1. Aksara Jawa

1122 Words
Disclaimer: Ini adalah Fiksi sejarah adalah sebuah genre kesusastraan di mana alurnya terjadi dalam sebuah latar yang berada pada masa lampau. Jika ada kesamaan nama, tempat, waktu, dan hal lainnya adalah hal yang tidak disengaja. Jika kemudian ada salah penulisan, salah penempatan, sejarah dan tambahan lain di dalam cerita itu juga tidak disengaja. . *** . “Arrghhhh….” “Arhhh…” “Ahhhh!” “Ahhhh!” “Hah….” Teriakan-teriakan itu diakhiri dengan helaan napas panjang dengan seorang laki-laki yang memandangi seorang perempuan di hadapannya. Laki-laki ini meringis karena harus menanggung malu sebab baru saja teman sejak kecilnya berteriak di puncak gunung setelah berhasil mendakinya. “Plis… udah, Wi… mau ditaro mana lagi muka gue?!” Nama perempuan ini adalah Arkadewi—biasanya dipanggil Dewi—dan temannya yang baru saja mengeluh adalah Hildan. Dewi berjalan mendekat ke arah Hildan dengan wajah cemberut karena dilarang berteriak lagi. “Pelit!” rutuk Dewi. Hildan menghela napas, menyetok kesabarannya yang selalu setipis es di kutub utara saat ini karena pemanasan global. “Lagian masih banyak orang, Njir… elo main teriak aja kek lagi diapain!” “Ya kan cuma mau melepaskan perasaan bangga gue karena berhasil ke puncak,” bela Dewi. Tangan kanan Hildan bergerak untuk menempeleng temannya ini. Capek sekali menghadapi Dewi yang kelakuannya tidak selembut namanya itu. Pantas dua kakak cowok Dewi suka menyerah menghadapi adek bontotnya ini. “Makan, nih! Teriak-teriak mulu sampe lupa harus nyiapin sarapan!” Hildan menyodorkan makanan instan yang berkat kemajuan jaman bisa dipanaskan kapan pun dan di mana pun. Dengan cengiran di wajahnya, Dewi menerima sarapannya yang baunya cukup menggugah selera. Dia sudah cukup kelaparan meski cuma naik ke puncak yang tidak terlalu tinggi, tapi dia bukanlah anak gunung seperti Hildan. Dia cuma cewek kutu buku tapi bukan introvert juga. Lebih tepatnya sih, mageran... “Hmm... enak. Tenaga gue bisa pulih cepet kalau gini. Huah... lama nggak naik gunung bikin remaja jompo ini merasakan akibatnya,” keluh Dewi dengan keadaan tubuhnya yang sakit semua. Hildan memberikan lirikan malas pada Dewi karena entah sudah berapa kali temannya ini mengeluhkan hal itu. Memang kalau lama tidak melakukan aktifitas fisik pasti akan terasa sekali rasa sakitnya meski mereka mendaki gunung Gede di Jawa Barat, yang baginya ini sudah seperti tempat latihan sebelum naik ke puncak gunung yang lebih tinggi. “Apa artinya itu?” tanya Hildan ketika melihat Dewi menulis sesuatu di kertas. “Nama temen gue si Syakila,” kata Dewi, menjawab tanpa menoleh ke arah temannya. Cuma anggukkan saja yang kemudian diberikan Hildan setelah tahu arti dari tulisan Dewi. Sebab bukan tulisan latin yang digunakan Dewi, melainkan huruf aksara Jawa yang bagi Hildan yang lahir dan besar di Jakarta jadi kurang tahu soal huruf ini. Setelah selesai menulis Dewi kemudian berdiri dan menuju spot yang dia kira estetik untuk mengambil potret dengan kertas tadi. Pesanan temannya yang sudah mentraktirnya makan siang minggu kemarin di kampus. “Gue buatin juga dong,” pinta Hildan pada Dewi yang sudah duduk di sebelahnya lagi. “Apa?” tanya Dewi tidak mengerti. “Tulisan begitu.” Hildan menunjuk kertas yang dipegang Dewi. “Bayar! Syakila dapet ini karena dia traktir gue makan,” kata Dewi penuh perhitungan. Kesabaran Hildan kembali diuji. Punya teman sangat perhitungan padahal dia juga sudah mentraktir ini itu sejak mereka berangkat mendaki, membawakan tas Dewi juga saat tadi cewek ini hampir kehabisan napas. Dasar! “Kagak jadi, pelit banget!” umpatnya kesal. “Ha ha ha....” Dewi Justru tertawa karena melihat ekspresi kesal temannya. Rupanya kali ini dia berhasil memancing emosi cowok yang apa-apa mengikutinya ini. Sampai ketika memilih kampus pun mengikutinya. Katanya sih karena tidak ada niatan kuliah, tapi kalau Dewi kuliah maka Hildan bakal kuliah juga. “Bercanda elah.... nih gue buatin!” Segera saja Dewi menuliskan nama lengkap Hildan di kertas note yang dia bawa. Tadi dia sudah menulis nama ayah, ibu dan kedua kakaknya yang kadang kelakukaannya kayak titisan setan karena terus menjahilinya. Untung saja kedua kakaknya sudah menikah dan pindah rumah, walau akhirnya dia jadi kesepian di rumah. Nama Hildan kemudian ditulis dengan huruf Aksara Jawa yang dihapal oleh Dewi di luar kepala. Sebab dia sangat menyukai huruf ini dan sudah dia pelajari sejak masih SMP saat berkunjung ke rumah kakeknya yang ada di Yogyakarta. “Pake tulisan zaman Majapahit aja, Wi,” kata Hildan yang langsung dipelototi Dewi. “Macem-macem kalau minta,” timpalnya. Bisa sih Dewi mengabulkan, cuma dia masih mempelajari lebih banyak tentang tulisan zaman Majapahit, masih belum percaya diri untuk mengungkapkan kalau sebenarnya dirinya cukup fasih dengan bahasa Jawa Kuno. Bahasa yang kemudian digunakan sejak sekitar tahun 700-an masehi. “Ye... kan biar beda,” cibir Hildan. Dewi melirik sini temannya ini. “Iya, tapi kalau gue ada kesalahan pasti bakal diketawain netizen satu Indonesia raya!” Hildan mendengus saja karena menurutnya temannya ini salah satu orang yang cerdas. Sejak mengenal aksara Jawa saat SMP kemudian bersama ayahnya mempelajari banyak bahasa dan tulisan kuno. Dia saja tidak paham kalau ternyata aksara Jawa yang sekarang itu turunan aksara Brahmi yang familiar kita kenal dari India. Dewi berkata kalau aksara Brahmi kemudian mempunyai keturunan aksara Pallawa, aksara Kawi, lalu kemudian akrasa Jawa. Aksara Jawa yang sekarang pun tidak sama dengan yang dulu. Dan dengan semua keahliannya itu, Dewi akhirnya memilih masuk jurusan Sastra Jawa di salah satu kampus ternama di Depok. Sedangkan dirinya masuk jurusan Farmasi yang entah kenapa dia pilih. Tapi sejauh ini dia menikmati kuliahnya. “Nggak lah... lo harusnya bisa bikin tuh vlog atau vide-video di t****k soal belajar membaca naskah kuno, jadinya makin banyak yang tahu,” kata Hildan. Karena menurutnya Dewi ini salah satu manusia keren karena bisa membaca tulisan di masa lalu. Dewi saja yang tidak tahu kalau dia keren saking pecicilannya dia. Namun Dewi menggeleng, dia tidak tahu harus mulai dari mana kalau disuruh membuat seperti itu. Walau di akun instagramnya dia aktif membagikan foto-foto saat dia mengunjungi tempat bersejarah, menjelaskan bagaimana sejarah tersebut. Dia amat bangga untuk bisa mengetahui masa lalu. Seperti melakukan perjalanan waktu walau cuma dalam imajinasi. Mana ada Time Travel, kan? Itu cuma fiksi. Walau Dewi berharap itu betulan ada. Karena dia amat penasaran dengan apa yang terjadi pada Majapahit di masa lalu. Kerajaan besar di Indonesia namun seperti hilang entah ke mana dan hanya menyisakan sebagian kecil peninggalannya. Salah satu kerajaan yang paling membuatnya penasaran untuk dia pelajari sampai kemudian dia sangat tertarik dengan sejarah. Masuk kuliah pun di jurusan Sastra Jawa yang untungnya diperbolehkan kedua orang tuanya yang cukup terbuka untuk membiarkan ketiga anaknya memilih apa yang mereka sukai, asal itu baik dan mau mempertanggung jawabkan pilihannya. “Nanti deh kalau gue udah cukup mumpuni. Gue bakal kasih tahu ke seluruh dunia gimana kerennya sejarah Kerajaan negara kita!” kata Dewi berapi-api. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD