“Baiklah, aku tu....”
“Tunggu!” Mela berteriak. Lalu...
“Aku Mela, aku butuh bantuan mu.”
“Mela?!” Suara pria di seberang sana berhenti sebentar, lalu...
“Ma-maksud ku, ini Bu Mela?” tanyanya lagi.
“Iya, aku butuh bantuanmu, Andri!” ujar Mela kemudian.
“Butuh bantuan apa Bu? Bagaimana keadaan Ibu? Maaf... aku belum menjenguk Ibu, apa Ibu masih di rumah sakit?” cecar Andri dengan berbagai pertanyaan.
Mela membuang nafasnya, pria itu masih banyak bicara padahal ini bukan waktunya untuk berbasa basi.
“Andri....”
“Ya, Bu.”
“Antarkan aku ke makam Mas Rayan,” pinta Mela.
Andri diam, ia tidak menjawab permintaan Mela.
“Andri, jika kau tidak bisa mengantarkan, katakan... dimana Mas Rayan di kuburkan, aku ingin mengunjunginya," lanjut Mela.
“Ma-af, Bu...,” jawab Andri pelan.
Mela kembali menarik nafas, ia kecewa karena Andri tidak bisa membantunya. Andri adalah satu-satunya yang mungkin bisa membantu Mela untuk hal ini. Dalam kondisinya sekarang, tidak memungkinkan untuk Mela datang ke rumah Maya dan menanyakan dimana Rayan di kuburkan. Ia sudah pasti tidak diterima di rumah itu, sama dengan waktu sebelum terjadi kecelakaan, mereka di tolak oleh security yang menjaga rumah Maya.
Andri adalah salah satu Office boy yang bekerja di Rayan’s Studio. Mela kebetulan menyimpan nomor ponselnya karena waktu itu Rayan pernah menyuruh Andri untuk membelikan dan mengantarkan makan siang untuk Mela.
“Kenapa? Kenapa kau tidak mau mengatakan?” tanya Mela dengan suara bergetar.
“Aku hanya ingin tau tempatnya, aku tidak minta di antarkan,” ucap Mela lagi.
“Kami... kami di larang untuk memberitahu Ibu,” jawab Andri terus terang.
Sudah Mela duga, larangan untuk memberi tahu dirinya adalah kemungkinan terbesar. Sebesar itukah rasa benci keluarga Rayan kepadanya? Sampai tempat Rayan dikubur saja mereka tidak memperbolehkan Mela untuk mengetahuinya? Tanpa sadar Mela menangis terisak...
“Aku sudah menikah dengan Mas Rayan sehari sebelum kecelakaan itu. Kau tau, ‘kan? Kalian semua di Rayan’s Studio hadir menyaksikan pernikahan kami. Aku istrinya... kenapa aku tidak boleh mengetahui dimana suami aku dikubur? Aku punya hak untuk tau... apa salahku hingga kalian semua tutup mulut? Apa salahku?” tanpa Mela sadari ia meratap memohon pada Andri yang membuat pemuda itu merasa tidak enak di seberang sana.
“Pak Reyno yang memerintahkan kami, kalau kami bicara maka kami akan di pecat. Maafkan aku, Bu,” ucap Andri memberitahu.
“Demi rasa kemanusiaan, tolooong.... aku mohon padamu," Mela memelas dengan membawa rasa kemanusiaan.
Terdengar desahan di seberang sana, Mela tau jika Andri sedang dalam kebimbangan. Ia lalu memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.
“Aku berjanji tidak akan melibatkan mu, kau percaya kepadaku, ‘kan?” bujuk Mela lagi.
“Baiklah... Pak Rayan dikubur di....” Andri menyebutkan tempat Rayan di kubur.
"Terima kasih."
Mela menutup ponselnya setelah mengucapkan terima kasih pada Andri karena telah memberi tahu tempat Rayan dikubur, sebelum itu ia meyakinkan kembali jika ia tidak akan melibatkan Andri jika suatu saat ia ketahuan telah mengunjungi makam Rayan. Mela membuat Andri merasa lega dan tidak perlu khawatir jika di pecat suatu hari nanti karena hal ini.
Mela meraih tas kecil lalu memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam sana. Ada waktu sekitar empat jam lebih sebelum jam makan siang. Ia ingin memanfaatkan waktu ini untuk mengunjungi makam Rayan sebelum Rusdi pulang ke rumah.
Dengan langkah yang masih tertatih, Mela melangkah ke luar menunggu taxi online yang sudah ia pesan sebelumnya.
**
Taxi yang membawa Mela ke area pemakaman berjalan pelan untuk mencari tempat parkir. Mela meminta sopir taxi tersebut untuk menunggu ia selama mengunjungi makam Rayan dan membawa Mela kembali untuk pulang ke rumah. Ini akan memudahkan Mela untuk mencari tumpangan dan menghemat waktunya juga, tidak masalah jika Mela harus membayar lebih untuk itu.
“Tunggu sebentar, ya, Pak!” ucap Mela setelah pengemudi taxi tersebut mematikan mesin mobil.
“Baik, Buk,” jawab pengemudi taxi tersebut sambil mengangguk.
Mela berjalan pelan di jalan setapak menuju makam Rayan, pandangan matanya mengitari seluruh nisan yang ia lewati mencari-cari nama Rayan di sana. Jantungnya berdebar, detaknya jauh lebih cepat dari biasanya. Mela berdoa, semoga ia bisa kuat ketika nantinya.
Mela menghentikan langkah ketika netranya menangkap nisan yang bertuliskan nama Rayan. Tatapannya lurus kesana tanpa kedip, instingnya langsung menangkap jika benar yang terbaring di dalam sana adalah kekasih hatinya, Rayan.
Mereka tidak berbohong, ini ternyata nyata. Kenapa mereka tidak berbohong saja?
Mela menjerit di dalam hati. Entahlah! Saat ini, Mela lebih suka mereka semua berbohong kepadanya tentang kematian Rayan. Mela rela di bohongi asalkan Rayan-nya tetap hidup. Mela rela dipisahkan asalkan Rayan-nya tidak tidur di bawah sana. Mela akan bersabar sampai Maya merestui mereka, Biarlah... Mela mau menunggu sampai kapanpun, bahkan sampai rambutnya memutih Mela mau menunggu restu Maya. Mela akan menunggu...
“Mas Rayaaan,” Mela terduduk lemas di samping pusara Rayan, air matanya luruh bersama dengan isakan yang keluar dari mulutnya.
“Mas Rayaaan, kenapa Mas meninggalkan aku? Mas sudah berjanji... kita akan sama-sama berjuang untuk mendapatkan restu Mama. Aku sudah berjanji akan mendukung Mas dan akan selalu berada di samping Mas. Kita sama-sama berjanji untuk tetap bersama dengan cinta yang kita miliki. Kenapa Mas memilih untuk pergi meninggalkan aku?”
Mela mengusap nisan Rayan dengan kedua tangannya. Ia terus menyebut-nyebut nama Rayan dan mengungkapkan penyesalannya karena Rayan tega meninggalkan dirinya padahal mereka baru saja menikah. Beberapa menit kemudian, Mela merasa kepalanya pusing, lalu tubuhnya mulai melayang dan ringan. Mela pingsan di samping makam Rayan.
**
Rusdi berdiri dengan gelisah di ruang tamu rumah mereka. Ia tadi pulang untuk makan siang dan melihat keadaan Mela yang belum terlalu pulih. Di tempat kerja tadi pikirannya selalu tertuju pada Mela dan perasaannya tidak enak karena terlalu memikirkan anaknya itu. Ternyata yang ia rasakan itu benar, Mela tidak ada di rumah dan ia tidak bisa menghubunginya.
Rusdi mengambil piring nasi goreng yang masih tersisa, dan membawanya ke belakang. Hatinya semakin cemas karena Mela pergi dengan perut yang masih kosong. Pria itu menerka-nerka kemana Mela pergi.
“Rumah Bu Maya,” gumam Rusdi.
Rusdi meraih kunci motor yang terletak di atas meja dan berniat untuk mencari Mela ke rumah Maya. Hanya tempat itu yang mungkin akan dikunjungi Mela. Rusdi yakin Mela pasti mengunjungi Maya karena ia ingin tau cerita tentang Rayan, yang selama ini Rusdi sendiri tidak mau menceritakannya pada Mela.
Ketika Rusdi hendak meghidupkan mesin motornya, sebuah taxi berhenti tepat di depan rumah mereka. Rusdi segera mengejar taxi tersebut karena mengira yang datang pasti Mela. Sopir taxi keluar dan membuka pintu belakang, ia memanggil Rusdi untuk segera mendekat.
“Wanita ini tadi naik dari sini, ia meminta aku untuk mengantarnya ke pemakaman. Aku sudah menunggunya lama dan hampir saja meninggalkannya di sana.” Si pengemudi taxi menjelaskan. Ia lalu melanjutkan ucapannya ketika Rusdi sudah berada di sampingnya.
“Ia aku temukan pingsan di salah satu makam di sana, dan aku putuskan untuk membawanya kembali ke sini,” ucapnya lagi.
Rusdi memandangi perempuan yang di tunjuk oleh pengemudi taxi tersebut.
“Dia anakku,” ujar Rusdi cepat.