3. Resek

3292 Words
SINTA POV. “SIN!!” panggilan namaku tepat aku menutup pintu mobilku di parkiran sekolah. Aku menoleh lalu tersenyum mendapati Rengga juga baru keluar dari mobilnya yang parkir selisih satu mobil denganku. “Morning Sin” sapanya saat kami saling mendekat. “Morning…tumben siang Reng?” tanyaku. Dia tertawa. “Lagi kesiangan, gue tidur malam  banget semalam” jawabnya. Aku mengangguk. “Gue sih emang selalu mepet sampe sekolah, biasa deh, bawa mobil gini, seringan kena macet” kataku. Gantian dia mengangguk lalu mempersilahkan aku jalan. “Gak ganti aja transportasi lain?” tanyanya menjajari langkahku menuju gerbang sekolah. “Gue mau bawa motor gak di kasih sama bokap, pake rok!!” jawabku. Rengga tertawa. “Elo kenapa gak bawa motor?” tanyaku. Dia meringis. “Gak bisa?” tanyaku. Dia mengangguk. “Lebih ke trauma sih, gue pernah nyungsep waktu belajar motor” jawabnya. Aku tertawa. “Lagian lebih enak bawa mobil, agak ribet kalo harus pergi ke sanggar, suka bawa alat music” jawabnya. “Elo ikut sanggar apa?” tanyaku. “Teater gitu, nantilah kapan kapan gue ajak elo, kalo elo mau” katanya. Aku mengangguk. “Pantes elo jago buat puisi” pujiku. Rengga tersenyum. “Rangkaian kata dalam puisi itu seperti mantra yang selalu mampu mengungkapkan sebuah rasa” jawabnya tanpa menoleh. Aku tertawa. “Melted…” desisku. Gantian dia tertawa. Kami lalu diam sampai tiba di muka kelas kami. “Sin, sepatu elo mana?” tegurnya. Aku jadi menatap sepatuku lalu menghela nafas. Aku tak lagi pakai sepatu pink kesayanganku. Tapi sepatu plat shoes putih yang membosankan. “Kotor lagi?” tanyanya. Aku menggeleng. “Males hadapin senior yang takut kalah saing. Bukan gue takut hadapin mereka, sekali tabok juga tiarap sama gue” kataku kesal lagi. Aku ingat kejadian kemarin yang mereka merubungku lagi di kantin, aku sampai ketelepasan dan mendorong salah satunya. Aku takut lebih emosi lagi dan malah membuatku dapat masalah dengan guru BP. Nanti papi atau mamiku hukum aku. “Gak ada jalankah buat hadapin mereka?” tanyanya tepat aku duduk di bangku kami masing masing. “Ada sih, paling gue mesti masuk ekskul cheers kaya kakak gue yang alumni sekolah ini juga” jawabku jadi berbalik menghadapnya di bangku belakangku. Rengga diam menatapku. “Kakak gue bilang, senior yang tukang bully itu takut sama senior anggota cheers, karena udah pasti lebih pemes” lanjutku. Dia mengangguk. “Seperti melawan kekuatan besar dengan kekuatan lebih besar lagi?” komennya bertanya. “TEPAT!, siasat menghndari huru hara” cetusku lalu terbahak. Rengga tersenyum. “Loh Reng, pantes gak sarapan di kantin!!, godain perawan jendral!!” tegur Roland begitu bel berbunyi. Rengga tertawa. “Perawan Jendral?” desisku. “Teman gue bilang begitu, elo anak jendral, masih perawan jugakan lo?” ejek Roland. Aku merona dengan mata melotot maksimal pada Roland yang terbahak. “Yaelah becanda Sin. Lagian Jakarta, banyak cewek status doang perawan, dalamnya gak tau” kata Roland lagi. Aku langsung cemberut dan Rengga pasti langsung diam, dia hanya akan mengawasi kalo Roland sudah mulai mengajak aku ngobrol. “Gak termasuk gue ya?” jawabku. Roland tertawa. “Tau gue, cewek galak model elo dan jago tarung pasti laki susah telentangin elo. Gue bilang buat cewek cewek ABG yang jadi simpenan bokap gue” jawab Roland santai banget. Aku jadi menatap Rengga yang juga menatapku. “Yaelah santai, udah biasa bokap gue begitu” kata Roland lagi. Aku jadi tidak berani komentar. “Guru woi!!” cetus Marina teman sebangkuku yang baru datang tepat guru masuk kelas. Kami lalu belajar. Ternyata ada anak yang lebih tidak beruntung dari aku. Kalo aku sering protes gimana kakunya hubungan papi dan mamiku, Roland malah punya papa yang hobi selingkuh. Kalo dia cewek pasti tidak akan sesantai itu. Tapi apa Roland sesantai di tampak luar ya?. Kalo di banding Rengga yang jelas jelas punya ibu tiri, tapikan ibu kandungnya meninggal. Aku jadi mikir macam macam gini. “Gue kantin bentar” pamit Rengga bersamaan bel pergantian pelajaran. “Ngapain?” jeda Roland. “Laper Rol, belum sarapan” jawab Rengga lalu beranjak. “Reng!!” cegahku ingat kalo aku bawa bekal roti yang di buatkan bibi takut aku laper kalo jalanan macet saat pulang sekolah. Kalo sarapan, aku selalu sarapan di rumah dengan kak Lulu juga papi mamiku kalo mereka sedang di rumah dan bukan di rumah dinas. Rengga berbalik menatapku. Aku buru buru mengacungkan kotak bekalku “Gue punya roti, buat elo nih!!, lumayan buat ganjal” kataku. Dia tersenyum lalu mendekat. “Elo?” tanyanya. “Gue kenyang, udah sarapan, paling nanti juga gak gue makan” jawabku. Dia tersenyum menerima kotak bekalku lalu duduk lagi. “Cinta dalam sepotong roti” komen Roland dan membuatku merona. Rengga terbahak lalu santai memakan roti bekalku. Aku sudah tidak berani komentar karena Marina juga meledekku. “Baru kali ini Sinta baik sama laki, benar elo Rol, cinta dalam sepotong roti” ledek Marina. Aku semakin merona. “Guru tuh!! Belajar!!” cetusku terselamatkan karena guru lain sudah masuk kelas lagi. Beberapa hari aku mengenal dua lelaki teman baruku, aku menyadari satu hal. Rengga itu kuat di pelajaran hafalan terutama bahasa Indonesia. Ya iyalah, dia suka sastra. Trus kemampuan dia mengingat keren sekali. Kadang sampai tiap bagian kata. Aku sampai takjub saat dia menjawab pertanyaan guru sola contoh karya sastra lama. Dia menjawab lengkap dengan kutipan syair Gurindam dua belas, Raja Ali Haji. Dan Rengga hafal sampai akhir pasal. Ada 12 pasal padahal. Barang siapa mengenal yang tersebut, Tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang, Seperti rumah tiada bertiang. Barang siapa meninggalkan puasa, Tidaklah mendapat dua termasa. Barang siapa meninggalkan zakat, Tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji, Tiadalah ia menyempurnakan janji.   Itu isi pasal kedua, aku ingat karena aku minta Rengga menulis ulang di bukuku. Aku tertarik karena isinya seperti rukun islam yang ada 5 perkara. Syahdat, sholat, puasa, zakat dan naik haji. Benar gak sih?. Silahkan aja kalian cek tiap bait katanya.   “Reng elo hafalin ya?” tanyaku karena takjub setelah dia selesai menulis di bukuku.   Dia menggeleng.   “Gue sering terpaksa hafal naskah puisi dalam tempo singkat, kalo mau pentas. Dulu nyokap gue bilang, cukup baca berulang di bagian inti isi naskah, pasti dengan sendirinya hafal. Gue selalu ngerasa puisi itu tiap rangkaian katanya seperti punya nada, karena harus bersanjak a-a-a-a. atau a-b-a-b. Jadi seperti menghafal lirik lagu” jawabnya.   Benarkan?, masa kalian gak tau kalo karya satra lama terikat aturan seperti yang Rengga bilang. Beda dengan Roland yang otaknya justru lemah di pelajaran hafalan, mencatat aja malas kok. Kadang dia merengek supaya aku atau Marina catatkan di bukunya, dan sebagai ganti, tugas kami pada mata pelajaran eksak macam Fisika, Kimia, Biologi, atau matematika, pasti Roland kerjakan. Rengga lemah juga bagian ini. Jadi dia suka ikutan nyontek pekerjaan Roland. Otak Roland encer untuk ukuran cowok. Satu kesamaan Roland dan Rengga. Sama sama punya musikalitas bagus dan bagus di pelajaran seni musik.   Roland dengan genre hiphop atau Rap, sesuai dengan gayanya yang hits, Rengga lebih suka ke music blues atau music yang bergenre mellow, dan lagu lagu nostalgia. Sesuai dengan tampak luarnya yang tenang. Sama sama jago main gitar juga. Aku tak tau gitar punya siapa, yang pasti gitarnya keren dan Rengga bawa ke kelas waktu penutupan acara MOS. Nyanyi dong dia di muka kelas. Kelas mendadak hening saat dia bernyanyi.   “On a dark desert highway, cool wind in my hair.Warm smell of colitas, rising up through the air .Up ahead in the distance, I saw a shimmering light.My head grew heavy and my sight grew dim. I had to stop for the night. There she stood in the doorway. I heard the mission bell. And I was thinking to myself, This could be Heaven or this could be Hell. Then she lit up a candle and she showed me the way.There were voices down the corridor, I thought I heard them say.” Suara Rengga berat khas suara cowok.   Biasa aja sih suaranya, tapi mampu membius perhatian semua penghuni kelas, sampai guru wali kelas kami terdiam dan ikutan menatap Rengga yang bernyanyi dengan permainan gitarnya yang keren banget. Susahkan melodi lagu Hotel California milik The Eagles. Aku tau lagu itu, karena papiku suka sekali.   “Welcome to the Hotel California. Such a lovely place (Such a lovely place). Such a lovely face. Plenty of room at the Hotel California. Any time of year (Any time of year). You can find it here” lanjut Rengga pada bagian refrain lagu dengan suara serak hampir menjerit. Sisanya aku tidak mengikuti lagi lirik lagu itu. Aku tidak hafal, juga karena fokusku teralihkan pada gerakan lincah jemari Rengga pada senar gitar untuk menciptakan melodi indah lagu itu. Ampun babang….aku meleleh. “Melted…” rengekku saat dia kembali duduk di bangkunya di iringi tepuk tangan teman teman sekelas kami. Dia tertawa pelan. “Keren bro!!” puji Roland. Dia tertawa lagi. “Lagunya yang keren, gue cuma cover karena suka lagunya. Lagu kesukaan nyokap bokap gue zaman mereka masih pacaran” jelasnya. “Elo oldies ya Reng!!” komen Marina. Lagi lagi Rengga tertawa. “Lagu dulu itu di buat gak asal asalan, selalu ada cerita di balik pembuatan lagunya, beda dengan lagu lagu zaman sekarang yang lebih mementingkan sisi bisnis. Elo perhatiin aja, lagu lagu Beegess, Beatlles, Scorpion, Gun and Roses, ABBA, semua orang suka sampai sekarang. Lagu baru mah, setelah kita hafal liriknya, pasti langsung lupa, karena nilai historynya gak ada, jadi ya kesan sama lagu itu segitu doang” jawabnya. Kami tertawa lagi mendengar celotehnya. “Persis lagu Iwan Fals ya Reng?” cetus Roland. “Nah!!, salah satu musisi terbaik yang kita punya, juga Koes Plus” jawab Rengga. “Tuwir lagi Reng” cetus Marina meledek. Rengga cengar cengir. “Gak akan ada yang muda kalo generasi tuwir gak ada” jawabnya kalem. Sesantai itu seseorang yang mencintai seni secara mendalam. Jadi bisa merasakan dalamnya sebuah rasa di balik sikapnya yang tenang. Jadi ngelantur kemana mana. Aku harus focus pada audisi masuk ekskul Cheers yang peminatnya banyak, jadi anggotanya di batasi. Ada tiga lagu yang bisa di pilih untuk jadi lagu pengirim dance yang akan aku bawakan. Aku memlih Side To Side yang energic milik Ariana Grande, di banding lagu Desposito dan Shape Of You. Aku malas dance yang lemah gemulai, bukan aku gak bisa, hanya lebih suka dance yang penuh power. “Perlu mentor gak?” tegur kakak Lulu kakakku. Aku tertawa. “Butuh banget, ayo dong Kak kasih masukan koreonya” pintaku. Akhirnya aku dan kakakku dance bareng mencari gerakan yang cocok di ruang tengah rumahku, dua hari sebelum aku audisi. Aku bisa dance karena ikut kelas dance gara gara mamiku yang minta ditemani ikut klub dansa. Aku pikir daripada bengang bengong menunggu mamiku latihan, aku jadi ikut kelas modern dancenya. Eh kak Lulu minta ikutan juga, karena tidak suka latihan menembak sepertiku. “Elo jadi audisi Sin?” tegur Roland di hari audisi cheers sekolah. Aku mengangguk. “Gue nanti nonton deh, mau lihat elo dance. Kali bisa gue ajak elo ke komunitas free style gue” kata Roland lagi. Aku hanya tersenyum, aku menunggu komen Rengga yang diam saja dan sibuk membereskan bukunya ke tas. “Gue juga suruh teman gue, saranin gebetannya ikut audisi cheers supaya gebetannya gak di bully trus” kata Roland lagi. “Siapa?” tanyaku baru bereaksi. “Ada, nanti juga elo kenal. Keceh kaya elo” jawab Roland. Aku tertawa. “Cabut ya!!, cari genks gue dulu, biar seru nontonnya” pamit Roland. Aku hanya mengangguk melihat Roland beranjak menyusul Marina yang merengek ke kantin bareng di jam bubar sekolah. “Good Luck Sang Dewi” cetus Rengga lalu beranjak meninggalkanku. “HEI!!” jedaku. Dia menoleh. “Gak nonton gue?” tanyaku lalu menggigit bibirku. Dia tertawa pelan. “Takut khilaf lihat elo goyang” jawabnya lalu beranjak pergi. Astaga….babang….bikin gemes. Aku buru buru beranjak juga menuju aula sekolah. Sudah ramai setelah selesai aku ganti baju dengan celana pendek selutut dan kaos. Dari audisi juga aku kenalan dengan dua gadis berparas cantik yang timpang. Satu bule banget, yang satu wajah local sepertiku, tapi ketimpangan mereka tidak cuma parasnya saja, tapi sikap mereka. Karina si wajah local yang eksotis, bermulut ceriwis, sedangkan Queensha yang berparas bule, tipe pemalu. Waktu dia tampil dan di soraki gerombolan Roland dan genk, dia merona trus padahal dancenya keren. Dia bisa terlihat seksi sekali membawakan dance dengan lagu Shape Of You sebagai lagu pengiring. Aku sampai syok melihat penampilannya, dianya kelihatan focus, seakan tidak ada yang menonton. “Keren…” desisku. Karin menoleh sambil tersenyum. “Bule, apa sih yang dia lakuin gak serius?. Apa aja dia kerjain serius banget. Gak cuma dance” jawab Karin lalu menatap Queen dance sampai selesai. Dan setelah audisi, mereka berdua dengan ramah mengajakku membeli minum di kantin. Aku setuju, gak tau ya, mereka menyenangkan terutama Karin yang berceloteh seakan kami sudah kenal lama. Nah di kantin itu, akhirnya aku kenalan dengan genk Roland. Tiga cowok lain yang wajahnya keceh keceh dengan ciri khas masing masing. Ada yang bertampang galak, namanya Omen, lelaki ini yang ternyata jago taekwondo, aku sampai minta nomornya karena berharap bisa ikut latihan menendang dengannya. Taekwondo memang banyak gerakan menendang. Dua yang lain, aku tidak tertarik. Satu cowok keceh badai, aku sudah ill’fell duluan dengan cowok bertampang keceh hampir sempurna seperti Nino. Lagian dia terlalu sibuk menguntit Queen. Sampai Queen trus menerus mepet pada Karin dengan wajah merona. Lalu satu lagi, cowok bertampang jenaka. Abis ketawa trus dan ledek ledekan dengan Karin. Mereka sekelas seperti Nino dan Queen. Pusing kepalaku mendengar mulut Karin yang tidak berhenti mengajak tuh laki debat. Aku jadi jalan beriringan dengan Omen dan Roland. Queen mengekor di belakang kami dengan Nino, mereka terlihat mengobrol juga. Jadi aku abaikan, takut ganggu. Habis Nino itu seperti suka sekali pada Queen. Queennya malah malu trus. Keceh loh padahal dia tuh, bukan tipe gadis bule yang bikin bosan di lihat karena terlalu cantik. Di parkiran kami berpisah dan Karin setuju untuk bareng pulang denganku dan mengajak Queen juga. Roland dan genk berlalu dengan motor besar mereka secara beriringan. Aku hanya menyimak sepanjang jalan rumah Queen gimana Karin dan Queen saling ledek. “Cie….ganti nama juga jadinya gara gara lekong keceh nih?” ledek Karin. Queen cemberut di bangku belakang mobilku. “Ganti nama gimana?” tanyaku. Karin tertawa. “Jangan dengar Sin!!” rengek Noni. Aku ikut Karin tertawa, abis lucu sekali Queen tuh manjanya keterlaluan. “Masa Sin, si Nino tadi, langsung rubah nama teman gue jadi Noni” lapor Karin. “Karina….” rengek Queen merona lagi. “Cie Noni Bule…” ledek Karin lagi. Aku tertawa lagi karena gak ngerti. “Apa sih Noni bule?” tanyaku sambil memutar setirku saat Karin terbahak. Karin lagi lagi tertawa. “Tanya Ino tuh, mana gue tau kenapa manggil gue Noni bule” keluh Queen. Bukan reda, Karin semakin meledek. “Cie…Ino….emang Nino ganti nama juga?’ ledek Karin lagi. Noni semakin cemberut. “Asli gue gagal faham” kataku menjeda tawa terbahak Karin. “Gini loh Sin, dari hari pertama mereka sekelas, sama si Omen juga, si Nino itu udah manggil Queen Noni bule, karena katanya Queen itu persis Noni Belanda. Receh gak sih?, kompeni dong” ejek Karin lagi. “IYA!!, trus elo inlandernya, PUAS LO!!” bentak Queen lalu terbahak mengikutiku dan Karin. Kata ejekan penjajah Belanda pada orang pribumi bukan sih?, aku taunya begitu seperti di film si Pitung zaman dulu. “Elo ledek gue trus Karina, elo aja baper sama si TOBY” ejek Queen membalas. Siapa lagi coba?. “Dih bagian mana?” balas Karin masih tertawa. “Jiah amnesia Karina Dwi Mahardika” ejek Queen. Karin tertawa. Aku masih menyimak obrolan akrab mereka. “Elo kemarin kemarin bilang, si Toby beliin elo mie ayam juga kalo keluar main gara gara elo malas kena bully kakak kelas” kata Queen. Karin terbahak. “Belum si Toby yang dengar curhat elo soal mami elo yang gak jadi pulang ke rumah” tambah Queen. Baru Karin diam tapi wajahnya tersenyum. “Obi gesrek!!” cetus Karin pelan dan Queen terbahak. “Tuh elo aja manggilnya manis banget Obi….cie Karina…” ledek Queen membalas dan mendorong bahu Karin pelan. Aku baru ngerti, Toby itu Obi, cowok yang tadi mepet Karin trus sampai mereka berdebat terus. Jangan jangan, gebetan teman Roland itu ya Queen dan Karin. Habis mereka di pepet dua teman Roland trus. “Eh itu mah dianya yang gak mau di panggil Toby….” “Iya karena huruf T namanya udah di kasih elo, trus nama elo jadi TAYANG TAYANG” ejek Queen memotong. Baru Karin ikutan ngakak seperti Queen yang sudah lebih dulu ngakak. Serukan mereka berdua?, no baper. “Elo kenal cowok yang resek dan nyebelin kaya kita gak sih Sin?” tanya Karin setelah tawanya berdua Queen reda. “Iya Sin?, yang resek tapi baik hati?” tanya Queen sampai wajahnya di antara bangku depan mobil. Aku tersenyum. “Ada…tapi gak resek” jawabku teringat Rengga. “SIapa?, Roland ya?” tanya Queen antusias. Aku tertawa. “KEPO IBU!!” cetusku lalu terbahak sendiri. Mereka berdua kompak cemberut. “Nanti juga elo berdua tau, yang pasti bukan Roland. Gue alergi sama cowok charming macam Roland” kataku. Karin dan Queen tertawa. Kami lalu nyanyi nyanyi dari lagu di radio mobil sampai tiba di rumah Queen. “Mampir gak?” ajak Queen. Aku menggeleng. “Next deh, cape banget” tolakku. Mereka kompak mengangguk lalu keluar mobilku. Aku lalu berlalu setelah mereka berdua melambai. Mereka teman dari TK dari obrolan kami di mobil, pantas akrab sekali. Semoga mereka jadi temanku, itu sih harapanku. Abis seru aja mereka berdua tuh, no baper. Dan tidak saling merasa terintimidasi, Karin tau Queen cantik banget, tapi dia santai malah terus memuji kelebihan Queen. Queen pun begitu, aura ketulusan terpancar dari hubungan mereka berdua. Yang baper justru aku saat aku sudah sampai rumah dan menemukan status WA Rengga sejam lalu. Aku tiduran di ranjang kamarku dan melepas sepatuku sebelum aku membacanya. Menarilah dan terus menari. Gerakan jemari lentikmu, dan langkah gemulaimu mengikuti rangkaian nada. Aku yang terbius…. Aku lalu tersenyum sebelum membaca status WA berikutnya. Pesona sang Dewi yang begitu anggun, layaknya kepakan sayap bidadari…sampai aku tidak sanggup untuk berkedip walau sedetik saja. Aku jadi deg degan lalu bangkit terduduk membaca statusnya yang berikutnya. Hasratku terbangun dan gairahku tersulut… Aku terbelalak.                     Tapi bukan untuk menyentuhmu, Kau harus tetap indah untuk aku kagumi… Baru senyumku terbit. Oh Sang Dewi…Aku terkapar dalam pesonamu yang Agung….. Itu akhir dari status WA Rengga dan membuatku kontan respon statusnya. Reng elo nonton gue audisi? Itu isi chatku dan aku deg degan dengan balasannya. Sampai dia membalas beberapa detik kemudian dengan emot senyum. Taukan?. Elo nonton di mana?, chatku lagi. Cukup rasakan, gak perlu tau, balasnya. Aku mengerutkan dahiku karena aku tidak menemukan kehadirannya. Teka teki?, balasku. Dengar jeritan hati sang pengagum rahasia, pasti akan kau temukan jalan dimana dia berada, balasnya. “Astaga mami….” desisku lalu membanting tubuhku ke kasur lagi. Ini laki ngapa nyebelin amat ya?, aku ralat deh bilang dia gak resek. Resek gak sih kalo buat aku meleleh trus?. MELTED!!, balasku pada chatnya. WKWKWKW, baper lo!!. Balasnya. Aku menggeram membacanya. Siapa suruh bikin aku meleleh trus. Mau bilang itu statusnya bukan buat aku?, lalu sang Dewi mana lagi yang hari ini menari dan dia tonton?, masa iya ada sang Dewi lain, berarti bastart dong?. Aku jadi memijat keningku merasa pening. Awas aja sih Reng, PHP aku doang, aku tembak kepalamu!!.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD