Bab 2 Dunia Cinta Duo A

1766 Words
Aiyra Sybilla POV             Pasti kalian juga bertanya, apa kami pernah berebut cowok? Atau mungkin mencintai cowok yang sama? Atau mungkin cowok yang kusukai lebih suka adikku? Yaps, jawabannya adalah separuh separuh. Pertama, kami tak pernah berebut cowok. Selera kami beda. Ara sangat suka cowok yang usianya 5 tahun di atasnya, dewasa, dan bukan aparat negara. Sedangkan, aku lebih suka cowok sebaya dan harus aparat negara. Ya, aku tergila-gila pada aparat negara terutama tentara sejak jadi anak papa. Menurutku mereka itu keren banget dengan seragamnya. Mereka masih muda tetapi sudah mengabdi pada negara. Dan lagi mereka pasti dewasa dan bisa menampung semua kemanjaanku.             Kedua, kami pernah mencintai cowok yang sama. Namanya Noah, teman sekelas Amirra. Adik kelasku. Jadi waktu itu Ara masih kelas 1 SMA dan aku kelas 3 SMA. Dia punya teman bernama Noah. Entah kenapa kami bisa suka pada cowok yang hobi main basket itu? Mungkin karena Noah punya pesona yang menurut anak SMA keren. Tapi itu sudah lama kok. Sekarang, kami tak pernah seperti itu. Sebab saat itu Amirra menolak perasaan Noah ketika menyatakan cinta di lapangan basket. Otomatis membuatku gagal sebelum berkembang.             Ketiga, pernah ada cowok yang kusukai lebih suka pada adikku. Kuingat dia bernama Dyon, teman sekelasku di kampus. Dyon terpesona akut pada Ara ketika tahu Amirra menjemputku. Apa yang aku lakukan saat itu? Mendepak Dyon atau memarahi adikku? Salah semua! Jawabannya adalah Dyon dilabrak Amirra dengan judes dan galak. Amirra tak suka Dyon merusak persaudaraan kami. Huu, adikku sungguh manis di balik sikap judesnya. “Senang ya kita bisa makan bersama kayak gini,” ungkap mama bahagia sambil menyendok nasi goreng telur sosis, masakan legendaris keluarga yang enak sekali. “Bener Mam. Apalagi kalau mama nyuapin Baby A!” kataku manja yang diikuti wajah aneh Amirra. “Aiyra, kamu sudah besar gak usah kayak anak bayi,” celetuk papa yang membuatku pias. “Ih papa. Kata papa, sebesar apapun Aiyra tetap jadi anak bayi papa,” kataku sambil cemberut. “Iya-iya, tapi gak semanja itu Nak,” ucap papa pelan. “Siap salah, Pa,” ucapku pias sambil menyendok nasi goreng. “Loh, Ara kok gak semangat makannya?” tanya mama lembut. Aku melirik Si Judes. “Malas Mam. Gak nafsu. Udah mual dengerin suara Kak Aiyra,” duh, nih judes ya! Gak bisa banget lihat kakaknya seneng. Kemudian terdengar suara tawa geli papa dan mama. Hem, sabarrr. “Tuh denger sendiri kan, Kak? Adeknya mual gegara kakaknya,” celetuk papa yang membuatku harus mengelus d**a. “Gak terasa ya Pa, anak-anak udah besar. Kayak baru kemarin mama melahirkan mereka,” ucap mama yang membuat suasana berubah. “Iya Mam, udah besar dan dewasa. Sebentar lagi sudah siap menikah. Papa harus mulai hunting lelaki baik buat mereka,” hem, sikap protektif papa mulai lagi. “What? Married? Maaf ya papa, mending Ara sekolah dulu sampai tinggi. Amirra gak mau mengulang nasib mama dan papa. Apaan tuh terjebak dalam perjodohan,” ceplos Ara yang tidak sependapat denganku. Aku malah ingin menikah muda. “Emangnya kenapa Dek? Kan malah asyik nikah muda. Gak terjebak pacaran kayak kakakmu tuh!” celetuk mama. Ih mama, suka bener deh ngomongnya! Hiks. “Ya udah kalau gitu nikahin kakak duluan aja. Jangan sampai Ara yang jadi percobaan,” tolak si judes lagi. Iya sih, dalam segala hal Amirra selalu didahulukan. Sebab ya itu tadi, dia jauh lebih dewasa dariku. Contoh dalam hal membawa mobil. “Tenang aja Dek. Gak usah emosi dulu,” goda papa santai sambil menyesap teh manis. “Pa, Aiyra nikah duluan juga gak apa-apa,” kutawarkan diriku dengan suka hati papa. “Aiyra, bedakan dulu beras dan pasir sana baru mikir menikah,” ucap papa yang membuatku cemberut lagi. “Ih papa! Kalau untuk urusan menikah Aiyra rela kok jadi yang pertama,” ucapku memohon. “Bener juga tuh Pa,” timpal mama yang tampak setuju. “Okay, nanti papa undi ya? Yang mana saja boleh asal menikah dengan jodoh pilihan papa,” ucap papa diplomatis dengan sedikit unsur otoriter. “Masak nikah berasa undian doorprize, Pa!” ceplos Amirra kesal. Aku tahu dia sudah ingin menghilang dari tempat ini. “Ya kok undian Pa!” timpalku sedih. “Jadi dijodohin Pa?” tanya Amirra tak suka. Dia kan paling anti dengan kata perjodohan. Dia tak suka dikatakan anak hasil korban perjodohan. Ya elah Ara, walau hasil perjodohan kita kan tetap terlahir dari cinta. Dih, nih anak kaku amat! “Kalau mama dan papa mau adakan pernikahan muda, perjodohan dan sejenisnya, Amirra out! Ara bilang no!” pungkas Amirra sambil mengerucutkan bibir dan melipat kedua tangannya. “Okay, jangan menyesal Sayang. Daripada nanti kalian salah pilih, mending papa pilihkan saja lelaki terbaik buat kalian. Itu salah satu tugas papa sebagai orang tua yakni memilihkan pendamping hidup terbaik buat kalian,” putus papa tegas. Agree, Papa. “Papa, ini bukan zaman Siti Nurbaya,” ucap Ara putus asa. “Papa dan mama juga ketemu dari perjodohan, Dek. Buktinya ada kita sekarang kan? Ya kann?” godaku ceria pada Dedek Duwa super judes. “Ah, no comment!” aku geli melihat wajah frustasi adikku. Demi apa acara sarapan mengasyikkan ini jadi sekaku ini? Semua karena satu kata, perjodohan. --- Amirra Savannah POV             What? Perjodohan? Kata absurd apa lagi itu? Sumpah ya tuh kata gak bisa dihapus aja dari KBBI? Sumpah demi apa acara makan pagi yang cozy jadi garing kriuk-kriuk kayak kerupuk sejak papa menyebut kata terkutuk itu. Please, aku gak mau menyerahkan nasib pada semacam perjodohan. Menurutku, perjodohan adalah hal yang paling aneh sedunia. Demi apa cinta kok dipasang-pasangin kayak burung.             Demi apalagi papa mau mengadakan undian dalam perjodohan ini? Papa nih menentukan nasib percintaan dan masa depan anaknya semudah itu. Dikira nikah itu cuma mainan semacam rumah-rumahan gitu ya? Dikira juga anak gadisnya ini undian doorprize jalan sehat? Papaku oh papaku, tahu sih orang tuaku korban perjodohan, korban bahagia. Tetapi, jangan ulang sejarah kelam itulagi kenapa sih? Makin terbukti deh kalau sejarah itu selalu berulang. Kumohon, lesapkan saja aku dari rencana papa dan mama, Ya Allah. Aku tak mau terjebak undian perjodohan aneh itu. “Dek, have a nice day ya?” pecah suara Kak Aiyra sambil bertengger di pintu mobil dinas papa yang akan mengantarnya ke kampus. Om Wahyu sudah tersenyum manis di belakang kemudi. “Ya, kakak juga,” balasku lesu. “Tenang aja, pasti kakak kok yang kepilih di undian nanti. Kamu kan masih 17 tahun dan masih sekolah. Jadi papa gak mungkin milih kamu,” kata Kak Aiyra dengan wajah berbinar dan suara sok imutnya. Bikin pusing aja dengernya! “Yes, ambil aja, Kak. Gak minat! Bye!” putusku kesal sambil beranjak pergi dari halaman rumah dinas.             Aku masih mendengar olokan kakak manjaku sebelum dia pergi ke kampusnya. Dasar anak manja! Bedain beras putih sama ketan aja dia belum bisa, udah ngebet banget mau nikah. Kayaknya kakakku itu senang sekali dan suka rela menawarkan diri pada rencana aneh papa. Baguslah! Aku tertolong. Mending aku jalan saja ke sekolah kesayangan yang hanya berjarak 300 meter dari rumah dinas papa.             Aku berjalan kaku tanpa berpikir apapun lagi. Lebih baik aku memikirkan TA Bahasa Indonesia yang super aneh itu saja. Kakiku menyebrang dengan hati-hati. Syukurlah aku dibantu om tentara yang memang mengatur lalu lintas di sekitar kantor Rindam setiap pagi. Setelah tersenyum kaku dan mengucapkan terima kasih, aku melangkah santai ke gerbang sekolah yang mulai ramai. Seperti biasa, menikmati rutinitas sebagai pelajar tingkat akhir yang sering galau gegara tugas.             Sebenarnya senang juga sih menikmati perjalanan setiap hari ke sekolah. Sekolah yang sangat dekat dengan rumah. Ibarat tinggal melangkah sudah sampai. Berada di areal ramai yang satu kompleks dengan kantor papa, aula Skodam yang sering dipakai bazar buku, Balai Kota Malang yang biasanya banyak demo, dan Tugu Balai Kota yang super indah dan nyaman buat baca buku atau sekedar nglihatin orang alay pacaran. “Mirra!” sebuah suara serak memecah lamunan malasku. Aku menoleh dan mendapati seorang cowok tinggi berkulit putih sedang melambai disko ke arahku.             Perkenalkan cowok itu bernama Ibrahim Ismail Rehanindy alias Ibra alias Iben. Dari namanya sudah bisa ditebak kan dia anaknya siapa? Yap, cowok bertinggi 177 cm dan berkulit putih itu putra kedua Budhe Nindy dan Pakdhe Rehan, em, Ayah Rehan dan Bunda Nindy maksudku. Ya apapun panggilan mereka yang jelas Ibra ini adalah salah satu sahabatku di sekolah favorit ini. Dia duduk di kelas 3 IPS 1 dan sangat suka pada pelajaran Bahasa Indonesia terutama menulis puisi. Dia seorang melankolis yang sedikit tulalit.             Sama sepertiku dia juga jatuh cinta pada kota ini. Maka dari itu, dia senang hati meninggalkan Kota Surabaya dan pindah ke Malang. Padahal keluarga Bunda Nindy ada di Surabaya sebab Ayah Rehan tugas di Koormatim Surabaya. Di kota ini dia tinggal di rumah kontrakan yang jaraknya hanya 200 meter di belakang sekolah. Ya habisnya dia menolak tinggal bersama keluargaku. Alasannya simpel, pengen mandiri. Ya alasan yang bagus, Iben.             Di sekolah yang berisi siswa-siswi unggulan ini, Ibra adalah salah satu teman dekatku. Aku malas berteman dengan siapapun kecuali 2 orang cowok yakni Ibra dan satu lagi yang akan kuperkenalkan nanti. Menurutku bersahabat dengan cowok itu jauh lebih menyenangkan karena membuatku lebih mandiri dan tidak alay seperti Kak Aiyra. Mereka jauh lebih tulus dan sayang padaku sebagai temannya. Selain itu, mereka tak perlu merasa kecil hati ketika nilai ulangan matematikaku lebih tinggi di atas mereka. “Eh kamu, Bra,” sahutku kecil. Dia merengut kesal. “Sudah kubilang jangan panggil aku ‘Bra’. Namaku jadi v****r, Ra. Call me Iben! Kamu lupa ya?” ralatnya sambil menggigit bibir bawahnya yang mirip dengan Bunda Nindy. “Yap, Iben. Sorry. Gimana tugasmu?” tanyaku biasa. Dia mengubah raut wajahnya lebih santai. “Beres dong. Udah hampir jadi. Kamu gak tahu kan kalau Bu Asni nerapin sistem timing. Lebih cepat ngumpulkan, poinnya lebih banyak,” ucap Ibra santai yang membuatku melonjak kaget. “Serius loe?” lonjakku kaget. Ibra menaikturunkan alisnya. Asem tenan! “Yang kumpulin di bulan ini nilai maksimal adalah 99. Makanya jangan malas dong Adek,” godanya sambil mengacak kerudung coklatku. “Yeee, bantuin napa Ben!” mohonku sok imut, meniru sedikit Kak Aiyra. “Tumbenan minta dibantuin. Kenapa sih kamu, Ra? Ada masalah ya kok galfok terus?” iya ada Bra, eh, Ben. Aku lagi dihadapkan sama masalah besar yakni undian perjodohan ala doorprize jalan sehat, curhatku dalam hati. “Ada, ntar aku ceritain!” tutupku malas membuka masalah aneh itu. “Pasti kamu lagi galau masalah cinta kan?” telisik Ibra sok tahu. Hih, pengen jundu anak pelaut ini! “Haree gene bahas cinta! Kampungan!” celetukku judes sambil melangkah cepat. Ya, sebelum Ibra mengetahui masalahku dan menyebarkan ke mulut cablak satunya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD