"Baiklah, aku tahu kalau apa yang akan aku lakukan saat ini adalah hal yang tidak bisa dimaafkan." Seorang gadis nampak tengah sibuk melepas sepatu yang masih terpasang di kedua kakinya. Sesekali ia melongokkan kepala ke bawah, tepat ke bawah jembatan di mana ia berdiri. "Apa itu dalam? Apa airnya dingin? Apa aku akan langsung mati saat terjun ke sana?" ia sedang menimbang-nimbang.
Jika dilihat dari permukaan air dan permukaan daratan di sekitarnya, gadis ini yakin kalau sungai di bawah sana sangat dalam karena sama sekali tidak ada satupun bebatuan yang nampak di permukaan. Setidaknya ketika ia terjun dari atas jembatan, badannya tidak akan merasakan sakit yang parah karena membentur bebatuan.
"Mama, maafkan Chika." ucapnya lirih, setelah sepatu lenyap dari kedua kakinya, gadis itu lekas memanjat ke atas pembatas jembatan. "Chika tahu ini keputusan yang salah, tapi ... Chika benar-benar tidak bisa hidup seperti ini-"
Dalam kepalanya jelas masih ingat bahwa beberapa minggu lalu semuanya masih terlihat normal. Dia masih bisa berangkat ke kampus dengan perasaan aman, masih memiliki tempat tinggal walau sang Ayah jarang pulang dan tentu saja saat itu Nate masih ada di sisinya.
Seperti kata pepatah, dunia ini bagaikan sebuah roda. Ketika kau lengah, maka semuanya akan berakhir. Kau akan terlempar ke bawah, tergilas roda yang bergesekan dengan kerasnya aspal hingga rasa sakitnya tidak tertahankan. Sekarang kehidupan Chika yang seperti tuan puteri sudah tidak ada, jangankan uang, tempat tinggal pun sekarang tidak punya.
Daripada tertangkap oleh debt collector lalu dijadikan wanita penghibur, Chika lebih baik memilih untuk mengakhiri hidupnya saja saat ini. Chika memejamkan mata saat angin menerpa wajahnya. Tangannya yang semula terkepal kini mulai terentang, ia sedang menyambut angin untuk memeluk tubuhnya kemudian membawanya terjun ke bawah. Ya, sebentar lagi semua rasa sakit dan beban yang ia pikul di pundak akan berakhir.
"Ayo akhiri semuanya, Chika." gumamnya seraya merentangkat tangan, ia kemudian memejamkan mata, bibir pucatnya mengukir senyum. "Satu ... Dua ..." ia mulai menghitung mundur, "Tig—"
"Apa yang akan kau lakukan!"
Satu hal yang Chika ingat sebelum tubuhnya jatuh ke air yang dingin adalah sepasang mata berwarna kelam yang begitu tajam.