sopan masuk. Devan tidak mengenali perempuan itu. Dia belum pernah bertemu sebelumnya.
"Maaf, Anda siapa?"
"Perkenalkan, Stella. Aku diminta nenek Hamidah untuk menemui Anda. Maaf kalau sudah mengganggu waktu kerja Mas Devan." Wanita itu langsung duduk di kursi yang ada di hadapan Devan sebelum disuruh.
Devan yakin, wanita itu pasti gadis yang dipilih oleh neneknya untuk dia nikahi. Seketika rasa pening menyapa kepala Devan.