LEMBAR 14

1093 Words
Haikal ini orangnya gimana ya ? Kata orang, Haikal tidak selalu tersenyum seperti yang dia lakukan pada Ariska sekarang. Haikal malah terkesan cuek pada gadis - gadis di fakultasnya. Tapi Ariska tidak berhasil membuktikan jika pernyataan itu benar. Ariska melihat Haikal yang seperti ini sudah membuktikan jika fakta yang ia dengar dari orang lain tentang Haikal itu salah. Ariska mengangguk membalas senyuman Haikal. “Tapi ini beneran ‘kan ini bakal di pajang ?” Haikal tersenyum, “Ris, lo ga percaya sama gue ?” Dengan cepat Ariska menggeleng. Dia bukannya tidak percaya pada Haikal. Hanya saja, dirinya tidak percaya jika lukisannya akan di pajang di pameran. Yang tempatnya di pameran seni yang Ariska bahkan hanya beberapa kali memasuki ruang ke ruang di pameran seni. Ah tidak. Bukan pemaran tapi galeri seni. Ariska merasa tidak salah jika menyebut kalau galeri seni itu museum. Karena menurutnya, seni dari seseorang itu bisa jadi langka. Hehe. Setiap seni. Jika di buat dua kali. Hasilnya mungkin sama. Tapi maknanya akan berbeda. Hanya karena perasaan pelukis, akan berbeda jika di suruh membuat dua lukisan dengan tema yang sama. Seorang dengan seni pasti mengerti. Seperti perasaan. Jika perasaan tetap sama dari waktu ke waktu, maka tidak akan ada konflik dalam perasaan. Dan konflik itu di perlukan untuk membuat kita belajar. Belajar memahami, jika dengan adanya konflik kita bisa memperbaiki diri. Tidak ada konflik ? Itu terasa semuanya datar. Tidak ada turun naik gelombang. Tidak ada turun naik oktaf. Bahkan tidak ada turun naik perasaan. “Lo bisa bawa ini pake motor ? Ini gede loh, Kal.” Kata Ariska begitu melihat motor Haikal adalah motor gede yang bahkan mungkin tidak akan tahu di bawa seperti apa lukisannya nanti. Haikal menatap Ariska kemudian mengangguk dan menjawab bisa. “Tenang lukisan lo bakal aman sampe besok.” Katanya kemudian mengaitkan tali yang dirancang khusus untuk membawa kanvas besar. Bagian atas dan bawah aknvas tersebut di jepit oleh jepitan yang tersabung kepada tali itu dan pada akhirnya, kanvas itu bisa digendong. Ariska tersenyum kecil begitu melihal Haikal yang membawa lukisannya dengan penuh kehati – hatian menaiki motor gedenya. “Hati – hati, Kal.” Haikal mengangguk. Sebelum memakai helmnya, Haikal sempat bertanya pada Ariska, “kata hati – hati lo itu buat gue atau buat lukisan lo ?” Seketika Ariska berfikir keras. Benar juga, untuk siapa kata – kata itu ditujukan Ariska tadi ? Melihat respon Ariska yang tidak ada jawaban yang berarti, Haikal terkekeh. “Gue anggap buat gue, boleh ‘kan ?” Ariska mengangguk dengan polosnya, “hati – hati di jalan, Haikal.” Hailkal mengangguk, “sampai jumpa besok di galeri.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Pameran seni di adakan hari ini. Ariska sempat gugup sebentar hari itu. Kalau saja bukan Iqsa menenangkannya lewat telpon tadi pagi mungkin semuanya tidak akan berjalan dengan lancar. Iya. Iqsa tidak bisa datang karena urusan pekerjaannya. Lagi. Haikal yang menjadi sumber informasi untuk orang - orang yang datang menghubungi Ariska jikalau lukisannya ada di paling depan. Dan benar saja. Ketika dia bertemu dengan Haikal di depan galeri seni, Haikal langsung menunjukkan pintu masuknya. Dan saat Ariska sampai di pintu masuk, dia kaget. Lukisannya terpajang cantik di sana. Dengan bingkai kayu berwarna emas sangat cocok dengan lukisan di dalamnya. Hampir saja Ariska menangis melihat karya pertamanya terpajang disana, Raniya menjerit di dekatnya. “Gue yang ambil foto duluan sama lukisan lo. Foto resmi,” katanya buru – buru mengambil posisi untuk di potret. Namun saat Raniya memberikan ponselnya pada Ariska, Haikal menahannya. Menahan Raniya untuk tidak berpose di sana. “Yang pertama mengambil foto harusnya pelukis aslinya,” kata Haikal yang sudah menatap Ariska lembut dan sedikit tatapan bangga. Ariska tidak kuat untuk tidak memeluk Haikal. Tapi tentu saja Ariska menahannya. Lagian. Haikal ini bukan tipe yang suka di peluk. Menurut Ariska. “Thank you so much, Kal. Gue ga nyangka lukisan gue lo pajang di depan kayak gini,” kata Ariska meluapkan rasa terima kasihnya pada Haikal yang sudah sangat bangga terhadap Ariska. Haikal menggeleng, “bukan gue, Ris. Tim seni yang milih lukisan lo buat berada di pembukaan jalan yang terlintasi karpet merah.” Jawab Haikal. Ariska bisa saja memeluk Haikal jika tidak ada perasaan bersalah pada Iqsa. Untung saja ada pemberitahuan jika galery akan di buka lima menit lagi. Setidaknya, Ariska tidak berbuat kesalahan untuk dirinya sendiri dan tentu saja untuk Haikal. “Sana cepet pose. Gue fotoin.” Haikal mengeluarkan ponselnya dan tentu saja memberitahu Ariska untuk berpose dengan baik di depan lukisan terbaiknya. Setelah itu, Ariska bertanya pada Haikal tentang masalah siapapun nanti yang akan membeli lukisannya. “Sebenernya, gue ga berniat ngejual lukisannya. Apa lo bisa mempertahannya ?” Tanya Ariska pada Haikal . Haikal mengangguk, “gue bakal usahain semampu gue. Yang terpenting, kita nanti bisa lihat pujian atau kritikan untuk lukisan pertama lo yang di publikasi.” Kata Haikal. Ariska mengangguk, “kalo gitu sampai ketemu pas galeri di tutup.” Kata Ariska kemudian pamit setelah Raniya mati gaya karena berbagai posisi yang sudah di coba untuk berfoto dengan lukisan Ariska. “Eh, biasanya Haikal itu dingin sama setiap cewek.” Kata Raniya setelah agak menjauh dari Haikal, “kok sama lo jadi kayak hangat gitu ya orangnya ?” Ariska sedikit mengerutkan keningnya, “ga ngerti gue.” Jawab Ariska sambil terus berjalan melihat – lihat lukisan yang di buat oleh beberapa orang lainnya, “dia selalu begitu sama gue.” Lanjut Ariksa. Kemudian langkah kakinya berhenti ketika Raniya menahan Ariska untuk tidak melanjutkan perjalanannya. Ariska kini menatap Raniya dengan tatapan bertanya kenapa. “Gimana kalo Haikal suka sama lo ?” Ariska diam sebentar dan selanjutnya tertawa, “hah ? Ga mungkin lah seorang Haikal suka sama gue .” Kata Ariska kemudian melanjutkan perjalanannya meninggalkan Raniya yang masih tengah berfikir. “Ya siapa yang tau ?” Ariska kini menatap Raniya yang sudah menyusulnya menjadi berjalan di sampingnya, “kenapa juga lo menyimpulkan hal itu sedangkan lo ga tau apa – apa tentang Haikal ?” Raniya mendesah pelan, “gue tau kalo Haikal itu cowok dingin, cuek sama orang lain, irit bicara dan juga sangat tidak bisa tersenyum secara sukarela.” Ariska mengangguk, “terus ?” “Ya dia gitu ga sama lo ?” Ariska berfikir, “enggak tuh.” “Yak an. Gue udah bilang kalo Haikal suka sama lo.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD