42. The End

1076 Words
Rengga POV. Senin lagi, dan aku sedang mengantri membelikan bubur ayam di depan sekolah. Sinta tidak minta, malah di hari weekend kemarin, dia tidak ada mencariku. Biasanya ada telpon atau pesannya masuk hanya untuk menanyakan keberadaanku. Ini blass, tidak ada kabar darinya. Aku kirim pesan mengajaknya pergi pun, dia hanya baca. Jadi aku tidak berani menelponnya, takut dia semakin marah. Gara gara Febri jadi begini. Salah faham trus Sinta tuh, kadang aku bingung. Aku jujur bilang, kalo aku tidak ada perasaan apa pun pada Febri. Jangankan suka, menganggapnya ada aja gak. Hanya sebatas menghormati Febri sebagai sesame teman dan satu ekskul sie. Kesenian OSIS. Febri itu wakil ketua paduan suara sedangkan Noni ketua paduan suara sejak kelas 10. Bukan juga aku tidak ngerti, kalo Febri berusaha menarik perhatianku. Aku tau tingkah polah cewek menarik perhatian cowok. Ya memang sih, versi Febri itu berlebihan banget. Centil dan murahan caranya melakukan pendekatan. Gimana ya aku jelaskannya?. Bingung juga aku. Kalo Sinta, Noni dan Karin memang kelihatan juga ketertarikannya pada aku, Nino atau Obi, tapi mereka tetap menunjukan sikap gengsi untuk mendekat lebih dulu, atau mencari perhatian lebih dulu. Kadang kelihatan malu malu mau, kadang galak banget. Febri gak gitu, pendekatannya tidak cantik. Febri itu lebih suka membangun obrolan tepi jurang menurutku. “Gue pikir Andi doang Reng yang jago main gitar, elo juga jago ya?” tanyanya malah mendekat padaku di banding mendengar briefing Purti sebagai ketua Kesenian OSIS, saat acara MOS minggu kemarin. Aku tidak ikutan, Putri seperti percayakan ekskul teater sekolah padaku, dia lebih suka focus pada ekskul paduan suara atau cheers, karena dia ngerti. Kalo ekskul teater, mungkin dia tidak mengerti banyak. Taukan kalo di kegiatan MOS sekolah, ada sesi di mana setiap ekskul sekolah memperkenalkan ekskul dari kelas ke kelas. Selain untuk membanggakan prestasi yang pernah di capai ekskul tersebut, juga untuk menarik minat siswa baru untuk ikut masuk ekskul tersebut. Terkadang banyak siswa enggan ikutan ekskul dan memilih diam di rumah saat weekend datang dari pada datang ke sekolah lagi. “Elo bukan ikutan dengerin briefing Putri” jawabku berusaha mengabaikan kehadirannya. Andi juga resek, bukan menemaniku, malah ikutan gabung dengan Purti dan yang lain. Susah sih kalo pacar, maunya dekatan terus. “Males Reng, ada Queen ini, dia kan suka pamer kalo dia pinter. Jadi biar aja dia yang nanti ngomong depan kelas, gue mah kaya pelengkap doang” jawabnya lalu duduk di hadapanku setelah menarik bangku. Aku tertawa pelan. Sudah tau orang meragukan kredibilitasnya, bukan belajar, malah memilih cuek dan tak perduli. Jadi jangan salahkan Noni atau Queen yang dia sebut tadi. Gak Cuma Noni kok, Sinta dan Karin aja serius mendengarkan Putri. Kebanggaan tersendiri bukan kalo ekskul yang kita ikuti memiliki prestasi?. “Ajarin gue dong Reng” pintanya lalu menjeda tanganku yang bertahan memetik gitar milik Andi untuk membunuh waktu. Aku menatapnya berharap dia melepas tanganku. Dia malah menggigit bibirnya sok seksi. “Maaf, jadi pegang pegang, habis elo cuekin gue” jawabnya dan bukan lepas tanganku. Aku jadi risih sendiri. Aku lepaskan juga gitar dan memberikan padanya. “Gimana caranya Reng?” tanyanya setelah berhasil memangku gitar. Aku menghela nafas. “Gue bukan guru les gitar, elo minta ajarin Andi aja, apa Queen, mereka juga jago main gitar” jawabku. Dia berdecak. “Queen lagi. Heran!!. kenapa orang apa apa Queen sih?. Kaya dia sempurna aja” jawabnya. Aku diam tidak komentar dan memilih menatap Sinta dan yang lain dari posisiku. “Sampai Baim aja ikutan” lanjutnya terdengar kesal. Baru aku menatapnya sekilas. “Bukan elo sama Baim pacaran?” tanyaku. Dia tertawa. “Udah putus, baru dua hari kemarin. Gara gara Queen juga” jawabnya lagi. Aku jadi mengerutkan dahiku. “Baim tuh ngefans berat dari dulu sama Queen tuh. Takut sama Omen aja makanya diam diam sukanya. Elo taukan Omen hajar Andrean gara gara Queen?” tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan. “Herankan lo, kenapa semua orang anggap Queen penting banget?. Gak cuma Omen, Nino juga, sama siapa deh dua teman Omen?” tanyanya lagi dan lagi. “Obi sama Roland” jawabku. “Nah mereka, cowok cowok keren sekolah semua. Padahal cuma gara gara Queen bantu supaya lolos DO doang. Apa kerennya?. Semua balik ke usaha mereka sendiri buat lolos dari hukuman, bukan sepenuhnya karena Queen” katanya terdengar semakin sewot. Aku jadi mengerti kenapa dia malas bergabung mendengarkan briefing. Febri itu beneran tidak tau, gimana kerja keras Noni membantu dan menyemangati Nino dan trio curut belajar. Fabri hanya melihat hasil akhir dan tidak menghargai proses. “Apa hubungannya elo putus sama Baim, sama Queen?” tanyaku jadi bingung. Dia berdecak. “Gak tau. Gue juga udah bosen kok sama Baim” jawabnya Aku mau tertawa kok ya kasihan. Dia bilang bosen pada Baim?, yang ada sebaliknya, Baim yang bosan padanya. “Ayo apa Reng, elo aja yang ajarin gue. Apa mesti gue cipok dulu?, apa jadian sama gue dulu?” kejarnya. Aku tertawa. “Siapa yang cipok dan siapa yang jadian?”. Aku langsung bangkit dari dudukku karena tidak menyadari kalo Sinta sudah mendekat dan menjeda obrolan kami. “Sin, udah briefingnya?” tanyaku. Bukan jawab malah menatap jutek pada Febri. “Elo kenapa gak dengar Putri ngomong?. Kok ya malah sibuk sendiri. Elo ngerasa pinter?” omel Sinta tapi lirikan matanya tak lepas dari Febri yang bertahan memangku gitar. “Gak gitu Sin…” sanggahku. “Atau merasa penting makanya elo gak hargain orang ngomong?” tanya Sinta sekarang beralih padaku. Hadeh…harusnya jadi warning untukku. Tapi malah aku abaikn. Dan jadi berlarut larut seperti ini. Aku memang bodoh. “Ini bubur elo Sin!!” kataku menyerahkan box berisi bubur ayam kesukaannya. “Gue udah sarapan” jawabnya galak. Aku lirik Karin yang menghela nafas waktu aku taruh box bubur di meja tukang bakso. “Hargain kali, Laki yang berusaha hargain kesukaan elo” protes Karin. Sinta gak jawab juga sampai Karin melirik bungkus berisi box bubur itu. “Gue aja gak di hargain, ngapain benar. Ingat dong elo, kalo manusia berlaku segimana mereka di perlakukan” jawab Sinta lalu bangkit dari duduknya lalu beranjak. “WOI!!. Bubur elo” jerit Karin. “Makan, atau buang sampah, gue juga berniat masukin sampahan, orang yang udah beliinnya” jawabnya. “Astaga….” desisku dan Karin terbahak. “Kelas hidup elo Reng!!!!” ejeknya. Hadeh…benar Karin, kelar hidup aku. Hanya bisa mengelus d**a setelah aku menepuk jidat. Aku di anggap sampahan dong. Kok ya tega sekali. Aku jadi duduk lesu di bangku bekas Sinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD