Mata Untuk Raka - 18

2727 Words
Permintaan Raka Rere terus mengekor mengikuti kemana pun langkah Revan. Sudah dua hari ini dia berusaha membujuk abangnya itu. Namun hingga sekarang Revan tetap menolak permintaannya. Revan mendesah pendek lalu berpura-pura tidak melihat Rere yang memasang wajah manyun di hadapannya. Rere pun mendengus kesal dan langsung menghadang langkah abangnya itu. “Emangnya gue ini mahluk halus? Sampe kapan lo cuek bebek kayak gitu?” hardik Rere. Revan mendorong kening Rere dengan jari telunjuknya. “Sampai lo berenti minta macem-macem,” jawab Revan. “Yah ... kok malah dibilang macem-macem, sih.” Rere tidak bisa menerima tuduhan abangnya. “Emangnya lo mau pergi ke mana? Pake acara mau minjem motor gue segala. Lo itu masih gagap bawa motornya,” sergah Revan. “Gue udah jago kali ... diajarin sama Adit,” bantah Rere. “Oke ... anggaplah kalo sekarang lo udah jago bawa motornya. Tapi lo belum punya SIM, kan?” Revan menggeleng pelan. “G-gue nggak jalan ke tengah-tengah kota, kok.” Rere mulai beralasan. “Terus lo mau jalan ke tengah-tengah hutan, gitu?” “Please ... cuma sebentar kok. nggak sampe setengah hari. Gue janji super hati-hati.” Rere terus memelas. Revan pun terdiam. Pertahanannya mulai goyah melihat wajah sendu adik tersayangnya itu. Revan masih berpikir keras. Sementara Rere masih menangkupkan kedua tangannya dengan penuh harap. Revan menatap Rere lekat-lekat sambil mengusap-usap dagunya pelan. Setelah cukup yakin, akhirnya dia membuka mulutnya kembali. “Pokoknya BIG NO!” Revan segera melangkah pergi. Rere pun langsung berubah murung. Dia terpekur di tempatnya berdiri dan enggan beranjak dari sana. Bibirnya berkedut menahan tangis. Dia benar-benar ingin mewujudkan keinginan Raka sebelum dia pergi ke Belanda. Pupus sudah harapan Rere. Sepertinya memang tak mungkin baginya untuk mengabulkan keinginan itu. “Woi ...!” Revan kembali menjulurkan wajahnya dari balik pintu kamarnya. Rere pun menoleh pelan. Bersamaan dengan itu Revan segera melempar kunci motor miliknya. “Lo harus hati-hati, ya.” Rere tergagap dan tidak bisa berkata-kata. Dia hendak mengucapkan rasa terima kasihnya. Namun Revan buru-buru menutup pintu itu kembali. Rere pun melompat girang mengekspresikan kebahagiaannya. Rere terus berputar-putar sambil menatap kunci motor yang ada di tangannya. Dia juga menggoyangkan bokongnya dengan gerakan yang lucu. Revan yang sedang mengintip dari balik pintu pun langsung mengulum senyum melihat tingkah konyol adiknya itu. *** “Hei ... maaf ya aku telat,” ucap Rere sambil melepas helmnya. “Ah ... nggak kok. Gimana? apa lo dibolehin bawa motornya?” tanya Raka. Rere tersenyum bangga. “Boleh dong,” jawabnya. Raka pun tersenyum senang. “T-tapi kayaknya kita nggak bisa ke pantai deh,” ucap Rere. “Kenapa?” “Soalnya aku belum punya SIM ... takutnya ntar malah kena razia.” “Yah ... terus gimana dong?” Raka terlihat sedikit kecewa. “Aku punya tempat tujuan lain yang nggak kalah menarik dari pantai.” Rere menjentikkan jarinya. “Kemana?” tanya Raka. “Rahasia.” Rere langsung memasangkan helm untuk Raka. Lalu membimbingnya menuju motor. Dengan meraba-raba pelan, Raka pun duduk di bangku kemudi. Tapi kemudian dia mengernyitkan keningnya karena motor itu belum juga melaju. Sementara Rere masih membelalak dengan napas yang kini tertahan di tenggorokan. “Kenapa lo belum jalan, Put?” tanya Raka. Rere menelan ludah, lalu menatap tangan Raka yang kini melingkar di pinggangnya. Pipinya kini terasa panas. Sesaat Rere merasa linglung. Hingga kemudian dia kembali mengusai dirinya. “I-itu tangannya ...,” ucap Rere pelan. “Tapi kalo nggak pegangan ntar gue bisa jatoh,” balas Raka. Rere meringis pelan. Semantara Raka menyembunyikan senyumnya. “Pegang jaket aku aja,” perintah Rere. “T-tapi—” “Nggak ada tapi-tapian,” hardik Rere dengan wajah memerah. Raka pun terkejut dan langsung memindahkan tangannya. *** Rere dan Raka kini sedang duduk di pinggir sebuah danau. Keduanya mencelupkan kaki masing-masing ke dalam air, lalu menikmati kesegarannya. Danau itu terletak di pinggiran kota. Tempatnya begitu asri dan hijau. Deretan pohon cemara menghiasi area sekitar danau. Udaranya begitu segar dan jauh dari polusi. Meskipun tidak bisa melihat, namun Raka bisa mengetahui bahwa tempat ini begitu damai dan indah. “Gue pikir ini emang lebih baik dibanding pantai,” ucap Raka. Rere tersenyum senang. “Kan, aku udah bilang kalau tempat ini nggak kalah menarik,” jawab Rere. Raka kembali menghirup napas dalam-dalam. Dia menikmati sensasi segar yang menusuk rongga hidungnya. Rere pun juga melakukan hal yang sama. Tempat ini seakan menyerap semua kepenatan dan rasa letih keduanya. Rere menikmati hembusan angin danau yang mengelus wajahnya pelan. Sementara Raka kini tersenyum menikmati suara kicauan burung yang terdengar merdu. Raka benar-benar merasa bahagia hari ini. Bibirnya tak henti tersenyum. Rere pun turut bahagia melihat senyumnya itu. “Kamu suka, kan?” tanya Rere. “Yaps ... gue suka banget sama tempat ini,” jawab Raka. “Syukurlah,” ucap Rere. “Sekali lagi makasih ya, Put ... berkat lo hari-hari gue terasa lebih bermakna.” Rere termangu mendengar ucapan Raka. Dia menatap wajah Raka yang masih tersenyum. Rere merasa bahagia dan sedih secara bersamaan. Dia bahagia melihat raut wajah itu, dan dia juga sedih karena kebersamaan ini akan segera berakhir. “Kok lo malah diem sih, Put?” sergah Raka. “Ah, nggak kok,” jawab Rere. “Kelak, gue bakalan pastiin buat datang ke sini lagi ... kalau seandainya gue udah bisa melihat kembali,” ucap Raka. Rere tersenyum tipis. “Tentunya lo juga harus ikut.” Sambung Raka. Rere pun terkejut dan tidak bisa berkata-kata. “Kok lo diem aja, sih? Apa lo nggak mau dateng ke sini lagi bareng gue?” “A-aku mau kok,” jawab Rere. Raka tersenyum lalu kembali mengayun-ayunkan kakinya di bawah air. Sementara Rere kini mulai larut dalam lamunannya. Dia mulai menyesal karena sudah kembali mendekati Raka. Harusnya saat itu dia bisa menahan diri. Harusnya saat itu dia tidak perlu berbicara dan hanya sekedar menolongnya, lalu segera pergi dari sana. Saat ini jadi semakin sulit baginya untuk memutus kebohongan yang sudah semakin berlarut-larut itu. “Toh dia juga bakalan pergi ke luar negeri ... gue nggak perlu khawatir. Itulah saat yang tepat untuk ‘Putri’ menghilang selama-lamanya.” Rere berucap dalam hatinya sendiri sambil mengangguk pelan. “Oh iya, aku juga bawa bekal makanan nih, kita makan dulu yuk,” ajak Rere. “Wah ... lo bener-bener the best deh, Put,” puji Raka. Keduanya lalu beralih duduk di bawah sebuah pohon cemara yang rindang. Rere pun mulai membuka bekalnya dan menata makanan itu untuk diberikan kepada Raka. Mereka pun mulai menikmati makanan itu sambil terus bersenda gurau. Rere sepertinya juga sudah memutuskan untuk menikmati momen-momen terakhir kebersamaannya dengan Raka. Dia menepis segala rasa gundah dan fokus pada kesenangan di hari ini. *** Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati piknik sederhana itu, tiba-tiba langit mulai menghitam. Awan gelap berarak pelan dan langsung menjatuhkan butiran hujan. Rere pun kelabakan mengemasi kotak makanannya. Setelah itu dia segera mengajak Raka untuk pergi mencari tempat berteduh. “Ayo cepetan, nanti kamu bisa basah kuyup.” Rere menyeret tangan Raka untuk membawanya pergi dari sana. Namun baru beberapa saat berjalan, Raka langsung menghentikan langkahnya. Rere pun berusaha menariknya kembali. Tetapi Raka malah balas menarik tangannya. “K-kenapa?” tanya Rere. Raka tersenyum, lalu menengadahkan wajahnya ke langit. Dia sepertinya menikmati setiap tetesan hujan yang jatuh ke wajahnya. Rere pun mengerti lalu ikut melakukan hal yang sama. Tetesan hujan itu membuat hatinya terasa damai. Keduanya terus menanti rintik dengan tangan yang saling menggenggam erat. Setelah itu Raka menurunkan wajahnya kembali, lalu menggenggam tangan Rere lebih erat. “Lo tau nggak ... ada dua hal yang paling gue sukai di dunia ini,” ucap Raka. “Apa itu?” tanya Rere. “Langit dan hujan,” jawab Raka. Rere tersenyum. “Aku juga suka keduanya,” jawab Rere. “Kenapa lo bisa suka sama langit?” tanya Raka. Rere pun terdiam mendengar pertanyaan itu. Rere terkenang saat dia menatap langit bersama Raka. Saat itu mereka berbaring menatap langit sambil menebak berbagai bentuk awan yang terlihat. Rere pun menyadari itulah awalnya dia mulai menyukai langit. Dadanya kini terasa sesak mengingat saat-saat itu. Perlahan Rere merasakan air hujan berubah hangat di pipinya karena sudah bercampur dengan air mata. “Put ... lo kok malah diam?” tanya Raka. Rere tidak menjawab dan langsung memeluk Raka dengan erat. Dia membenamkan wajahnya ke d**a Raka. Meski awalnya terkejut, Raka pun kini membalas pelukan itu. Rere terus menangis tanpa suara dalam pelukan Raka. Keduanya kini merasakan hangatnya pelukan di bawah hujan. Raka kini tersenyum senang. Sementara Rere masih terisak dengan hati yang terus berbisik kalimat yang sama. “Maafin gue Raka ... maafin gue ....” . . . . . . Rere menatap keluar jendela dengan tatapan nanar. Kamar di seberang sana kini telah kosong. Tidak ada lagi sosok Raka yang biasanya selalu ada di sana. Tidak ada lagi Raka yang sedang memantulkan bola basketnya. Tidak ada lagi Raka yang sedang memetik gitarnya. Kamar itu berubah hampa seperti perasaan Rere saat ini. Rere tersenyum tipis. Tatapannya beralih pada mainan kunci berbentuk bola basket yang ada di tangannya. Konon itu adalah mainan kunci kesayangan Raka yang diberikan kepada Rere sebagai kenang-kenangan. Selain itu Raka juga memberinya sebuah kalung liontin berbentuk bintang. “Lo ngapain di kamar gue?” Rere tersentak dari lamunannya. “Lo ngagetin gue aja, ah.” Rere menatap Revan dengan tatapan sinis. “Lah... orang gue cuma masuk ke kamar gue sendiri.” Revan mengernyit sambil terus mengeringkan rambutnya dengan sebuah handuk. “Itu shampo di rambut lo belum bersih tau,” ucap Rere. “Seriusan?” “Iya,” jawab Rere. “Ya udah deh biarin aja. Rere hanya berdecak pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menatap abangnya itu lekat-lekat. Rere tidak mengerti kenapa begitu banyak wanita yang tergila-gila padanya. Bagi Rere parasnya biasa saja dan tingkah lakunya menjadi penyumbang nilai minus terbanyak. Yah mungkin saja abangnya Revan memang memiliki pesona berbeda yang dia tebarkan di luar sana. “Oh iya... temen lo itu pergi ke mana?” tanya Revan. “Ke Belanda,” jawab Rere. “Ngapain dia ke sana?” “Katanya sih, mau menjalani pengobatan di sana.” Revan mengangguk pelan. Kemudian dia menatap Rere yang masih terpaku menatap ke kamar kosong di seberang sana. “Lo sedih karena dia udah pergi?” Revan bertanya dengan nada hati-hati. Rere langsung menatap ke arah Revan. Abangnya itu pun langsung mengangkat tangannya untuk bersiap menangkis amukan Rere. Namun sedetik kemudian tangan itu kembali turun dan kini terlihat Rere tersenyum dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Revan terkesiap, dia menghela napas sejenak kemudian berjalan mendekati Rere. “K-kamu suka ya... sama anak itu?” Rere tersentak mendengar pertanyaan itu. Rere tidak kunjung menjawab. Namun sebulir bening yang mengalir di pipinya sudah menjelaskan semuanya. Revan pun memejamkan matanya sejenak, kemudian kembali menatap Rere lekat-lekat. Setelah itu dia langsung menarik kepala Rere ke pangkuannya. Revan pun menepuk-nepuk punggung Rere dengan pelan. Sementara Rere mulai menumpahkan tangis yang sedari tadi telah susah payah ditahannya. *** “Ciee... yang tadi kena puji sama guru BK waktu upacara bendera.” Adit menatap Rere dengan senyum meledek. “Apaan sih lo.” “Hmm... kayaknya citra lo sebagai siswi paling beringas di sekolah ini udah mulai melebur ya,” ucap Adit. Rere menghela napas sejenak. Sejak upacara tadi pagi dia sudah menjadi bahan gunjingan hampir seluruh warga sekolah. Semua karena Bu Emma selaku guru BK yang tadi bertugas sebagai pembina upacara. Beliau memuji sosok Rere yang dinilai sudah berubah menjadi siswi yang baik. Meskipun kali ini tentang hal yang positif, tapi tetap saja Rere merasa risih dengan sorot mata yang terus meliriknya diam-diam. “Nanti siang kita pergi nonton, yuk!” ajak Adit. “Males.” “Ayo dong Re...” “Ajak Airin aja,” ucap Rere. “Dia emang ikutan. Tapi lo harus ikut juga.” Adit memasang wajah memelas. Rere tidak lagi berbicara. Tatapannya kini tertuju ada beberapa siswa yang sedang bermain basket di lapangan. Adit pun hanya bisa tersenyum kecut. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan Rere. Dia tahu apa yang sedang mengusik sahabatnya itu. Adit benar-benar heran kenapa Rere begitu peduli pada sosok Raka. Dia tidak bisa menyangkal bahwa rasa iri dan cemburu sudah menyusup ke hatinya dan tumbuh semakin besar setiap harinya. “Lo lagi mikirin apa, sih Re?” tanya Adit. “Ah.. nggak kok. gue nggak mikir apa-apa.” Bibir Adit terbuka hendak meluapkan kekesalannya. Namun sedetik kemudian dia kembali mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Adit tidak ingin bertengkar lagi dengan Rere. belakangan ini mereka terlalu sering bertengkar dan Adit merasa hubungan mereka kini semakin canggung. Adit mengangguk pelan. Dia tidak ingin membuat Rere lebih jauh lagi. “Jadi gimana nih... lo jadi ikutan, kan?” desak Adit. “Gue lagi males pergi ke tempat yang rame,” jawab Rere. “Yah... namanya bioskop ya rame lah... atau apa perlu gue borong semua tiket biar cuma kita yang ada di sana.” Adit menjentikkan jarinya. Rere tergelak. “Mending lo beli nasi bungkus, abis tu lo bagiin sama anak-anak jalanan,” dengus Rere. Adit tersenyum. “Oho... sekaran Rere bener-bener udah berubah ya,” ledeknya. “Apa sih, Dit.” “Ya udah... karena lo nggak mau ke bioskop, gimana kalo kita nontonnya di rumah gue aja? kali ini nggak boleh ada penolakan lagi. Lo harus dateng! OK!” Rere baru hendak menjawab, namun Adit langsung bergegas pergi karena bel masuk kelas sudah berbunyi. Rere benar-benar sedang tidak ingin diganggu. Sudah seminggu ini dia lebih senang menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di dalam kamar. Dia juga menjadi lebih pendiam dan pelit bicara. Hal itu sudah disadari oleh sang mama, Revan, Adit dan juga Airin. Bahkan diam-diam Revan, Adit dan Airin sudah mengadakan pertemuan singkat untuk membahas perubahan Rere tersebut. Mereka semua merasa prihatin dan memiliki misi yang sama, yaitu mengembalikan Rere seperti sedia kala. *** Sore ini tiga serangkai Rere, Adit dan Airin sudah duduk manis di depan televisi di rumah Adit. Awalnya Rere tidak mau datang, namun Adit dan Airin terus memaksanya. Ditambah juga Revan yang ikut-ikutan mengusirnya pergi dan langsung mengunci pintu rumah. Mereka kini terpaku pada film Harry Potter yang merupakan film legend bagi ketiganya. Mereka tidak pernah bosan meski sudah menontonnya berulang-ulang. “Padahal udah tau jalan ceritanya... tapi kok aku tetep deg degan ya, setiap melihat adegannya,” ucap Airin. “Yaps. Gue juga gitu,” sambung Adit. “Nah... ini adegan kesukaan kamu kan, Re?” tanya Airin. Tidak ada jawaban. Adit dan Airin pun kompak melirik ke arah Rere. Keduanya lalu saling pandang dan menghela napas secara bersamaan. Rere masih saja tenggelam dalam pekat lamunannya. Adit hampir tidak bisa menahan dirinya lagi. Namun Airin langsung menenangkannya dengan menarik Adit untuk kembali duduk di tempatnya. “Re....” Airin memanggil Rere pelan. “I-iya,” jawab Rere. Airin mengambil remote TV lalu mematikannya Setelah itu dia beralih menhadap Rere. Sementara Adit diam di tempatnya sambil mengusap dagunya pelan. “A-ada apa?” kenapa TV-nya kamu matiin?” tanya Rere. Airin tersenyum tipis. Dia meraih tangan Rere lalu meremasnya pelan. “K-kenapa sih, Rin?” Rere mulai merasa risih dengan situasi itu. “Sekarang udah waktunya buat berhenti Re,” ucap Airin. “B-berhenti?” “Kamu sadar kan, bahwa peran kamu sebagai Putri udah berakhir.” Airin berkata pelan. Rere terhenyak. Dia tidak menjawab dan hanya menundukkan wajahnya. “Apa lo sadar kalo sekarang itu lo hidup dalam delusi.” Adit juga mulai bersuara. “Gue nggak mikirin dia lagi, kok,” kilah Rere. “Bohong!” suara Adit mulai meninggi. “Dit....” Airin langsung mencegahnya sebelum emosi Adit meledak. Keheningan kini kembali menyebar. Rere benar-benar tidak bisa menyembunyikan raut kesedihan di wajahnya. Airin pun menjadi bimbang harus bersikap bagaimana. Dia terus menatap Adit dan Rere secara bergantian. Adit sepertinya semakin kesal melihat sikap Rere saat ini. Adit menghela napas gusar, lalu melangkah pergi dari sana. Rere pun hanya bisa menatap dari sudut matanya. Dia tahu Adit marah padanya. Rere tahu Airin khawatir padanya. Namun mereka berdua tidak akan pernah mengerti akan apa yang Rere rasakan. “Re... sampai kapan ka—” “Maaf Rin... tapi gue minta lo nggak usah lagi nasehatin gue tentang hal ini.” Rere langsung memotong pembicaraan dan juga bergegas pergi dari sana. Airin pun terhenyak dengan mulut yang masih terbuka. Tak ada lagi canda tawa. Tak ada lagi suka cita seperti dulu. Tak ada lagi kesenangan yang menghangatkan d**a. Persahabatan mereka kini... hanya terus membuahkan luka dan air mata. . . Bersambung…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD