KARAMEL

2321 Words

Jakarta di masa lalu lagi. Dirga yang ngga tega. Bukan cuma ke Ben, tapi juga ke Anne yang pasti ngerasa tertekan. Ben duduk kaku, ransel masih nempel di punggung, seolah jika bergerak sedikit saja ia khawatir mengganggu Anne. Pemuda itu sesekali melirik Anne, berharap ada kontak mata. Nihil. Anne seperti membangun tembok kaca—terlihat jelas, tapi tak bisa ditembus. Sementara itu, putrinya mepet banget ke pintu mobil, kepala bersandar di jendela, dan entah sudah berapa kali mendengus kesal sejak sedan meninggalkan kompleks apartemen. “Ayah malah nanya nih, Bang... kok bisa Abang ke sini subuh-subuh?” Dirga memecah hening. “Katanya Abang cuma bilang berangkat.” “Mmm... iya ya, Pa?” Ben bingung sendiri. Ia lalu memutar leher perlahan, mencoba melirik Anne dari ujung matanya. “Ish!” sinis

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD