Something like that

2508 Words
Tujuh belas sembilan puluh tujuh bukan sembarang angka, hanya sebuah penentu dari waktu yang berputar entah telah berapa lama. Sebab waktu pun baginya hanya omong kosong belaka lantaran tidak ada yang berubah dengan fisiknya. Malam itu udara terasa lebih dingin daripada yang seharusnya, lokomotif uap melintas diantara rel perbukitan kota. Suara mesinnya yang nyaring memecah kesunyian yang lumayan mendebarkan. Seseorang bisa saja sedang merapalkan sebuah kutukan yang cukup bagus untuk dapat membuat gelisah para penumpang. Ada banyak rumor yang beredar terlebih perkara soal mahluk misterius yang memakan lembu, biri-biri bahkan anjing penjaga para penduduk desa. Orang-orang telah lama tahu, dan menganggap bahwa semua itu adalah sebuah rahasia umum. Mereka paham betul bahwa ada yang tidak beres dengan kondisi kota ini. Tapi tidak ada siapapun yang mau membicarakan soal itu. Melalui sebuah surat kabar, terdapat berita misterius yang mengguncang dan menjadi buah bibir daripada semua penduduk. Meresahkan mereka semua, sebab ada lebih banyak korban yang berjatuhan oleh karena ulahnya. Luka menganga yang sama diapadu padankan dengan organ tubuh yang bercerai berai usai disantap lahap. berkatnya orang-orang saling menuduh, berspekulasi tentang hal-hal diluar nalar yang membuat banyak korban berjatuhan. Mulai dari manusia psikopat yang semestinya di penjarakan, sampai mahluk astral pembenci manusia. statement pertama paling banyak dipercayai, namun realita justru statment kedua lah yang benar-benar terjadi. Berkat kebodohan para manusia jenisnya paling tidak bisa hidup lebih lama daripada yang dapat dia duga. Kejahatan maupun kebenaran sekarang telah tak punya muka. dan diatas sana, diatas gerbong kereta yang masih melaju secara lambat-lambat atau memang hanya itulah kecepatan maksimal yang dapat menggerakan benda panjang itu menuju destinasi tujuan. Pria dengan jubah hitam, rambut perak, matanya yang merah menyala, segalanya mencerminkan sebuah kegelapan nyata meskipun pria itu tidak melakukan apa-apa selain daripada memandang kearah purnama yang lebih terang malam ini. Lalu kemudian srigala melolong menuturkan melodi horor seolah memberikan efek musikal untuk kematian. Seperti sebuah pertanda, dan kemudian kereta tak lagi menimbulkan suara lagi. Didalam sana mereka semua telah mati. *** Seorang perempuan muda sibuk menggembala biri-birinya yang tersisa dari teror yang rasanya tidak akan kunjung habis selamanya. mungkin hingga pada titik usianya. Rambutnya berwarna hitam kelam, jenis warna yang menyiratkan kegelapan. jenis warna yang membuatnya diwaspadai sebagai seorang penyihir meskipun dirinya bukanlah seorang penyihir. Terik mentari lebih panas hari ini, menimbulkan bulir peluh di atas dahinya. Dia bahkan perlu menyekanya berkali-kali. Surat kabar yang dia terima pagi ini juga masih berputar-putar pada satu kasus yang sama. Topik membosankan yang selalu menjadi sebuah cerita yang selalu menghiasi gosip yang dibumbui oleh asumsi bermacam-macam dari semua wanita yang berbelanja kebutuhan setiap harinya. Ya, meski korbannya kali ini berbeda. Bukan dari penduduk yang tersisa melainkan seorang pelancong yang kebetulan menggunakan kereta sebagai alat transportasi. kasihan sekali. Perempuan itu kemudian menyimpulkan sesuatu daripada berita yang dia dapatkan pagi ini. Semakin dekat musim salju, maka kemungkinan mahluk itu kelaparan juga akan semakin tinggi. dia berasumsi bahwa mungkin korban selanjutnya dari prahara ini adalah dirinya sendiri. siapa tahu? Tiba-tiba diteriknya matahari salju turun. Perutnya mendadak dipenuhi oleh gejolak asing. Dia mulai menyadari bila ada entitas asing yang sedang menatap biri-biri yang sedang dia gembalakan. Atau bahkan pandangan itu diarahkan pada dirinya? "Kupikir sudah tidak ada lagi pengembala yang tersisa ditempat ini," kata pria itu berdiri disisinya. Entah sejak kapan. perempuan itu menutup rambutnya sendiri dengan tudung yang dia kenakan. Ia menilik dari atas kepala hingga ke kaki. Penampilannya seperti seorang aristokrat. Tampak sangat elegan dengan jas hitam dan kemeja putih. Aura pria itu lebih pekat daripada manusia umumnya. Setidaknya sebelum dia mati dia sempat melihat bangsawan. Karena dia bukan bangsawan. "Ini adalah biri-biriku yang tersisa. Bila suatu saat kuantitinya berkurang atau bahkan habis kurasa aku akan berhenti menjadi seorang penggembala," Usai berlagak, sialnya perutnya malah berbunyi. Dia ingat belum makan apa-apa hari ini. "Apa kau sedang mengutuk?" "Hah?" "Perutmu itu," pria itu kini melangkah untuk mendekat. "Kau terlihat menyedihkan. Kau lapar, kau mengeluh, sambil memandang sedih pada biri biri milikmu yang tersisa. Kau juga tidak bisa berkeliaran semaumu karena kau memiliki ciri-ciri seorang penyihir. Kau seorang diri. dan pandai mengutuk," Meski bukan ahli dalam hal-hal seperti seorang yang ahli dalam menjudge seseorang. Perempuan itu sadar bahwa ada bau kematian yang terlampau sangat menyengat dari sepasang mata pria itu. Ketika perempuan itu memberanikan diri untuk melirik tepat ke arah matanya, dia seperti sedang menyaksikan darah. Darah yang menetes-netes serupa tangisan bayi. Sementara dari bibirnya tersimpan sebuah rahasia, sesuatu yang dikunyahnya terlampau mencurigakan. Tapi sejauh itu, meski semencurigakan itu sang perempuan tidak tertarik sama sekali dengan darimana si pria ini tahu mengenai seluk beluk daripada kehidupannya yang terlampau monoton. mulai dari mengenai dirinya yang seorang penggembala hingga kehidupan sehari-harinya. "Siapa namamu, Tuan?" ia pikir setidaknya dia perlu mengenal seorang aristokrat macam pria disisinya ini paling tidak seumur hidupnya. "Aku tidak perlu membagi identitasku dengan mahluk fana macam dirimu," "Ya, tapi intinya aku hafal bahwa kau adalah seorang aristokrat," "Aristokrat?" "Caramu berpakaian mencerminkan hal itu," "Ah.. lalu namamu?" alis perempuan itu berkerut ketika pertanyaannya ditimpali oleh hal yang tidak terduga "Kupikir kau sudah tahu namaku, bukannya adalah hal yang wajar bila mengenal seseorang dimulai dari namanya?" dia tahu bahwa sesungguhnya dia adalah tipikal perempuan ceroboh. Semestinya dia tidak bicara seangkuh itu dengan seorang pria misterius yang tiba-tiba hadir dalam kesendiriannya. Sebab dimalam berikutnya, seluruh biri biri miliknya yang tersisa mati. kali ini dia menggigil kelaparan, roti hasil curian sudah masuk keperutnya beberapa jam lalu dan hasilnya dia kembali kelaparan karena sepotong roti tidak cukup untuk memenuhi rasa dahaga yang dia rasakan. minum air pun rasanya tidak cukup. perutnya malah berakhir kembung. Dalam kondisi ini mau tidak mau dia harus pergi, pergi ke kota dimana semua orang yang tidak mengenal dirinya membenci dirinya hanya karena penampilan luar semata. Mencuri apa saja, memakan apa saja yang bisa di makan daripada harus mati mengenaskan ditengah bukit seperti sekarang. dari dalam kediamannya yang sempit, yang dapat dia dengar hanyalah lolongan srigala. Bersahut-sahutan memberi sebuah pertanda yang layak untuk tidak dia abaikan. Dan dari dalam rumahnya tiba-tiba sosok itu ada. Tidak bersembunyi, namun tertutup oleh kabut malam. Bukan aristokrat yang dia kenal, bukan bangsawan, dan bukan pula manusia. Pria itu hanyalah seekor srigala buas kelaparan yang telah usai membantai seluruh biri biri miliknya. Atau mungkin rubah? *** Ada beberapa malam dimana aku menjumpai mimpi yang sama, sebuah kronologis yang terlampau aku hafal di luar kepala saking berulangnya. Aku tidak mengerti apa tujuan mimpi itu datang, tapi semestinya aku tidak perlu terlalu khawatir tentang apapun itu. Dari masa kuliah, hingga kini aku bekerja beberapa kali aku kerap mengkonsultasikan perihal mimpi itu pada seorang psikolog. “Apa kau percaya reinkarnasi?” katanya setelah aku menjalani beberapa kali sesi konseling bersamanya. Pria itu adalah seluruh manifestasi dari setiap doa yang aku panjatkan. Pria dengan seluruh pesona yang memang aku butuhkan. Maka di pertemuan ketiga aku mendeklarasikan padanya bahwa aku jatuh hati pada dirinya. Dan pria itu hanya tersenyum menanggapinya. Aku paham bahwa mungkin pria yang hampir sempurna seperti dia tidak memiliki ketertarikan pada perempuan tak jelas yang sudah rusak macam diriku. Tapi berkat rasaku inilah sesi konseling bersamanya menjadi salah satu waktu istimewa yang aku nantikan setiap minggunya. “Apakah seorang dokter sepertimu mempercayai hal-hal tidak logis macam ini?” aku duduk pada beranda miliknya, menikmati semilir angin malam di kediaman pria ini. memandangi langit malam yang penuh bintang dan bulan yang menerangi lautan. Angin malam yang sedikit menusuk benar-benar membuat dirinya sedikit menggigil. Meski begitu, aku tetap bertahan disana. Dengan sebatang rokok yang terselip dibibir. Setidaknya dengan itu rasa pusing dikepala akibat mimpi itu bisa sedikit berkurang efeknya. Tapak kaki terdengar dibelakang sana. Bergerak mendekat hingga tiba-tiba tangan yang besar dan hangat menyampirkan sebuah selimut di bahuku dan merapatkannya pada tubuhku. dia seperti seorang pria sejati yang memastikan aku tetap berada dalam kondisi baik-baik saja, dan juju raku merasa terkesima diperlakukan seperti ini. Aku tidak tahu pasti bagaimana ekpresi pria itu saat ini, sebab aku berada dalam posisi membelakanginya saat ini. anehnya posisi ini membuatku merasa tenang, nyaman, dan damai— “Kurasa sudah cukup, sesi ini berakhir. Kau harus beristirahat,” suara beratnya kemudian hadir dalam sela-sela kebersamaan kami. Memecah moment yang dapat aku klasifikasikan sebagai sebuah kedamaian. Tapi meski dipecah oleh suaranya aku sama sekali tidak keberatan. Aneh sekali. Berkat dirinya pula aku sadar dimana aku berada, duniaku. Dunia yang terkadang keliru aku masukan kedalam daftar mimpi dan sebuah realita. Aku menoleh padanya memperhatikan pria berkacamata itu secara seksama. “Kenapa tidak ? aku masih butuh bantuanmu Dokter,” sahutku menjawabnya. “Tidak. sudah berakhir.” Jawabnya kemudian. Dan jawaban yang begitu lembut itu mendapatkan respon berupa senyuman lembut. Tapi kurasa dia tidak akan sadar tentang senyum ini. “Kau harus berhenti merokok,” “Benda ini membantuku meraih ketenangan yang aku butuhkan Pak Dokter,” jawabku sedikit pelan, namun aku rasa pria itu masih dapat menangkap suaraku. Aku mengambil kesempatan itu untuk sekali lagi menyesap rokok milikku. Hening. Tidak ada lagi yang membuka percakapan untuk sementara waktu, terlalu sibuk dengan kegiatan dan pikiran masing-masing. Aku tidak tahu mengapa arah pandang pria itu menerawang, aku tidak ingin menerka lebih jauh soal itu. cukup biarkan saja seperti ini. Belum sempat aku buka suara tiba-tiba tangan pria itu menyambar rokok milikku lalu dia menyesapnya dengan nikmat. Hal yang justru mengundang senyumanku yang lainnya. Kini tanganku hampa. Tidak lagi memegang apa-apa. “Omong-omong Pak Dokter,” kataku sekali lagi memecah hening diantara kami. Membuat pria itu sekali lagi melirik kearahku. “Ya?” respon pria itu singkat, terlihat menikmati sisa batang rokok curiannya. “Terimakasih Dokter Raulin,” ujarku sembari tersenyum lembut padanya dan membuat tatap pria itu mendadak diliputi oleh uar uar kebingungan. Dan kini aku bisa melihat bila wajahnya nampak sedikit tercekat saat fokusnya benar-benar dia arahkan kehadapanku. Sesaat aku bisa melihat ada semburat merah pada wajahnya. Namun aku sengaja untuk tidak terlalu berfokus pada hal itu dan memilih mengabaikannya saja. keputusan itu tentu saja berdasarkan tingkah laku si dokter muda yang buru-buru mengalihkan pandangannya kearah lain.   “Untuk apa?” tanyanya lagi. Suaranya terdengar sedikit bergetar menahan gugup. Dan itu adalah sesuatu yang lucu yang aku sukai dari dirinya. “Terimakasih sudah membantuku di waktu-waktu sulit. Dan memulihkan mentalku,” “Itu adalah kewajibanku sebagai dokter,” jawab Raulin kemudian, pria itu membalas ucapan terimakasihku dengan jawaban khas. “Tapi kau tahu, entah bagaimana jadinya bila aku tidak bertemu dengan anda Dokter, aku rasa aku akan sampai pada tahan depresi. Mungkin…” henti sejenak menatap bulan diatas langit yang menerangi mala mini. “Seperti aneh saja, bertemu denganmu membuatku membaik,” “Aku ikut bahagia bila hal-hal positif itu. kau lebih cantik bila tersenyum dan bahagia,” namun tiba-tiba tubuh pria itu membeku, kata-kata yang meluncur tanpa beban dari bibirnya itu membuat dirinya tiba-tiba merutuki dirinya sendiri. Aku sendiri tentunya dibuat menatap dirinya karena mendapatkan sebuah ujaran yang membuatku terkejut. Lagipula sejauh aku mengenal Raulin dia tidak pernah berkata hal-hal manis macam ini. hasil akhirnya malah menggelitik. “Jadi, aku tampak cantik bila aku tersenyum dan bahagia? Apa sekarang aku tidak ?” kali ini aku jadi tergelitik untuk menggodanya lebih jauh lagi. Memainkan sebuah peran yang mudah untuk bisa aku lakoni. Membuat sebuah jenis raut kekecewaan yang aku padu padankan dengan parasku. Pria berkacamata itu membeku. “Tidak bukan itu maksudku, begini—” “Jadi sekarang aku tetap cantik kan?” selaku menoleh kearah Raulin dengan senyum yang berkembang. Raulin terlihat mati kutu. “Hahaha… reaksimu sungguh lucu pak Dokter,” melihatnya seperti itu membuatku tak tahan untuk tertawa. Tak sanggup menahan lebih lama. “Tsk! Jangan mempermainkan aku, Haleth!” gusar Raulin menatap kearahku dengan cara baru. Jengkel. Puas tertawa, aku lantas menghentikan tawanya dan menatap kearah Raulin yang terlihat menghela napas. “Jadi?” tanyaku sekali lagi sengaja dibuat menggantung. “Apa lagi?” “Aku yang didepanmu sekarang cantik?” aku kembali membuat sebuah repetisi atas tanyaku yang belum terjawab. Mengalihkan pandangan kearah lain. Memancing jawaban yang ingin sekali aku dengar. “Kamu kan sudah tahu jawabannya?” ucap si pria kacamata lagi. “Aku kan hanya ingin mendengarnya langsung dari bibirmu,” aku orang yang keras kepala aku mengakui hal itu. dan aku tidak akan berhenti sampai aku mendapatkan apa yang aku mau. Dalam aspek ini, berlaku untuk seluruh skema dalam kehidupanku. Kali ini aku bisa mendengar Dokter Raulin menghela napasnya sedikit lebih panjang. Terdengar memasrahkan diri atas keadaan yang tidak bersekutu dengan dirinya. “Ya, kau tetap cantik. Sangat cantik,” jawab Raulin. Aku melirik dan melihat pria itu menutup setengah wajahnya yang sepertinya sudah begitu memerah karena statement yang dia utarakan barusan. “Benarkah? Terimakasih.” Aku tersenyum senang, sangat senang mendengar pengakuan dari pria yang memang aku sukai ini. ah.. perasaan yang meluap ini sangatlah menyenangkan. Dan lagi-lagi aku bisa mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa pria ini kembali membeku atas senyumanku. Aku menegakan tubuhku sambil merapatkan selimut yang menyelubungi tubuhku. “Yah.. karena sudah seperti ini kurasa pak Dokter akan aku beri hadiah,” seketika aku menghadapkan tubuhku kearah Raulin. “Hadiah?” dahi Raulin berkerut bingung. “Yah, hadiah sebagai bentuk terimakasih dan juga atas pengakuanmu tadi,” terangku santai. “Aku yakin kau akan suka,” lanjutku. Raulin menyeringai, kemudian menutup matanya mengikuti isyarat yang aku berikan. “Kau sangat percaya diri sekali Nona,” “Tentu saja,” Raulin berdehem. “Lalu apa hadiah yang akan kamu berikan?” Aku mendekat, mata pria itu membelalak dan melebar. Ekspresi wajahnya seperti mendeskripsikan bahwa pikirannya mulai bercabang. Chu~ Bibirku menyentuh pipi Raulin. Pria berkacamata itu masih kaget dengan apa yang sudah terjadi setelah aku membuat jarak darinya. “Itu hadiahmu, kuharap kau menyukainya Pak Dokter,” Raulin masih terdiam, tidak percaya. “kalau begitu aku pamit ya, Dokter Raulin,” aku berlalu dari hadapan pria itu, namun baru beberapa langkah, seseorang menahan pergelangan tanganku jelas untuk menghentikan langkah wanita itu. dan aku tahu bahwa hanya ada Raulin di ruangan ini. “Siapa yang menyuruhmu pergi?” tanya Raulin suara pria itu sedikit memberat. Dia membalik tubuhnya lalu menarik tubuhku untuk mendekat kearahnya membuat selimut tipis yang aku kenakan terjatuh dari tempatnya tersampir. Tanpa ragu Raulin tiba-tiba menempelkan bibirnya pada bibirku. Sangat tiba-tiba sampai membuat isi kepalaku langsung kosong karenanya. Bukannya berontak atau paling tidak menolak, aku justru malah menyambut lebih permainan panas ini. tanganku bergerak menuju leher pria itu dan merangkulnya. Begitu pula dengan Raulin yang bergerak untuk memeluk pinggangku, sementara yang satunya lagi dia gunakan untuk menekan belakang kepalaku. Bermaksud untuk memperdalam ciuman kami. Setelah merasa kehabisan napas kami melepaskan pagutan diantara kami, benang saliva tercipta. Buah dari aktivitas kami barusan. “Untuk apa ciuman barusan?” tanyaku setelah cukup mengambil waktu untuk dapat menetralkan napasku kembali. Jantungku masih berdebar cepat. aku tidak mengira bahwa Raulin baru saja mengajaknya untuk b******u. “Hukuman,” “Hukuman?” “Hukuman karena kau menggoda pria yang lebih tua darimu,” “Begitu?” “Ya,” “Tapi aku menyukai hukumannya,” “Kau menyukainya?” “Tentu karena aku menyukaimu Pak Dokter,” “Aku tahu,” katanya. Dan selalu pembicaraan ini akan berakhir seperti ini. tapi aku tidak peduli selama perasaan hangat ini melingkupi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD