Aksi di jalanan

2403 Words
Di bawah malam yang terang penuh cahaya bintang itu, sekumpulan remaja tengah memadati sebuah area sepi di tengah kota. Sebuah jalanan yang terbengkalai karena rutenya telah dialihkan menuju jalan pintas, jalan itu pun hanya dipakai oleh beberapa orang saja. Dan salah satunya adalah Aldo, si bungsu itu bersama teman-temannya sering memakai jalanan ini untuk balapan liar. "Lo yakin ikutan?" tanya Leon pada Aldo yang tengah menyalakan mesim motornya. "Rutenya ke pemukiman loh." "Iya lah." "Bahaya ga sih, Do." "Halahh, gapapa, biasanya juga gapapa kan." "Hati-hati loh, ini belum terlalu malam, masih banyak orang beraktivitas." Roy melihat jam di tangannya, memang gila balapan kali ini karena mulainya pukul delapan malam. Yang benar saja, ini masih terlalu pagi untuk balapan liar, kantor polisi saja belum tutup. Eh! tunggu dulu, kantor polisi memang buka 24 jam kan. Leon memutar bola matanya malas, ia melihat sekeliling dan benar-benar ramai. "Kenapa mulai jam segini sih? Cari mati aja." "Tau tuh, si bulok bikin jadwal ngadi-ngadi." "Bulok siapa?" "Bule lokal, tuh!" Roy menunjuk seseorang yang sangat mencolok di tengah jalan, mengenakan jeans berwarna putih dan hoodie berwarna senada. Leon dan Aldo mengikuti arah pandang Roy, bule lokal yang dimaksud adalah Benedict atau akrabnya disapa Ben, tapi karena mereka kurang akrab bahkan cenderung bermusuhan. Roy memanggilnya bule lokal, dari nama dan rupa mungkin terdengar bule, tapi perangai pemuda itu sangat lokal. Ben memang sering menantang mereka balapan liar di area ini, ia dan teman-temannya membuat grub chat yang beranggotakan hampir dua ratus remaja sebaya mereka hanya untuk membahas jadwal balapan. Aldo, Leon, dan Roy dimasuk ke dalam grub itu secara tiba-tiba dan mereka memutuskan untuk keluar satu jam setelahnya. Informasi tentang balapan ini pun mereka dapat dari orang lain. Merasa ditatap, Ben pun menoleh, ia dengan tampang tengil menaikkan alis kanannya. Kedua tangannya merangkul gadis-gadis cantik berpakaian mini yang tengah bergelayut manja. Siapa tidak tertarik kepada Ben, pemuda berdarah campuran Amerika - Indonesia yang tampan, ayah Ben juga salah satu pemilik hotel berbintang di kawasan elit ibukota. Ben mengudarakan jempolnya, lalu membaliknya, "Loser!" ujarnya dengan gerakan bibir, tapi ketiga pemuda itu tetap bisa membacanya. "Cuihh! Songong banget." kesal Roy. "Harus dikasih pelajaran tuh orang, Matematika atau Fisika kalau perlu." tambah Leon. "Udahlah, jangan terpancing." ujar Aldo sambil mengalihkan pandangannya kepada motornya, sudah hampir satu bulan motor Kawasaki Ninja itu tidak lagi mengadu kecepatan. "Malah bagus dia bikin jadwal balapan kayak gini." "Afrodit udah kangen digeber. Iya, kan sayang? Tenang saja, nanti aku bawa kamu kebut-kebutan di jalan lagi." pemuda itu mengelus motornya dengan sayang, maklum saja karena Afrodit adalah motor impian sekaligus motor pertama yang ia miliki. "Dih, Afrodit, mending lo cari cewek deh daripada pacaran terus sama motor." ejek Roy, kedua sahabatnya itu memang selalu menjadi sayap yang ikut kemana pun Aldo pergi. Termasuk kegiatan menantang adrenalin seperti ini, bagaimana tidak, sudah sangat sering mereka kepergok atau kena cyduk satpol PP dan Polisi yang sedang berpatroli. Percayalah bahwa sensasi lari menghindari polisi itu sangat seru dan menegangkan. Karena kawasan itu dekat dengan pemukiman yang padat, mereka bisa lari kocar-kacir menyusup ke pemukiman sehingga polisi pun kesulitan untuk mencari. Tapi, karena dekat dengan pemukiman juga membuat mereka kurang leluasa dan sering dilaporkan oleh masyarakat. Itu sangat wajar mengingat kegiatan yang sedang mereka lakukan sangat berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat. Dulu mereka pernah kepergok patroli Polisi dan malangnya tertangkap, ketiga pemuda itu dan beberapa lagi harus mendekam di kantor polisi semalaman. Tidur dengan alas tikar di dalam sel tahanan sementara, tapi Aldo tidak merasa takut sama sekali, si bungsu justru bermain gitar sambil bernyanyi dengan para polisi disana. Saat itu adalah jadwal jaga untuk pamannya yang notabene seorang polisi, dan sebelum subuh keesokan harinya, para pemuda itu sudah boleh pulang dengan catatan tidak mengulangi lagi. "Si Lena tuh, dianggurin aja." celetuk Leon. "Kasihan anak orang jangan dibaperin kalau ga bisa dipacarin." "Bendahura kita, kelihatannya dia suka banget sama lo." tambah Roy, "Kemarin aja sampai dibawain bekal tuh, aduh aduhh, nasi goreng rasa cinta." "Hyaaaa, lauknya sosis gosong rasa sayang." "Eaa..... Eaaa...... Eaaa....." Si bungsu hanya memutar bola matanya, kedua sahabatnya itu mengungkit kembali kejadian tak terduga yang baru pertama kali ia alami, yaitu Lena membawakannya kotak bekal berisi nasi goreng. Saat itu, Roy dan Leon yang menyaksikan secara langsung dengan mata kepala mereka, tak henti-hentinya meledek si bungsu. The next berandal sekolah, badboy paling karismatik yang pernah ada, diberi kotak bekal berwarna pink bergambar Hellokitty. Tak berhenti sampai disitu, saat Aldo membuka kotak bekal itu, isinya nasi goreng yang berwarna sangat coklat karena terlalu banyak diberi kecap, dan tepat seperti yang dikatakan Leon ada dua sosis yang terlalu lama digoreng hingga gosong. Astaga Lena! Gadis itu hanya pintar dalam hal berpesta. Brrrmmm...... Brrrmmmm....... Motor kawasaki ninja berwarna merah menyala itu berhenti tepat di depan mereka, siapa lagi pemiliknya jika bukan Ben. "Udah belum doanya?" "Maksud lo?" "Yaa, berdoa, semoga ga nangis karena kalah malam ini." ejek Ben. "Songong banget lu!" kesal Roy. "Suka-suka gue lah, yang ga punya motor diem!" balas Ben, pemuda itu memandang rendah Roy. Memang Roy bukan berasal dari kalangan atas, dan pemuda itu tidak memiliki motor lain selain motor CB 100 Gelatik warisan dari masa muda sang ayah. "Emang kenapa kalau ga punya motor ninja?!" Roy mendekat, tapi segera ditahan oleh Leon. Benedict pun tertawa bersama teman-temannya, tawa sumbang yang membuat Roy semakin panas. "Kalau ga punya motor ninja, tandanya.......... Miskin?" "Eh! Sialan lo." Leon dan Aldo segera menahan Roy agar pemuda itu tidak mendamprat Ben, dan berakhir dengan tidak menyenangkan. Sekalipun Ben nantinya terluka, tapi bisa dipastikan kalau Roy lah yang akan lebih menderita. Pernah ada yang terlibat perkelahian dengan bule lokal itu, lalu sang ayah turun tangan dan membuat lawan Ben ketar-ketir karena usaha orang tuanya dibuat bangkrut. "Sabar, Roy!" "Udah, jangan didengerin. Bulok gila tuh orang." "Tenang Roy, gue bakal bikin dia kalah malam ini." janji Aldo. Roy hanya bisa menelan kembali emosinya yang diujung tanduk, ia menuruti Aldo untuk tenang. Pemuda itu pun melemaskan kembali tangannya yang mengepal siap memberi bogem mentah pada Ben. Seenaknya dia mencelanya miskin hanya karena tidak punya motor ninja. Ben tidak pernah tahu bagaimana perjuangan ia dan ibunya untuk membangun bisnis laundry setelah sang ayah meninggal dua tahun lalu. Setiap hari, Roy membantu mengantar cucian pelanggan sang ibu dengan motor CB tuanya. Aldo tersenyum miring kepada Ben, ia memakai helm dan mulai menaiki motornya. Suara yang khas muncul saat motor hitam itu dinyalakan, sengaja Aldo memutar gas dan menciptakan suara yang bising tapi sangat keren. "Ya, kita lihat hasilnya nanti aja lah, orang kaya!" sarkas pemuda itu. "Oh iya, tentu!" Ben melaju menuju garis start lebih dulu, disana ada banyak pembalap lain yang sudah menunggu bersama motor kesayangan mereka. Aldo mengambil tempat di samping kanan Ben, jalanan di hadapannya tampak temaram dengan pencahayaan yang kurang karena lampu jalan banyaknya rusak. Seorang gadis seusianya datang menghampiri, begitu pun Leon dan Roy. "Hai!" sapa gadis itu. "Hai." Berbeda dengan gadis lain yang langsung bergelayut manja dan mengerling nakal, gadis di sampingnya itu hanya berdiri di sisi kirinya. Pakaian yang ia kenakan cukup tertutup dari yang lain, celana jeans panjang dengan crop top lengan pendek berwarna hitam, cantik dan manis. Aldo curi-curi pandang lewat ekor matanya. "Kok lo gak manja-manja sama gue?" Gadis itu mengerjap bingung saat mendapatkan pertanyaan yang sangat frontal itu, dari seorang Reynaldo, pemuda yang terkesan dingin kepada wanita. "Lo mau gue manja-manja sama lo?" tanya gadis itu. "Why not?" "Hahaha, lo butuh sentuhan." sarkas gadis itu, ia hanya terkekeh pelan sambil memeluk tubuhnya sendiri, angin malam kadang berhembus kuat menerpa perutnya yang terekspos ramping. "Aldo yang terkenal dingin bukan sih, ini?" "That's me!" Suara siulan keras datang dari Ben, pemuda itu menepuk tangan untuk mengambil perhatian dari kerumunan. Mengerti dengan tanda itu pun, orang-orang disana langsung diam dan mengalihkan atensi mereka kepadanya. "Guys! Guys! Guys!" "Gimana kalo buat seru-seruan malam ini, kita balapan sambil bonceng cewek." tantang pemuda itu. Aldo pun langsung otomatis menatap gadis di sisi kirinya itu. "Boleh pacar! Boleh siapa pun, asal bukan emak lo!" tambah Ben. Beberapa pembalap lain langsung menentukan pilihan mereka, ada banyak gadis-gadis yang bersedia untuk dibonceng oleh mereka. Karena sama seperti balapan biasanya, balapan ini pun tak hanya dipadati oleh laki-laki saja. Kaum hawa yang beranjak dewasa itu mencari kesenangan dan teman baru, tak jarang dari mereka berkencan dengan orang-orang yang mereka temui saat menonton balapan. Aldo menumpukan kedua sikunya di tangki motor itu sambil menoleh sepenuhnya ke kiri, "Gimana? Mau ikut?" tanyanya. "Gue?" "Iya lah." "Tapi gue takut." aku gadis itu. Aldo terkekeh pelan, "Takut kenapa? Santai aja lah." Gadis itu tampak berpikir, terdengar menyenangka tapi ia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini balapan, bukan diboceng biasa, dan lagi tidak ada jaminan ia akan selamat nantinya. "Ayo cepetan, kalo lo ga mau gapapa, gue cari cewek lain aja." desak Aldo. "Iyain aja, jarang-jarang loh Aldo boncengin cewek." tambah Leon, yang langsung diangguki oleh Roy, dalam sejarahnya hanya dua nama yang pernah di bonceng Aldo dengan motor itu. Yaitu Shena, dan seorang gadis lagi yang tak ingin Aldo ingat. "Yaudah, cariin gue cewek lain, Roy!" balas Aldo. "Iya mau!" balas gadis itu cepat. Aldo tersenyum tipis, "Nah, gitu dong dari tadi. Tinggal jawab iya apa susahnya sih." Aldo segera melepas jaket yang tengah ia kenakan, jaket berwarna abu-abu cerah polos tanpa gambar atau tulisan apapun. Si bungsu memberikannya pada gadis itu. "Apa?" tanyanya. "Pakai!" Gadis itu pun menerimanya, diam-diam pipinya memanas mendapat perhatian kecil dari seorang Aldo. Ia mengenakan jaket Aldo, dan wangi pemuda itu langsung menyeruak menyengat indra penciumannya. Wangi maskulin dan menenangkan, tapi mewah dan candu. Aldo cukup terkenal dan digilai banyak wanita, ia merasa beruntung malam ini bisa berbincang dengan pemuda itu. "Jaket lo, Yon!" mintanya pada Leon, pemuda itu pun mendelik tajam dengan mata sipitnya. "Ga mau, gue dingin, Do!" "Halahh, cuma bentar aja." Roy melepaskan jaket itu secara paksa dari pemiliknya, Leon yang tidak siap hanya bisa menurut sambil menggerutu. "Pelit banget sih lo, minjem sebentar doang!" ujar Aldo. Balapan pun segera dimulai, gadis-gadis yang terpilih untuk menjadi partner balapan pun menaiki motor pasangan masing-masing, begitu pula gadis pasangan Aldo malam ini. Ia duduk dengan nyaman di jok belakang, sekalipun sangat kurang nyaman duduk di motor mahal itu. Ia mulai berpikir bagaimana ia akan berpegangan saat motor itu melaju kencang nanti, usapan di lututnya membuat gadis itu mendongak, "Ya?" "Pakai helmnya." suruh Aldo, Roy segera memberikan sebuah helm kepada pasangan Aldo itu. "Pegangan!" ujar Aldo lagi. "Boleh?" "Ya bolehlah, lo bisa jatuh kalo gak pegangan." balas Aldo, entah benar lugu atau pura-pura lugu, tapi gadis di boncengannya itu sangat lucu. Tak mau berlama-lama, Aldo meraih kedua tangannya untuk memeluk perutnya. "Jangan sampai lepas, nanti takutnya jatuh!" ujar Aldo sembari mengelus tangan halus dan putih itu, sedikit modus tak masalah kan. Gadis itu mengangguk, ia melakukan apa yang diperintahkan oleh Aldo demi keselamatannya. Ia hanya bisa berdoa semoga Aldo tidak merasakan degupan jantung yang menggila ini. Seorang gadis maju ke depan sambil membawa tongkat kecil yang diujungnya diikat sehelai kain berwarna merah, deru motor pun mulai bersambut sejalan dengan lambaian tongkat itu. Ia mengarahkan tongkat ke udara, dan jatuh. Bruuummmmm....... Totalnya ada delapan motor yang sedang melaju mengadu kecepatan malam ini, membelah jalanan kota Jakarta yang berliku. Pada awalnya semua berjalan baik, hingga tantangan sebenarnya menanti di depan, yaitu jalanan yang padat penduduk. Aldo tak mau kalah, ia memutar gasnya untuk mengambil tempat di depan Ben. Aldo memimpin, lalu Ben, Aldo lagi, begitu terus hingga kedua motor itu melaju kencang meninggalkan pembalap lain. Ini lah tantangannya, ternyata masih banyak sekali mobil atau kendaraan yang melewati jalan itu malam ini. Aldo bermanuver dengan tajam menyalip sana sini, menyela pengguna jalan lain. Menyenangkan bagi Aldo, tapi menegangkan bagi gadis yang tengah ia boncengan saat ini. Membawa orang lain, tak menjadi penghalang untuk pemuda itu menancap gasnya kuat-kuat. Jiwanya kembali hidup, angin malam dan klakson dari kendaraan yang lain menjadi musik indah baginya. Tinggal satu belokan lagi, dan mereka tiba di garis finish. Dari kejauhan, banyak orang yang sudah menunggu sang juara dari balapan ini. Aldo masih memimpin, tapi Ben bisa menyalip dengan mudah. "Sial!" umpat Aldo, si bungsu itu tak mau kalah tentu saja, dengan sisa waktu yang ada, ia membaca momentum dan sudut yang tepat untuk mendahului Benedict. Sepuluh meter tersisa, orang-orang sudah menepi untuk memberi jalan bagi sang pemenang. Whuss!!! Motor ninja hitam itu melaju dengan sekali tancapan gas, memberikan sebuah kemenangan bagi Aldo malam hari ini. Ban depan motor itu sampai berderit karena dipaksa untuk berhenti, "Ga mau turun?" tanya Aldo. Gadis itu membuka matanya yang terpejam sejak di garis start, ia turun dari motor hitam ia dengan sempoyongan. Aldo segera menahan tubuhnya agar tidak limbung, "Udah ini?" "Ya udah lah." "Lo menang?" tanyanya, melihat beberapa motor baru saja sampai di garis finish dan Ben yang memasang wajah masam. Aldo melepas helmnya, ia mengangguk sambil tersenyum puas. "Menang!" "Uwaahhhh!" pekik gadis itu, ia langsung memeluk Aldo saking senangnya, "Selamat yaa!" "Iya." Aldo membalas pelukan hangat itu dengan senang hati, ia sedikit menunduk agar gadis itu lebih leluasa melingkarkan tangannya di leher si bungsu. Rejeki nomplok ini namanya, bukan Aldo juga yang meminta, gadis itu berinisiatif sendiri. Jiwa genit Aldo otomatis menyala karena sejak lama rindu sentuhan, pemuda itu mengusap-usap punggung pasangan balapannya itu sambil mengeratkan pelukan. Tubuhnya kecil dan ramping, sangat pas dari dekapan Aldo. Jadi seperti ini rasanya berpelukan dengan wanita, benar kata Roy, wanita memang sangat nyaman untuk dipeluk. Jiwa genit Aldo lagi-lagi meracuni, rasanya ia ingin mengangkut gadis itu untuk dibawa pulang saja. Sayangnya ia masih sayang nyawa, bisa habis kena amukan sang mama jika itu terjadi. Gadis itu menegang merasakan usapan halus di punggungnya, menyadari apa yang tengah ia lakukan, ia langsung mengurai pelukan itu. "Ma-maaf." ujarnya kikuk, ia menunduk guna menyembunyikan rona merah yang menghiasi pipinya. "Iya, gapapa." Hening, keduanya sama-sama terdiam. Seperti mendapat momen yang tepat, tempat motornya berhenti ini pun hanya diterangi cahaya temaram dan kedua sahabatnya tidak datang mengganggu. "Btw, nama lo siapa?" tanya Aldo. Gadis itu mengerjap, "Namaku? Harus banget dijawab ya?" "Kenapa emang, ga punya nama?" "Punya lah." "Yaudah siapa?" "DO!!!" Sial, sang pengganggu akhirnya datang. Aldo dan gadis itu menatap ke satu arah, dimana dua pemuda dan banyak pemuda lain di belakangnya berlari ke arahnya. Mereka harus menyambut sang pemenang dan melakukan selebrasi. "Gue cabut dulu!" ujar gadis itu, Aldo langsung menahan tangannya. "Eh, nama lo siapa?" "Nanti aja kalau ketemu lagi, gue kasih tahu nama gue." jawabnya, sebelum melepas cekalan Aldo dan berlari melawan kerumunan. Meninggalkan Aldo yang hanya bisa menatap punggungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD