3. After Party

1802 Words
Dengan penampilan berbeda, Tristan menarik perhatian banyak orang yang dia lewati. Tubuhnya tegapnya yang memiliki tinggi hampir 190 centi meter ini mencolok dari kejauhan. Bahunya lebar dan otot lengannya tampak tidak bisa disembunyikan di balik jas merah maroon yang dia kenakan. Demi menemui Karina, Tristan rela dirinya didandani sedemikian rupa oleh Anwar yang memang lebih sering berpenampilan modis ketimbang dirinya. Mulai dari pakaian berupa setelan jas berwarna merah maroon, hingga lensa kontak warna cokelat, menjadi sangat cocok untuk Tristan. “Elo cocok juga jadi model, Bang. Sayangnya kagak mudeng sama mode, ckckck!” decak Anwar sambil mengamati penampilan Tristan dengan saksama. Tristan hanya menghela napas lelah. Sudah satu jam dia menghabiskan waktu hanya untuk berpakaian. Tadinya Anwar ingin memakaikannya jas warna abu, tapi karena terlalu biasa, Anwar kemudian menggantinya dengan warna yang sedikit mencolok bagi Tristan. Rambut Tristan yang biasanya hanya didiamkan menutupi dahinya dan tidak pernah ditata, kini dinaikkan hingga dahinya terlihat jelas. Bisa Tristan lihat sendiri bagaimana rupa wajahnya menjadi sangat berbeda hanya karena perubahan model rambut. Kacamata yang selama ini menemaninya disetiap keadaan, diganti dengan lensa kontak yang jarang dirinya gunakan. Hanya pada saat tertentu saja dirinya memakai benda ini. “Ganteng banget lo, Bang. Kalau elo dandan kaya gini ke kantor, gue jamin elo bakal dapet dukungan dari karyawan cewek! Ini bisa jadi langgkah jitu buat nguatin jabatan elo!” ujar Anwar memberikan ide dengan semangat. Tapi Tristan tampak tidak setuju. Dia tidak terlalu suka menghabiskan waktu untuk berdandan seperti ini. Dia juga tidak mau repot memilih lalu memadu padankan pakaiannya. Dia lebih suka berpenampilan apa adanya karena memang waktunya habis untuk melakukan penelitian. “No. Kalau gue begini tiap hari, yang ada seri ponsel kita nggak akan rilis tahun depan,” tolak Tristan. Langkah kaki Tristan mengayun dengan biasa saja, tapi tampak itu bisa membuat wanita yang dia lewati terpesona. Namun Tristan tidak menyadarinya karena memang dia sedang berjalan santai dengan sebuah peta tempat acara digelar di tangan kiri, sedangkan di tangan kanan tengah memegang ponsel karena dirinya sednag menghubungi Anwar. “Nanti elo kasih kabar apa gue bisa dapet tiket after party mereka,” titah Tristan pada Anwar lewat sambungan telepon. “Sip, Bang. Selamat menghabiskan waktu untuk cuci mata, yaa...,” ujar Anwar menggoda Tristan yang memang sebentar lagi akan melihat model-model cantik berjalan di catwalk. “Berisik!” balas Tristan dengan galak. Dia kemudian menutup telepon dan berjalan masuk ke dalam tempat acara usai diperiksa oleh petugas. Suara musik yang menghentak langsung menyambut kedatangan Tristan. Lampu menyala temaram menghasilkan suasana seolah tengah berada di club malam. Tempat yang dirinya sendiri baru beberapa kali menyambanginya, kalau bukan untuk menjemput Anwar yang mabuk berat. Satu persatu orang kemudian datang memenuhi aula yang dibentuk melingkar kursinya. Lingkaran itu mengelilingi sebuah runaway dengan cahaya p****g terang. Ada sebuah dinding kaca yang masih ditutupi kain berwarna hitam dengan logo desainer yang karyanya sebentar lagi akan diungkapkan. Kaca mata yang digunakan Tristan dilepas begitu lampu semakin dipadamkan dan musik berganti untuk menandakan acara akan segera dimulai. Satu persatu model mulai keluar dan memeragakan busana yang digunakan oleh mereka. Sementara itu di dalam ruang kaca tadi terdapat orang-orang yang sibuk mendandani model dengan ruangan yang terus berputar. Tristan sedikit bosan melihat ini semua sampai kemudian dia menemukan seorang yang dia kira itu Karina. Perempuan itu menggunakan gaun hitam yang sangat anggun dan memamerkan bagian punggungnya yang terbuka bebas karena rambutnya dibentuk bun. Selama hampir satu menit dalam perhitungan Tristan, Karina berjalan di runaway. Terlihat percaya diri dan sangat profesional meski belum banyak kamera yang mengarah pada Karina saat dia sedang tampil. Tapi menurut Tristan, penampilan cucu dari Briyan Sutoyo ini tidak kalah baiknya dari model yang kemudian berdiri bersama desainer di akhir acara. Wajah cantiknya yang merupakan perpaduan Asia dan Eropa, memiliki aura tersendiri. Bisa dibilang juga Karina sangat seksi karena ukuran dadanya yang cukup besar ketimbang model lainnya. Entah kenapa Tristan mengkhawatirkan gaun Karina akan melorot karena tidak ada tali pengait apapun di pundaknya. Untung saja itu tidak terjadi sampai acara berakhir. “Elo dapet?” tanya Tristan saat Anwar kembali menghubunginya setelah fashion show selesai digelar. “Iya, Bang. Jam 8 nanti after party-nya. Gue udah ada di tempat tadi kita dateng, lo bisa ketemu gue di sini,” jawab Anwar sekaligus memberitahukan posisinya.   ///   “Jadi gimana?” tanya Anwar. Anwar dan Tristan sudah kembali ke hotel yang sudah bersih keadaannya tidak seperti tadi saat mereka akan pergi. Sudah ada makanan yang tertata di meja sesuai permintaan Tristan pada Anwar karena dia benar-benar lapar saat ini, sedangkan tadi dia justru tertidur selama perjalanan menuju hotel. “Hm, memang bener dia. Mereka orang yang sama,” jawab Tristan lalu menyerahkan ponselnya pada Anwar. Anwar segera membuka galeri ponsel Tristan yang merupakan edisi khusus dari perusahaan mereka. Ponsel peninggalan Briyan juga, karena di dalamnya terdapat data-data untuk CEO. “Wow....” Decak kagum langsung keluar dari bibir Anwar begitu melihat bagaimana rupa seorang Karina Rosaling Sutoyo. Tristan akui sendiri kalau Karina memang sangat cantik tadi, dia sampai dibuat terkejut dengan penampilannya yang berbeda jauh ketimbang saat mereka bertemu di bandara. Karena saat itu Karina hanya menggunakan kaus putih longgar dan jeans biru dan rambut yang dikuncir kuda. Tampak polos untuk saat itu, tapi tadi sangatlah seksi. “Bener-bener deh... cucu Pak Briyan memang cantik-cantik banget. Tapi yang ini, gue akui dia yang paling cantik!” kata Anwar dengan matanya yang masih terfokus pada sosok Karina yang tadi Tristan foto saat tampil. “Tapi kayaknya dia belum jadi model terkenal,” ujar Tristan berpendapat. Anwar segera duduk di hadapan Tristan dan mengangguk setuju. “Menurut gue juga iya, Bang. Gue udah cari cukup banyak soal dia dan yang gue dapet ngak banyak soal karir modelnya.” Tristan mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Pengamatannya tadi memang tidak meleset. Tapi sebagai seorang cucu dari pemilik perusahaan teknologi yang besar di dunia, Tristan sangat mengapresiasi kerja keras Karina. Sebab tidak ada jejak yang mengatakan kalau Karina menggunakan kekuasaan kakeknya untuk menanjakkan karirnya. Semua dilakukan perempuan ini secara mandiri, bahkan untuk ikut kelas model, dia bekerja paruh waktu di sela kuliahnya. Sungguh sangat berbeda keadaannya dengan cucu Briyan yang lain. “Oh, iya. Tapi tadi gue dapet info kalau dia udah punya cowok,” cetus Anwar. Tristan menoleh pada asistennya ini dengan alis naik. “Lalu?” Anwar menghela napasnya dengan kasar karena kesal pada atasan sekaligus temannya ini. “Ya kalau dia punya pacar, artinya elo bakal susah ngedeketin dia. Tahu sendiri cucu Pak Briyan yang satu ini beda dari yang lain,” jelas Anwar. “Susah, tapi bakal tetep harus bisa taklukin.”   ///   “Sshh kenapa sangat membosankan.” Sejak tadi Tristan tidak bisa nyaman dan berbaur dalam after party yang dia datangi bersama Anwar. Tapi temannya ini sudah asik bergoyang, melebur bersama orang lain yang menikmati musik DJ di depan sana. Sedangkan dirinya masih duduk di depan bar dnegan minuman yang hanya dia sesap sedikit isinya. Dia meminta Anwar datang menemaninya supaya cepat menemukan Karina, tapi yang ada malah sibuk sendiri dengan dunianya. Kini hanya dirinya yang harus menemukan Karina di antara orang-orang yang memenuhi tempat acara. Jelas orang-orang yang hadir di tempat ini adalah orang yang kaya dan mementingkan mode. Tidak seperti Tristan yang masih menganggap dirinya miskin meski kini dia mendapatkan bagian harta 70 persen dari seorang yang dulu pernah dia tolong. Dan karena harta itulah yang kemudian membuat dirinya dikepung oleh masalah secara terus menerus. Jika boleh, Tristan ingin memberikan semua harta ini pada anak-anak Briyan. Dia tidak mau menjadi objek bahkan target mereka, yang haus akan kekayaan untuk kemudian dijatuhkan sampai harga diri tidak tersisa. Tristan memang takut bila dia akan kembali pada tempatnya semula dengan cara yang tidak baik, dia tidak mau itu terjadi. Maka itu dia harus bisa membujuk Karina untuk menikah dengannya. Cucu Briyan yang ini yang menurut Tristan paling bisa dia ajak kerjasama. Bukan maksud Tristan ingin memanfaatkan, tapi ini semua juga demi kebaikan keberlangsungan perusahaan supaya tidak menjadi kacau karena perebutan kekuasaan. “Itu dia,” gumam Tristan saat menemukan Karina di pintu masuk. Perempuan itu melemparkan senyum dan tawa tapi tampak tidak nyaman. Wajahnya langsung kembali datar juga lesu begitu tidak berpapasan dengan orang lain. Tristan terus memperhatikan langkah yang dibuat Karina yang ternyata menuju arah yang menunjukkan dimana toilet berada. Setelah menaruh gelas berisi whisky ke atas meja bar, Tristan menyusul Karina yang masih berjalan dengan pelan dan menghilang dalam toilet perempuan. Tristan terpaksa menunggu di luar karena dia tidak mungkin mengikuti Karina masuk ke dalam sana. Selama hampir 5 menit Tristan menuggu Karina untuk keluar kembali dengan wajah yang lebih segar. Mungkin karena efek make up yang sudah diperbaiki atau sempat mencuci wajah di dalam sana, tapi yang jelas raut wajah sedih masih tertinggal di mata Karina. Tristan mengetahui itu karena matanya kini terkunci pada bola mata Karina yang menatap ke arahnya. “Permisi,” ucap Karina dengan bahasa Inggris sambil hendak berjalan melewati Tristan yang memang berdiri di tengah jalan. “Karina,” panggil Tristan yang kemudian membuat langkah Karina terhenti dan menoleh pada Tristan. “Anda mengenal saya?” tanya Karina pada Tristan. Namun Tristan tidak mengatakan suatu kata pun sebagai jawaban, sehingga Karina memilih untuk mengabaikan Tristan dan melanjutkan langkahnya kembali. Tapi dia sekali lagi harus berhenti mengayunkan kakinya yang terbalut heels 10 cm berwarna merah ini. Sebab Tristan baru saja memanggil nama lengkapnya yang tidak diketahui banyak orang. “Karina Rosalind Sutoyo,” panggil Tristan lagi. Karina pun kembali membalikkan tubuhnya menghadap pria yang menggunakan setelan hitam dan lebih tinggi sekitar 11 cm darinya ini. Kedua pasang mata mereka kembali bertemu dalam heningnya suasana meski di luar toilet ini ada hingar bingar pesta sedang berlangsung. “Anda siapa? Kenapa anda tahu nama lengkap saya?” tanya Karina langsung. Dia menatap Tristan dengan pandangan meneliti dan juga penuh kewaspadaan. Tristan berjalan mendekat pada tempat Karina berdiri. Tatapannya sejak tadi tidak berhenti menatap pada sosok Karina yang masih sama cantiknya seperti saat di fashion show. Tapi gaun merah yang menunjukkan belahan dadanya ini lebih membuat Tristan kelabakan oleh sisi prianya yang tiba-tiba muncul. “Saya Dafa Tristan Kastara, pernah mendengarnya?” tanya Tristan dengan bahasa Indonesia yang membuat Karina bereaksi terkejut. Dan nama lengkap Tristan juga membuat efek kejut sendiri bagi Karina. Sebab dia memang tahu nama Dafa Tristan Kastara, tapi tidak pernah mengetahui wajahnya. “Senang bertemu dengan anda, Karina cucu Briyan Sutoyo,” ujar Tristan. Lalu mereka kembali terdiam dalam suasana yang seolah tengah menjeda mereka berdua dari dunia yang masih sangat sibuk di pukul 10 malam. Seperti hanya ada mereka berdua di sana dengan mata yang tak berhenti saling menatap. Kini dua orang yang selama ini hanya mengetahui nama saja, bertemu untuk kemudian mulai membangun sebuah garis yang entah akan terhubung atau justru hanya akan menjadi garis putus-putus. Yang artinya siapa saja bisa melewati dan akan menjadi asing karena keberadaan orang lain. . /// . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD