4. Manja

1824 Words
Sore ini, tepatnya di ruang keluarga, Minzy terlihat sedang bermain dengan keponakannya Marvi yang baru saja datang berkunjung bersama Valery, Kakak perempuan Marvi yang sudah menikah 4 tahun lalu dan kini telah memiliki seorang anak lelaki berusia 2 tahun bernama Zach. Zach kecil tampak senang bermain di atas pangkuannya Minzy. Sedangkan Marvi dan Valeri, mereka terlihat berbincang layaknya seorang Adik dan Kakak. "Kapan Mommy akan pulang?" Tanya Valeri. Marvi melihat jam di dinding, "bentar lagi pasti sampai, soalnya Mommy harus cek darah juga." Valeri beralih menatap putranya yang sedang bermain di atas pangkuan Minzy. "Kau memang perempuan yang baik, anakku terlihat sangat nyaman bermain denganmu." Minzy tersenyum tipis. "Semua orang pasti menyukai anak kecil, apalagi anaknya tampan seperti Zach... Benarkan adik manis?" Ucap Minzy seraya mencium pipi chubby keponakannya itu. "Tidak semua orang menyukai anak kecil, contohnya suami kamu, hahaha..." Ujar Valeri. Marvi tampak menyandarkan tubuhnya dan menatap Minzy yang sedari tadi tidak melihat ke arahnya. Gadis itu selalu berusaha untuk menghindarinya. "Benarkah?" Tanya Minzy yang kini menatap Marvi. "Aah itu tidak aneh, Val... Anak kecil tidak akan menyukai pria yang bahkan tidak tahu cara tersenyum." Valeri tertawa mendengar ucapan Minzy. "Marvi memang jarang tersenyum, tapi dia adik yang baik. Percayalah, dia akan sangat menyayangi anak kalian nanti." Uhuk! Marvi tersedak air liurnya sendiri. Ia langsung menatap Minzy yang sama terkejut. "Kak, Ayolah... Jangan membahas anak, kami baru menikah kemarin." Ucap Marvi. "Hey, kalian tidak boleh mengundur waktu untuk memiliki anak. Mom dan Dad sudah semakin tidak sabar untuk menimang cucu." Ucap Helena yang baru saja datang dari rumah sakit. Dang! Marvi dan Valeri berdiri untuk membantu Helena duduk, menggantikan Kenan yang sedari tadi membantu Helena berjalan. "Sayang, kau tidak akan menunda kehamilan kan? Kau tahu, Ibu sudah sakit-sakitan." Tanya Helena pada Minzy. "Aku--" Minzy menatap Marvi. Marvi pindah tempat duduk menjadi di samping kanan Minzy. "Jawab saja." Bisiknya. "Kami..." "Kami akan melakukan yang terbaik, Mom tenang saja, aku akan memberikan kalian cucu yang sangat lucu. Lebih lucu dari Zach," ucap Marvi yang membuat ayah dan Ibunya tersenyum senang. Sedangkan Minzy, dia terdiam mematung. Bagaimana bisa Marvi menjanjikan hal seperti itu. Cucu? Apa dia sudah hilang akal? Marvi merangkul bahu Minzy dan mencium pelipisnya. Deg. Mata Minzy membulat sempurna, sebelumnya tidak pernah ada yang mencium dirinya, di bagian manapun. Ciuman Marvi yang tiba-tiba membuat Minzy merasakan sebuah desiran aneh pada tubuhnya. "Manis sekali..." Ucap Helena. "Ayahmu selalu melakukan hal yang sama padaku," Valeri tertawa, dia menertawakan ekspresi kaget Minzy. "Kenapa kau sangat terkejut? Hahaha... Lucu sekali." "Aku hanya, hanya malu..." Ucap Minzy. "Ya tuhan... Kau tidak perlu malu, Marvi suami kamu dan kita keluarga." Ucap Valeri. Minzy hanya tersenyum menanggapi itu. Sedangkan Marvi, dia tampak tertawa pelan. "Kau sengaja melakukan itu, benarkan? Kau memang menyebalkan, jangan mencari kesempatan untuk menyentuhku di depan mereka." Bisik Minzy seraya mencubit punggung Marvi. "Awssh... Aku hanya ingin membuat mereka percaya, berani sekali kau mencubit diriku." Ucap Marvi seraya menggeser tubuhnya menjauh dari Minzy yang hendak mencubitnya lagi. "Kalian kenapa?" Tanya Valeri. "Hey, jangan membuat mereka malu... Lihatlah, wajah Minzy sudah memerah." Ujar Kenan dan merekapun tertawa. Wajah Minzy semakin memerah. "Emh, apa kalian suka cupcake? Kalau suka, aku... Aku akan membuatkannya untuk kalian." Minzy mengembalikan Zach kembali pada Valeri. "Apa kau benar-benar bisa membuat cupcake?" Tanya Valeri. Minzy mengangguk pasti. "Memasak dan mencoba resep adalah hobiku. Maka dari itu, kau harus menginap agar bisa mencoba masakan aku ketika makan malam nanti." "Hey, kau... Mau kemana?" Tanya Marvi pada Minzy yang hendak pergi ke dapur. "Aku akan ke dapur," Marvi meraih tangan Minzy dan tersenyum penuh arti. "Aku akan menemanimu." Bulu kuduk Minzy berdiri mendengar itu. Semoga Marvi tidak melakukan hal yang aneh. Mereka berdua berlalu meninggalkan ruang keluarga dengan Marvi yang menggenggam tangan Minzy. "Kenapa kau ingin membuat cupcake? Apa kau ingin mengambil hati keluargaku?" Tanya Marvi pelan. Minzy menepis tangan Marvi ketika mereka sampai di dapur. "Aku melakukan itu karena kamu, Tuan yang menyebalkan." Marvi duduk di kursi seraya memainkan buah apel di atas meja. Sedangkan Minzy, ia mulai meraih alat dan bahan untuk membuat cupcake. "Kau membuatku malu dengan menciumku secara tiba-tiba. Aku hanya ingin menjauh dari ruang keluarga dengan menyibukkan diri membuat cupcake." Ucap Minzy menjelaskan. Marvi tersenyum tipis. "Malu? Yang benar saja," "Ya!! Kau satu-satunya orang pernah mencium aku, apa aku harus melempar spatula pada wajahmu agar--ekhem..." Minzy langsung memasang ekspresi wajah manis dengan senyuman. Marvi mengangkat sebelah alisnya. "Ada apa?" Tanyanya. Minzy memberikan isyarat agar Marvi melihat ke arah belakang, ada Valeri di ambang pintu. Marvi memutar kepalanya perlahan. "Kau, kau membuatku kaget. Apa, apa kau mendengar pembicaraan kami?" Valeri mengangkat bahu tak peduli. "Tidak, aku baru saja datang untuk mengambil minum. Apa aku mengganggu?" Minzy menggelengkan kepalanya. "Tidak, lagi pula Marvi hanya duduk di sana. Kami tidak melakukan apapun." Valeri hanya tersenyum penuh arti seraya mengambil segelas air minum dari kulkas. "Aku kan membiarkan kalian mengobrol berdua, aku juga pernah menjadi pengantin baru, jadi aku paham." Ucap Valeri yang kemudian berlalu. Minzy menghela nafas pasrah. "Semua orang sudah menganggap pernikahan kita itu nyata." Ucapnya pelan. Marvi terdiam dengan ekspresi sedih. Karena tanpa Minzy sadari, Marvi sudah menaruh hati pada gadis itu sejak Minzy datang ke kantornya untuk melamar sebuah pekerjaan. Tapi Marvi berusaha untuk menghindari perasaan itu. Setidaknya sampai Minzy merasakan perasaan yang sama. Dia tidak mau mengalami sakit hati seperti dahulu. Tapi dengan mengganggu dan menggoda Minzy justru membuat perasaannya semakin menjadi. Namun, Marvi selalu berusaha untuk tidak menunjukkannya. "Pernikahan kita itu nyata." Ucap Marvi. Minzy yang sedang mengaduk adonan terdiam dan langsung menatap Marvi. "Apa maksud kamu?" "Kita menikah resmi dan sah secara agama ataupun negara." Ucap Marvi yang kemudian berdiri dari duduknya. Minzy mengernyit heran. "Aku akan menunggu di dalam." Sambungnya yang kemudian berlalu meninggalkan dapur. Minzy masih kebingungan. "Kenapa dia tiba-tiba murung? Walaupun dia benar, pernikahan kami memang sah. Tapi, kenapa dia jadi terlihat sedih? Atau ini hanya perasaanku saja? Ah, sudahlah." Minzy kembali sibuk dengan kegiatannya membuat cupcake. Hingga beberapa saat kemudian ia menggeram tertahan. "Aish... Sial, kenapa aku terus kepikiran Bos yang egois itu? Harusnya aku tidak peduli dia sedih ataupun senang, bukan begitu? Ayolah, Minzy... Apa kau mulai menyukainya? Tidak... Itu tidak mungkin." Jujur, ketika pertama kali melihat Marvi di kantor, Minzy menyukainya. Dia suka sikap tegas Marvi. Namun ketika dirinya mendapatkan pekerjaan khusus melayani Marvi secara langsung, Minzy mulai mengutuk dirinya sendiri karena sudah menyukai Marvi. Namun tanpa Minzy sadari, Marvi mengganggu dirinya karena dia menyukainya, bukan karena Marvi membenci Minzy. Sampai akhirnya, tak terasa cupcake buatannya sudah jadi. Minzy tampak tersenyum senang menyiapkan cupcake di atas nampan. Kemudian Valeri datang. "Minzy, ada klien Papah dari luar negeri yang tidak sempat datang ke pernikahan kalian. Ayo, kamu harus menyapa mereka." "Mereka? Lebih dari satu?" Valeri tertawa. "Iya, mereka datang satu keluarga dan beberapa anak." Minzy mengangguk paham. "Baiklah, cupcake buatan aku juga sudah siap. Aku akan membawanya dan memberikannya pada anak-anak." Valeri mengangguk setuju. "Ayo!" Minzy pun berjalan di belakang Valeri dengan memegang sebuah nampan berisi beberapa cupcake buatannya. "Ini dia menantu keluarga kami!" Ucap Valeri mencuri perhatian. Minzy langsung menyimpan cupcake di atas meja dan menyalami para tamu. "Apa cupcake ini buatan kamu?" Tanya seorang wanita yang tampak seumuran dengan Ibu mertuanya. Minzy mengangguk. "Iya, Nyonya..." "Tidak, panggil aku Tante Gina. Kita tidak boleh seperti orang asing, benarkan?" Minzy hanya tersenyum menanggapinya. Tak lama kemudian 3 orang anak kecil usia berlari ke arah cupcake. "Apa aku boleh memakannya?" Tanya salah satunya. Minzy mengangguk senang. "Tentu saja, kalian boleh memakannya." Ucapnya seraya mengusap kepala ketiga anak laki-laki itu. Minzy mengedarkan pandangannya, pasalnya ia masih berdiri dan kursi sudah penuh oleh anak-anak yang duduknya dengan setengah berbaring seraya menikmati cupcake buatannya. Marvi yang duduk di sebuah single sofa melambaikan tangannya. "Kemarilah," panggilnya. Minzy pun berjalan dengan sopan melewati Ayah dan Ibu mertuanya. "Ada apa? Eeeh--" Tiba-tiba saja Marvi menarik tubuh Minzy hingga terduduk di atas pangkuannya. Semua orang langsung melihat ke arah mereka berdua. "Ya ampun, maafkan kami... Karena cucu-cucu kami, kau jadi tidak kebagian kursi." Ucap Tante Gina menyesal. Marvi menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, mereka hanya anak-anak." Minzy hanya menunduk malu di atas pangkuan Marvi. Dan Marvi, dia tampak tersenyum dengan penuh kemenangan. Menjahili Minzy sudah menjadi salah satu hal favoritnya. Dia sangat senang menggoda Minzy dan melihat blushing di wajah gadis itu. "Minzy, kau berat sekali." Ucap Marvi pelan pada Minzy. Minzy menatap Marvi dan, PUGH! Ia memukul bibir Marvi pelan. "Kau yang menarik tubuhku hingga jatuh. Jadi, diam dan jangan salahkan aku jika kakimu pegal." Sahut Minzy. Marvi melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Minzy. Membuat Minzy geli sendiri. "Lepaskan aku... Marvi." Tekan Minzy. Bukannya dilepaskan, Marvi malah mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping istrinya itu. "Kau tahu, entah sejak kapan, tapi aku suka menjahili kamu seperti ini." Ucap Marvi pelan agar tidak terdengar tamu. "Kau memang sangat menyebalkan." Balas Minzy yang kemudian pasrah dengan tingkah suaminya. Gina yang merupakan sahabat dari orang tua Marvi menatap Minzy. "Minzy, kau harus bersabar menghadapi Marvi." Ucapnya. Minzy mengangguk pelan. "Sebagai anak bungsu, dia masih sering bersikap manja." Ujarnya. Marvi menggelengkan kepala tak setuju. "Aku tidak manja," "Ya, kau tidak manja. Hanya kekanak-kanakan saja." Sahut Minzy. "Lihatlah tangannya, dia memelukku dengan erat seakan-akan dia takut aku akan menghilang jika pelukannya mengendur sedikit saja." Dan semua tertawa. Kecuali Marvi. "Kalian suka sekali menggangguku, Tante... Kau masih saja menganggap aku anak kecil, padahal umurku sudah 27 tahun." Ucap Marvi protes. "Hey, kau tidak perlu malu Vi... Tidak akan ada yang melarang kamu untuk bermanja-manja bersama Minzy, hahaha..." Ujar Tante Gina dan suaminya hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir. Marvi melepaskan pelukannya dari pinggang ramping Minzy yang masih duduk di atas pangkuannya. Merasakan hal itu, Minzy langsung melihat ke belakang. "Kau kesal? Pfft... Manja." Marvi hanya diam dan memandang ke arah lain. Ada rasa yang aneh ketika Marvi melepaskan pelukannya. Minzy merasakan ada sesuatu yang hilang. "Apa, apa ini? Apa aku menyukai pelukannya?" Pikir Minzy. "Tidak... Tidak..." Elaknya. Perbincangan keluarga berlangsung lama, sampai akhirnya tamu itu berpamitan untuk pulang. Dan selama perbincangan itu juga Minzy duduk di atas pangkuan Marvi. Jujur saja, Marvi merasa pegal dan merasa kebas. Tapi tetap dirinya tahan. Setelah mengantar Tante Gina beserta suami dan cucu-cucu mereka. Minzy dan Valeri kembali ke ruang tamu. "Marvi, kenapa kau masih duduk di sana?" Tanya Valeri. "Kau pikir tubuh Minzy itu ringan, hn? Kakiku sulit untuk bergerak." Jawab Marvi. Ayah dan Ibunya tampak tertawa. "Minzy, kau bantulah dia pergi ke kamar." Ucap Kenan. "Iya, Mom yakin kalau kalian belum belum istirahat sejak check out dari hotel tadi karena kedatangan Valeri." Ucap Helena. Minzy pun berjalan mendekati Marvi. "Bagaimana rasanya? Enak?" Bisik Minzy. "Aish... Tolong diam, kakiku sangat pegal." Ucap Marvi ketika Minzy membantunya berdiri. Dengan bantuan Minzy yang memapahnya, Marvi pun berjalan menaiki anak tangga dengan perlahan. Marvi benar-benar ingin segera berbaring di atas tempat tidur. "Lepaskan, hanya kaki kiri yang keram. Aku tidak manja." Marvi berjalan sendiri menuju kamar dengan Minzy yang berjalan di belakangnya. Bersiap siaga jika Marvi hilang keseimbangan. **** Hai... jangan lupa reviewnya uhuy:*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD