-Enam tahun yang lalu-
Melbourne, June 10th, 2015
Dear Aliska Ibrahim,
Love is not complicated language. It’s only able to be understood by the God. Love is a condition where it was very capable to be the reason of my life or death. I love you in silence. I adore you all the time. I miss you everyday. And I want you to be a special person in my life. Hope you can love me too and we can love each other.
Love you,
-BW-
Sebuah surat tanpa nama pengirim terjatuh dari lemari loker milik Aliska di kampus. Sontak ia terkejut melihat surat misterius yang ditujukan untuknya itu. Ia membolak-balik surat itu dengan mata menyipit. Karena penasaran, akhirnya ia pun membuka surat itu dan membacanya.
Seketika Aliska tercengang dengan surat yang ia baca. Tangannya bergetar dan mulutnya menganga. Siapa yang sudah mengirimiku surat cinta seperti ini? Gadis cantik itu bergumam dalam hati. Lalu menaruh surat itu kembali ke dalam loker.
Saat Aliska hendak menutup lemari loker, ada seseorang yang datang dan menepuk bahunya.
"Liska, lunch bareng yuk! Aku lapar," ajak seorang gadis cantik yang wajahnya serupa dengan Aliska. Absolutely, she is Alina Fayra Ibrahim. Wanita berparas rupawan dengan kulit seputih porselen datang sambil mengibaskan rambut dark brown yang terulur sampai sepinggang.
“Hei Lina, kau mengagetkanku,” celetuk Aliska sambil menaikan salah satu alisnya yang berkerut.
Alina terkikik melihat ekspresi takjub saudara kembarnya itu. “Kenapa kau, Lis? Sampai melamun begitu. Any problem?”
Aliska menggeleng pelan kemudian mengambil surat misterius dari dalam lemari loker untuk diserahkan pada wanita itu.
“Baca ini, menurutmu bagaimana? Who is he?”
Alina meraih surat dari tangan Aliska dan ia pun membacanya dengan mulut menganga.
“Wow, surat cinta … ada yang menyukaimu diam-diam. Hmmm.. so sweet…” goda Alina sambil mengerling ke arah saudara kembarnya. “Wait! Di sini tertulis BW... siapa ya, dia? Bryan White? Dia pria yang cukup terkenal di kampus ini. Punya prestasi yang gemilang sebagai Australian Football Player… Tapi dia sudah punya kekasih. Dan kekasihnya adalah anak wakil rektor Melbourne University. Hmmm… kayaknya nggak mungkin dia ya.”
“Yang benar saja, jelas bukan dia! Selain itu?” tanya Aliska penasaran.
Alina memutar bola matanya dan mencoba menerka-nerka siapa pria misterius itu. Kemudian wajahnya sumringah. “Eh aku tahu … aku tahu …”
“Siapa? Siapa?” tanya Aliska antusias.
“Bruce Willis … “ ucap Alina diiringi tawa kecil dari saudara kembarnya itu. Sengaja bercanda dengan si kembar agar tak terlalu serius menanggapi pria misterius itu.
Aliska tak terima lantas memberontak. “Hmm … mulai lagi ini. Jangan ngawur! Masa aku ditaksir kakek-kakek. American actor pula… Aku nggak lagi bercanda.”
“Hahaha… maafkan aku. Kau terlalu serius sih. Let me guess! Apa mungkin dia adalah teman seangkatanku di teater? Kau tahu Brandon Walker?”
Aliska mengangkat bahu. “I don’t know. Who is he?”
“Tahu nggak, dia itu pria menyebalkan. Perfeksionis dan sering cari muka pada dosen. Tapi cukup tampan sih. Cuma terkesan angkuh. Mungkin juga pria itu adalah dia. Coba nanti aku tanya dia saat ada kelas teater.”
“Iya, terima kasih ya, Lina. Aku penasaran saja siapa lelaki ini.”
Alina mengangguk kemudian merangkul bahu saudara kembarnya itu. “Yuk, ke kantin!”
Kedua gadis cantik itu pun berlalu menuju kantin kampus. Memilih duduk di bagian ujung kantin yang lebih nyaman untuk ditempati dengan pemandangan taman kampus yang indah. Angin sepoi-sepoi menjalar masuk ke dalam sudut ruangan dimana kedua gadis itu duduk. Menerpa rambut terurai kedua gadis kembar itu. Sesekali Aliska menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya karena hembusan angin. Memperlihatkan wajahnya yang cantik itu tengah dipandangi oleh sesosok pemuda tampan dari seberang tempat duduk mereka. Mengagumi gadis itu dengan mata berbinar. Ia adalah Bonaventura Walcott.
Laki-laki yang dicari oleh Aliska berada di dalam ruangan yang sama. Beberapa kali mencuri pandang ke arah gadis itu dengan memegang sebuah buku yang dijadikan sebagai penutup wajah. Sebagai alibi tentunya agar dapat mengintip wajah gadis yang ia puja itu. Terlihat dari buku yang dipegang, Bonaventura adalah seorang mahasiswa semester akhir jurusan Ekonomi dan Bisnis. Pemuda itu berparas sangat tampan dengan wajah blateran Australia-Indonesia yang melekat pada dirinya. Berkulit putih, berambut cokelat, dan bermata hazel. Memiliki postur tubuh atletis, hidung mancung, tinggi tegap, dan sekitar tubuhnya tumbuh bulu-bulu tipis. Ia tetap memandangi gadis itu hingga jam makan siang berakhir.
“Aku masuk kelas dulu ya, Liska. Ada kelas teater setelah ini. Nanti akan kutanyakan pada Brandon apakah dia yang menulis surat itu,” ucap Alina diikuti anggukan dari sang saudara kembar.
“Iya... tapi jika kau tanya, jangan yang aneh-aneh! Biasa saja saat bertanya,” celetuk Aliska sambil menatap serius ke wajah Alina.
Alina terkikik melihat ekspresi saudaranya itu. “Beres, tenang saja, Liska! Aku takkan membuatmu malu. Ya sudah, aku pergi dulu ya!”
Gadis itu berlalu sambil menenteng beberapa buku dan shoulder bag Kate Spade fuchsia miliknya. Meninggalkan Aliska yang telah menghabiskan makan siang dan siap beranjak dari kantin juga. Aliska segera berdiri dari kursi seraya mengikat rambut hitamnya ekor kuda. Kemudian bergegas menuju perpustakaan kampus guna menyelesaikan tugas untuk perkuliahan besok.
Hal yang sama pun dilakukan oleh Bonaventura. Lantas memasukkan buku yang ia pegang dengan cepat sambil mengekor pada Aliska. Hingga tiba-tiba langkah gadis itu terhenti dan membuat pemuda yang tengah mengikutinya itu panik. Dengan sigap pemuda itu langsung mencari tempat persembunyian agar tak diketahui Aliska. Saat gadis itu menoleh, ia tak menemukan siapa-siapa di belakangnya. Sehingga membuatnya melanjutkan perjalanan ke perpustakaan.
Selama tiga jam Aliska berada di perpustakaan. Sibuk mengerjakan tugas pada mata kuliah pengkajian prosa Inggris. Mencoba menulis narasi dalam cerita yang ia buat. Membutuhkan waktu berjam-jam untuk mengerjakan itu. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 p.m. Sudah waktunya ia untuk bergegas pulang. Sebelum keluar dari perpustakaan, muncul gadis cantik yang langsung menghampirinya.
“Liska, ada kabar buruk untukmu.” Alina berkata sambil menatap sang saudara kembar dengan raut muka kecewa.
“Apa itu, Lina?” tanya Aliska penasaran.
Alina berdecih lirih. “Lupakan ucapanku tentang Brandon Walker! Bukan dia yang menulis surat itu. Dia dengan angkuhnya membantah. Laki-laki itu tak pernah mengenalmu ataupun melihatmu.”
Aliska mengangguk setuju. “Sudah kuduga kalau bukan dia. Kita baru masuk kampus ini bulan Februari kan? Itu artinya masih sekitar empat bulan menjadi mahasiswi di sini. Aku juga jarang ke gedung jurusanmu.”
“Ya sudah, kita lupakan saja si BW itu. Kalau memang dia gentleman, dia pasti akan menunjukkan wajahnya padamu, Liska. Jadi nggak perlu pusing buat mikir,” tukas Alina mantap.
“Iya, kau benar. Aku lelah. Ayo kita pulang ke apart!” ajak Aliska sembari menggandeng lengan saudara kembarnya itu.
Mereka pun bergegas pulang ke apartment di Elizabeth Street, Melbourne. Selama berkuliah di Melbourne, kedua gadis kembar itu menetap di Student Housing Australia yang memasang tarif sewa seharga $340 per pekan. Hanya tinggal berjalan kaki untuk menuju Melbourne University dan juga bisa menggunakan tram access bagi yang enggan berjalan kaki.
Akibat jadwal kuliah yang padat, kedua gadis kembar lebih memilih untuk naik trem gratis di kota Melbourne. Mereka memilih menaiki City Circle Tram No 35 yang bisa digunakan untuk mengelilingi kota Melbourne setiap 12 menit. Perlu waktu selama 48 menit untuk menempuh keseluruhan rel. Trem ini melewati beberapa halte tempat wisata utama di Flinders Street, Federation Square, Harbour Esplanade, Docklands, dan Queen Victoria Market.
“Lina, kita mampir pasar dulu ya sebelum pulang. Aku mau masak buat nanti malam,” ajak Aliska sembari melayangkan pandangan pada sebuah bangunan tua yang berada di ujung jalan.
Alina mengangguk sambil mengunyah permen karet favoritnya.
“Okay... by the way, kenapa ya masakan buatanmu lebih enak daripada masakanku?”
Aliska mengedikkan bahu. “Mungkin karena aku lebih mirip nenek ketimbang kamu.”
“Iya juga sih, sudah sampai pasar ini. Ayo kita turun!” ajak Aliska sembari bergerak maju untuk turun dari trem diikuti saudara kembarnya.
Kali ini Aliska dan Alina berniat mengunjungi Queen Victoria Market terlebih dahulu sebelum pulang ke apartment. Mereka ingin membeli beberapa bahan pokok untuk memasak makan malam. Tak lupa juga membeli nutella doughnuts di Café Verona yang menjadi favorit kedua gadis kembar itu. Berjumpa dengan Chef Lazarro dan Barista Joe yang ramah dan menyenangkan.
“Thank you for coming, dear! Have a nice day yeah,” ucap Chef Lazarro ketika kedua gadis kembar hendak keluar dari cafe-nya.
“You’re welcome, chef. Have a nice day, too!” Alina menyahuti ucapan sang chef.
Queen Victoria Market terletak di Elizabeth Street. Lokasi jalan yang sama dengan apartment sang gadis kembar. Bentuk pasar berupa gedung tua khas Eropa dan sebagian besar pasar ini berdiri di bekas lahan makam warga. Pada saat pasar dibangun, lebih dari 10.000 mayat dipindahkan. Tampak menakutkan juga jika mengetahui sejarahnya.
“Liska, kamu merasa takut nggak belanja di sini?” tanya Alina sedikit ngeri.
“Enggak, kenapa?”
“Sejarahnya kan di sini kan bekas makam. Bayangkan ada sepuluh ribu mayat dipindahkan.” Alina berkata antusias.
“Iya aku tahu. Pernah dibahas di kampus tentang Sejarah Australia.”
Selesai berbelanja, Aliska dan Alina memutuskan untuk segera pulang. Kali ini mereka hanya berjalan kaki mengingat lokasi apartment yang lebih dekat dengan pasar. Student Housing Australia memiliki pengamanan yang ketat bagi mahasiswa. Menjamin kenyamanan dan keselamatan mahasiswa yang tinggal di sana.
Pada setiap apartment terdapat satu kamar tidur yang berisi dua ranjang twin bed atau satu ranjang double bed. Kedua gadis kembar itu memilih satu kamar tidur dengan ranjang twin bed. Di dalam kamar terdapat jendela besar dan sliding door yang mengarah pada sebuah balkon untuk dapat menikmati pemandangan kota Melbourne. Aliska pun sering menghabiskan waktu di sana saat sedang mengerjakan tugas pembuatan prosa dan puisi Inggris. Menurutnya akan lebih mengasyikan menulis sambil ditemani pemandangan cantik kota Melbourne.
“Liska, aku mandi dulu ya! Kelas teater membuat badanku remuk. Setelah mandi aku mau istirahat,” ujar Alina sembari meraih handuk yang tergantung di jemuran depan kamar mandi.
“Ok, mandilah! Aku juga lelah tapi aku mau menyiapkan makan malam kita dulu,” sahut Aliska seraya mengambil bahan-bahan makanan yang berada di dalam tas belanjanya. Ia pun sibuk memotong daging dan sayur-sayuran yang telah dibeli. Berencana memasak tenderloin steak untuk makan malam mereka.
Hingga hari demi hari dilalui kedua gadis kembar itu selama berkuliah di Melbourne University. Setelah empat tahun berlalu, akhirnya mereka menjadi Bachelor of Arts. Selama empat tahun itu pula teka-teki mengenai surat cinta Aliska tidak terjawab. Sosok pria misterius itu tidak pernah muncul. Menganggap pria itu memang tidak pernah ada dan hanya sebuah lelucon semata.
***
Kantor Jakarta English Course (JEC) yang terletak di Jakarta Pusat tampak lebih ramai hari ini. Apalagi telah menginjak tahun ajaran baru malah membuat kantor sesak dengan banyaknya siswa yang mendaftar les bahasa inggris. Aliska pun berjalan menerobos keramaian di sana agar dapat segera sampai ke ruangan kerja. Ketika hendak memasuki pintu ruangan, langkahnya harus terhenti dengan kemunculan seorang gadis di depannya.
“Welcome, Mum Aliska! Selamat datang kembali ke JEC,” sapa Marsha seraya tersenyum simpul.
“Iya ini setelah cuti dua minggu lebih baru bisa masuk kerja lagi. Selama aku cuti bagaimana keadaan kantor ini?” tanya Aliska penasaran.
“So far everything is going well, Mum. Hanya saja ada yang sedikit aneh dengan pimpinan kita.”
Aliska mengernyit saat mendengarnya.
“Maksudmu siapa? Mister Bona?”
“Memangnya mau siapa lagi? Aku punya janji cerita padamu kan. Saat kita longgar akan kuceritakan. Ya sudah ayo kita masuk! Sebentar lagi kau mengajar kan?”
“Iya, mau mengajar kelas intermediate pagi ini,” jawab Aliska sambil mengedarkan pandangan pada meja kerjanya yang tampak mengejutkan.
Aliska menelisik meja kerja yang penuh dengan buket bunga beserta kartu ucapan dari para guru dan staff kantor. Terdapat lima potong kue tart di atas meja. Ia segera menghampiri meja yang terasa ramai itu takjub.
“Marsha, ini semua dari teman-teman?” tanyanya setengah tak percaya.
Marsha mengangguk. “Iya, ada kartu ucapannya kan? Coba kau baca semua!”
Dengan cepat Aliska meraih kartu-kartu ucapan itu. Semua kartu berisi tentang ucapan selamat atas pertunangannya. Tetapi ada satu kartu yang menarik perhatian gadis itu. Kartu berwarna merah hati yang di dalamnya tertulis nama sang pengirim yaitu Bonaventura Walcott. Matanya membelalak lebar saat membaca tulisan yang tertera di situ.
Dear Mum Aliska,
Happy Engagement for you. I wish you have a happy life and good time in your marriage later.
P.S : Meet me in my office room after you have taught.
Best regards,
Mr. Bonaventura Walcott
Aliska tercengang setelah membaca pesan dari Bonaventura. Dari kartu ucapan tersebut, ia diminta sang pimpinan untuk bertemu di ruang kerjanya setelah mengajar. Seketika membuat gadis itu bertanya-tanya perihal pertemuan mereka nanti. Tak ingin memikirkan itu, Aliska berlalu menuju kelas intermediate sembari mengedikkan bahu tak paham.
Selesai mengajar Bahasa Inggris di kelas, Aliska bergegas menuju ruangan Bonaventura. Dengan menarik napas panjang ia bergerak maju membuka pintu ruangan. Sembari melayangkan pandangan ke dalam ruangan sang pimpinan, ia melihat sosok lelaki jangkung dan bertubuh atletis tengah sibuk menggoreskan pena pada sebuah kertas. Saat gadis itu berjalan menghampiri, pria itu mengangkat wajah dan tampak raut muka datar tanpa ekspresi. Memperlihatkan wajah tampan blasteran Australia – Indonesia yang dimiliki pria itu.
“Congratulations for your engagement! Selamat atas pertunanganmu!” seru Bonaventura seraya mengulurkan tangan yang disambut dengan jabat tangan Aliska.
“Thank you, Mister.”
Bonaventura mengamati gadis cantik di depannya itu. Jantungnya berdebar saat melihat paras cantik dari seorang Aliska Ibrahim. Gadis itu berwajah simetris, mata lentik, dan dagu manis. Ia berperawakan ramping dan terdapat sedikit wajah timur tengah dari sang ayah. Aliska berdarah Sunda-Pakistan. Darah Sunda dari sang ibu sedangkan darah Pakistan dari sang ayah. Namun ia kelahiran Jakarta. Sekilas memandang gadis itu membuat pupil mata Bonaventura membesar yang menandakan jika pria itu tertarik pada gadis di depannya.
“Duduklah dulu, aku mau bertanya,” sahut Bonaventura sambil melipat tangan di d**a.
Aliska mengambil posisi duduk yang nyaman kemudian menatap tajam sang pimpinan.
“Iya, Mister. Ada apa?”
“Mengapa kau tidak mengundangku pada acara pertunanganmu?” tanya Bonaventura dengan raut muka menegang. Membuat Aliska jadi tampak canggung.
“Maaf Mister, bukan bermaksud tidak mau mengundang Anda tapi pertunangan itu sangat mendadak dan saya hanya mengundang teman-teman terdekat saja.”
“Oh begitu, tapi saat pernikahanmu kau akan mengundangku kan?”
“Tentu saja, sudah saya siapkan undangannya. Beberapa hari lagi akan saya sebar,” jawab gadis itu mantap.
“Oke, mengenai rencana pernikahanmu itu mengapa sangat mendadak? Calon suamimu itu bukan kekasihmu kan?” tanya Bonaventura penasaran. Sungguh menjadi pertanyaan yang menohok bagi gadis itu.
Aliska terdiam sejenak kemudian menjawab pertanyaan Bonaventura seraya menghembuskan napas.
“Maaf Mister, itu privasi saya. Saya tidak berhak menjawabnya.”
Usai mengucapkan kalimat itu, membuat bibir Bonaventura berkerut. Suasana menjadi bergeming. Tak lama kemudian secara tiba-tiba ponsel Aliska berdering. Gadis itu segera merogoh sakunya untuk melihat nama si penelepon. Ternyata adalah Abiyasa Airlangga. Mengakibatkan dirinya menjadi semakin canggung untuk menjawab.
“Jawab saja teleponnya! Calon suamimu kan?” tanya Bonaventura dengan raut muka tak rela ketika tahu si calon suami menelepon. Apalagi saat melihat cincin pertunangan yang bertengger di jari manis Aliska, mukanya berubah masam. Tak sanggup harus melihat ada sebuah cincin berlian di jari manisnya.
“Saya angkat di luar saja ya, Mister!” sahut gadis itu terburu-buru.
Bonaventura menggeleng.
“Tidak, jawab di sini saja! Tolong di-loudspeaker!” perintahnya lagi.
Ucapan Bonaventura lagi-lagi membuat Aliska terlonjak. Apalagi melihat tatapan memohon dari Bonaventura makin membuatnya gelisah. Ia pun terpaksa menjawab telepon Abiyasa di depan Bonaventura.
“Halo…”
“Liska, ini sudah jam makan siang. Aku mau mengajakmu makan siang di dekat sini. Aku sekarang sudah ada di depan kantormu. Keluarlah!” ucap Abiyasa dengan suara agak serak.
Aliska tertegun. Berniat menjawab tapi tidak di depan Bonaventura seperti ini. Ia pun nekat izin keluar ruangan. “Mister, saya mau izin beristirahat. Saya keluar dulu.”
Kata-kata yang mengalir dari mulut gadis itu membuat Bonaventura lemas. Pria itu melihat gadis yang dicintainya itu segera melangkah keluar dari ruangan. Memilih akan menemui sang rival yang sudah sejak dulu menjadi saingannya itu. Ketika dulu mereka bersaing tentang bisnis, kali ini bersaing tentang wanita. Hatinya menangis setelah mengetahui rencana pernikahan mereka. Merasa telah terlambat untuk menyatakan cinta pada gadis yang telah ia cintai sejak kuliah itu. Serasa ‘ditikung’ oleh Abiyasa Airlangga.
Bonaventura menyaksikan kepergian Aliska dan Abiyasa dari jendela ruangannya. Sepasang calon suami istri itu pun menghilang dari pandangan pria yang tengah tersulut amarah tersebut. Rasa sakit itu membuatnya duduk terpaku di tempat sembari mencengkeram ujung meja. Kesal dengan pemandangan yang baru saja ia lihat.
***