Vanilla Gagal

1681 Words
Dilain hari, Vanilla memberanikan diri kembali ke rumah itu tanpa sepengetahuan bibinya. Ia bersikeras memberikan kabar kesehatan bibinya pada mantan suaminya, atau anaknya. Ia pikir anaknya perlu tahu bagaimana kondisi ibunya. “Sudah saya bilang kalau tuan tidak ada di rumah. Dia sedang ke luar negeri.” Wanita yang kemarin ditemui Vanilla kembali membuka gerbang, tapi tidak juga mempersilahkannya masuk. “Kalau begitu, saya mau bertemu anaknya.” Gadis itu mengatakan dengan sungguh-sungguh. Sama sekali tidak ingin gagal kali ini. Ia tahu hal itu perlu ia jelaskan dengan anak itu. “Dia tidak bisa diganggu.” tegasnya. Ia jelas tidak bisa membiarkan sembarangan orang masuk ke dalam rumah. “Tolong, Bu, sebentar saja. Saya janji tidak akan lama.” “Memangnya kamu siapa? Saya pikir dia tidak mengenali kamu karena kemarin…” Wanita paruh baya itu menggantungkan kalimatnya. Tidak sampai hati mengatakan gadis itu seperti pengemis. “Saya tahu, Bu. Makanya saya mohon. Izinkan saya bertemu biar saya bisa jelaskan siapa saya.” Vanilla terus memohon sambil berusaha mencuri pandang ke dalam rumah. Matanya membulat saat melihat orang yang dicarinya baru saja masuk ke mobilnya. Dalam hitungan sangat cepat, mobil itu keluar dari gerbang dan Vanilla hanya bisa menatap wajah pria berkacamata hitam dalam mobil itu melaju menyapu pandangannya. “Percuma, Nona. Dia tidak punya waktu untuk sesuatu yang tidak penting.” Gadis itu masih berdiri di sana saat wanita paruh baya itu menutup gerbang. Ia menunduk dan merasakan angin yang mungkin bisa dalam sekejap merobohkan tubuhnya. Ia kembali ke rumahnya dengan tangan kosong untuk kedua kalinya. Ia tidak berhasil membawa apapun untuk menyelamatkan bibinya. Ia sampai di rumah dan langsung dikejutkan dengan telepon dari kantor bibinya yang mengabarkan bahwa bibinya sedang dilarikan ke rumah sakit. Tanpa pikir panjang, ia langsung melarikan diri menuju rumah sakit yang diinformasikan melalui telepon. Ia langsung melesat menuju kamar perawatan tanpa memedulikan sekitarnya. Ia menabrak semua orang yang menghalangi jalannya dan mendengar mereka memaki dengan keras. Ia menelan semua makian itu dan tetap dengan langkahnya yang tergesa-gesa. “Bagaimana keadaannya?” Vanilla mendekati teman bibinya yang berdiri di depan ruangan. Ia melirik ke dalam dan menangis melihat dokter yang sedang memeriksa pasiennya. Nina, yang juga melihat keadaan temannya langsung memeluk gadis itu, mencoba memberikan ketenangan pada gadis itu. “Bibi kamu pasti baik-baik saja.” katanya sambil mengelus pundak gadis itu pelan. Vanilla tidak sanggup mengatakan apapun. Ia melihat dokter itu mendekati pintu hingga akhirnya berdiri di depannya. “Bibi kamu harus secepatnya mendapatkan donor ginjal yang cocok. Ginjalnya sudah tidak berfungsi dan cuci darah bukan solusi yang baik.” “Tapi, dok, bukankah dokter menganjurkan cuci darah untuk bibi saya?” “Iya, tapi transplantasi ginjal jauh lebih baik daripada cuci darah. Sayangnya kita belum mendapatkan donor yang cocok. Makanya saya berharap anda bisa menemui salah satu keluarga untuk membantu.” Vanilla terduduk lemas di samping ranjang rumah sakit. Dilihatnya wajah wanita yang begitu berjasa dalam hidupnya. Wanita itu tersenyum lemah dengan wajah pucat pasi. Menggetarkan tiap inci tubuh Vanilla. Ia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Bagaimana hidupnya kalau Tuhan kembali mengambil paksa wanita itu. “Aku baik-baik saja, Vanilla.” Wanita itu bergumam pelan, nyaris tak terdengar oleh gadis yang duduk di sebelahnya. “Vanilla janji Vanilla akan terus menemani Bibi. Bibi tidak perlu bekerja lagi. Biar Vanilla yang mencari pekerjaan.” Wanita di atas ranjang itu menggeleng pelan. “Kamu harus tetap sekolah, Vanilla. Bibi ingin melihatmu menjadi orang yang berhasil suatu saat nanti. Bibi sudah siap. Dan kalau memang itu terjadi dalam waktu dekat, Bibi hanya punya satu pesan untukmu. Tolong kamu buka laci meja di samping ranjang Bibi, dan yang pasti tolong maafkan semua kesalahan Bibi di masa lalu.” Saat itu air mata kembali mengalir di pipi gadis itu. Ia buru-buru menggeleng, sama sekali tidak ingin menghadapi kenyataan itu. “Bibi pasti sembuh. Vanilla yakin.” Malam itu, setelah melihat bibinya tertidur lelap. Vanilla berjalan keluar. Hujan gerimis sudah mulai bersahut-sahutan dengan angin yang menggoyang-goyangkan dahan pohon. Ia tidak melihat jalan lain selain memohon anak itu agar bersedia mendonorkan ginjal untuk bibinya, yang tidak lain adalah ibunya. Saat sampai di depan gerbang itu, hujan turun lebih deras dan dalam sekejap membuat tubuhnya basah kuyup. Tapi ia tidak boleh mundur, demi kelangsungan hidup satu-satunya keluarganya. Ia memencet bel dan tak lama seorang pria berpakaian security keluar dengan membawa payung hitam. Pria itu refleks mengarahkan payungnya ke atas kepala Vanilla sehingga gadis itu bisa merasakan tetesan air hujan tidak lagi menyentuh tubuhnya. “Ada yang bisa saya bantu, Nak?” Vanilla bisa melihat raut kasihan dalam tatapan mata pria itu. Sorot di mata pria itu memberikan secercah harapan untuknya. “Saya… mau bertemu pemilik rumah, Pak.” Ia menjilat bibir bawahnya saat merasakan sekujur tubuhnya mulai menggigil. “Tuan Alex maksudnya?” gadis itu buru-buru mengangguk. Ya. Alex, itu nama mantan suami bibinya. “tapi Tuan sedang berada di luar negeri.” “Kalau begitu saya ingin bertemu dengan anaknya.” “Anaknya?” Vanilla lagi-lagi mengangguk seakan sudah tidak kuat untuk berbicara lagi. Tubuhnya semakin menggigil karena kedinginan dan entah berapa lama lagi ia sanggup berdiri. Dan saat security bilang bahwa anaknya belum juga pulang, kakinya mulai lemas dan tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Pandangannya mulai kabur hingga akhirnya tidak sadarkan diri. *** Vanilla terbangun dengan rasa pusing di kepalanya. Di sebuah ranjang empuk dengan selimut putih selembut sutera. Ia mengusap-usap matanya dan memusatkan pengelihatannya. Ingatan kejadian semalam berputar di otak kecilnya. Ia memindai sekeliling. Kamar itu besar dengan cat putih nyaris tanpa noda. Di samping kanan ada sebuah lemari baju besar sedangkan diujung ruangan ada meja rias dengan cermin besar yang memantulkan sosok dirinya. Ia turun dari ranjang dan langsung sadar bahwa ia sudah berganti baju. Kini ia mengenakan kemeja putih kebesaran dan sebuah celana kanvas warna khaki. Saat itu juga jantungnya berdegup kencang. Semua pikiran-pikiran buruk berkelebat dalam otak kecilnya. Ia segera menenangkan diri dan mengelilingi kamar itu untuk mencari keberadaan baju dan celana jeans miliknya. Karena tak menemukannya, ia akhirnya keluar dari kamar. Sepi menyelimutinya saat ia keluar dari kamar itu. Ia menuruni tangga dan menemukan telepon genggamnya di atas meja di ruang tamu, bersama dengan setelan pakaiannya. Setengah berlari, ia menghampiri meja dan mengambil ponselnyaIa melihat ada dua puluh dua panggilan tak terjawab dari nomor rumah sakit “Kamu sudah bangun?” suara membuat Vanilla menoleh dan melihat wanita yang dua kali membukakan gerbang berdiri tak tauh dari tempatnya berdiri. “Maaf karena sudah merepotkan anda.” Ia sedikit menunduk karena merasa tidak enak. “Sudah saya bilang kalau keluarga ini tidak punya waktu untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting.” kata wanita itu. “Tapi ini penting, Bu, ini menyangkut hidup salah satu keluarga saya.” kata Vanilla dengan nada tidak ingin kalah. “Kamu boleh pergi sekarang.” Suara itu membuat mata Vanilla dan wanita paruh baya di depannya menoleh. Vanilla menatap asal suara dan saat pandangannya kembali, entah sejak kapan wanita paruh baya itu menghilang dari pandangannya. “Saya… saya hanya butuh waktu sebentar.” Laki-laki itu duduk membelakanginya, di sofa agak jauh dari tempatnya berdiri dan sama sekali tidak menoleh. Padahal, Vanilla ingin sekali melihat wajahnya. Ingin melihat wajah yang kemarin merendahkannya dengan uang lima ribuan. “Bukankah kamu pengemis yang kemarin? Aku sudah berbaik hati meminjamkan salah satu kamar di rumah ini untuk menampungmu. Apa kamu tidak mau berterima kasih?” katanya dengan nada dingin. “Terima kasih.” lirih Vanilla. “Bagus… sekarang kamu boleh pergi.” katanya lagi “Tapi, aku belum mengatakan niatku datang kesini.” Vanilla masih bertahan diposisinya. Sama sekali tidak ingin mendekat, apalagi menuruti perintah pria itu unutk pergi. Ini adalah kesempatannya yang terakhir. “Bukannya kamu pengemis?” Vanilla berusaha menahan amarah yang mulai marambat naik ke ubun-ubunya. “Apa anda tahu kalau ayah anda mempunyai mantan istri yang dia tinggalkan belasan tahun lalu.” Laki-laki itu diam, sama sekali tidak bergerak maupun menganggapi kata-kata Vanilla. Vanilla melanjutkan “mantan istri ayah anda adalah bibi saya, dan sekarang dia sedang sakit dan membutuhkan pertolongan.” “Kamu butuh uang? Berapa? Apa harus dengan menyebarkan berita murahan seperti itu?” “Tidak…tidak... aku tidak bohong. Ini serius, dan ayah anda membawa anaknya turut bersamanya sebulan setelah anak itu dilahirkan bibi saya.” Laki-laki itu tertawa, walau masih belum juga membalikan badan. “Saya satu-satunya anak dikeluarga ini. Lalu kamu mau bilang kalau saya anak dari bibimu?” “Bibiku menderita gagal ginjal dan dia membutuhkan transplantasi ginjal secepatnya.” Suara Vanilla mulai gemetar di antara pertempuran batinnya. “Dasar penipu ulung. Kamu pikir saya mau begitu saja percaya. Berapa uang yang kamu butuhkan?” Laki-laki itu mulai berdiri, tapi tidak membalik badan. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet. Ia mengambil semua lembar uang seratus ribuan yang ada di dalamnya dan dengan pongahnya melemparkannya ke nakas yang ada di sebelahnya. “Bawa semua uang itu dan jangan ganggu keluargaku.” Laki-laki itu melenggang santai tanpa menoleh sedikitpun. Bibir gadis itu gemetar dan sebutir air mata menetes dari mata indahnya. “Saya tidak menyangka kalau orang berpendidikan seperti anda sama sekali tidak bisa menghargai seseorang.” Vanilla merasakan tangannya mulai dingin. Antara takut dan marah. Tapi kata-katanya ampuh membuat pria itu berhenti walau tidak juga menoleh. “Saya bukan pengemis. Saya datang kesini hanya untuk memberikan kabar tentang apa yang terjadi dengan bibi saya, yang tak lain adalah mantan istri dari ayah anda.” Vanilla merogoh saku di celananya yang terlipat rapi di atas meja. Ia mengeluarkan selembar uang lima ribuan pemberian laki-laki itu tempo hari dan berjalan pelan mendekati laki-laki itu. Ia berdiri di samping meja tempat pria itu menjatuhkan beberapa lembar uang seratus ribuan. “saya kembalikan uang yang kemarin, karena saya bukan pengemis.” ia menaruh uang lima ribuan itu di atas lembaran uang merah di atas meja. Vanilla gagal. Ia membalik badan dan menjauh. Beberapa detik kemudian, laki-laki itu membalik badan dan melihat punggung Vanilla menjauhinya. Dilihatnya uang lima ribuan di atas tumpukan yang ia yakin sama sekali tidak disentuh oleh gadis itu. Kalau bukan uang, apa yang ia mau? Bukankah ia mencari uang makanya membuat cerita murahan seperti itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD