Bab 4 Degupan Pertama Itu…

1923 Words
Aiyra POV             Setelah berkutat dengan paper dan tugas rumit masalah biota laut, akhirnya aku bisa bernapas juga. Aku pulang ke rumah dengan napas lega. Sebenarnya malas sekali mengerjakan tugas ini. Mendingan aku kasih ke Amirra dan kubayar dengan baju baru. Tapi, anak itu sepertinya sedang tak mood akhir-akhir ini. Ya iyalah secara rencana aneh papa berhasil mengacaukan weekendnya. Padahal rencana aneh papa itu sangat membuatku gembira.             Tapi, tak sepenuhnya bahagia sih. Sebab aku harus menghabiskan akhir pekan dengan adikku yang super judes dan tak asyik itu. Padahal aku sangat ingin jalan-jalan ke mall. Belum lagi, teman-teman SMAku merencanakan reuni kecil-kecilan di Malang Olympic Garden sore nanti. Mau minta antar Om Wahyu tak bisa. Secara Om Wahyu juga mau kencan bersama Mbak Suci. Good luck, Om!             Wish me luck juga deh! Sebab saat ini di siang terik pukul 1, aku harus menghadapi taring Amirra. Akhirnya, dengan pemaksaan penuh aku menyuruhnya mengantarku ke MOG. Mau bagaimana lagi kalau mama dan papa sudah menitipkan diriku ini pada si bungsu yang sok dewasa itu. Sikap over protektif papa membuatnya lebih percaya Ara daripada supir angkot. Sehingga, papa lebih percaya Ara mengantarku kemana-mana daripada aku harus naik angkutan umum sendirian. “Macet nih! Emang penting banget ya, Kak?” tanyanya sinis tanpa menatapku dan asyik menyetir All New Yaris warna kuning. “Iyalah Dek, kakak mau reunian sama temen SMA. Nanti Dek Ara boleh ikutan kok. Nanti kakak jajanin yang banyak deh,” ujarku merayu manis. Dia hanya menekuk bibir imutnya sambil menarik kerudungnya ke belakang. Lantas dijalankannya mobil dengan pelan. “Reuni doang? Kenapa gak di sekolah aja sih? Aneh!” celetuknya dingin. Sabar Aiyra, kamu butuh dia! Hiks. “Ya kali kalau resmi, Dek. Ini cuma sesama geng Kakak aja kok,” aku berusaha ngeles kayak bajaj. “Hah? Hari gini masih geng-gengan? Hadeh, kenapa gak sekalian aja bikin geng motor!” celetuknya makin jutek. Dih, sumpah ya nih anak turunan papa banget. “Eh Kak, angkatin teleponku nih. Kayaknya papa telepon deh!” ya elah nih anak nyuruh kakaknya kayak nyuruh adeknya aja. Sabar Aiyra, kamu butuh dia! Kamu butuh dia! Hiks.             Deg-deg, telepon dari papa. Hah, panggilan video lagi. Ya Salaam habis aku. Secara aku sedang memakai baju seperti lampu lalu lintas. Celana palazzo berpalet shocking pink, blus hitam motif love warna-warni, kerudung pink senada dengan celananya dengan bros love besar, sepatu warna hijau tua, dan tas kecil bentuk pita warna kuning. Kuyakin papa sudah siap dengan wejangan dan tausyiah singkat ala Mamah Dedeh. “Hai Papa!” sapaku sok ceria padahal hatiku sudah jedag-jedug seperti musik dugem. “Aiyra? Lagi dimana? Adek mana?” berondong papa yang membuatku ingin pingsan. Aku nyengir ala kuda poni, “Nih adek lagi di samping, Pa. Kami lagi mau ke mall. Kan tadi Aiyra udah pamitan.” “Ke mall? Kirain Aiyra lagi mau berdiri di dekat perempatan gantiin traffic light,” tawa Ara meledak. Swear pengen kuemut nih bayi satu. “Ih papa! Ini tuh kreasi aku sendiri. Daripada kayak Adek. Mirip sama air laut. Dari atas sampai bawah biru semua,” cibirku sambil menatap Ara yang memakai maxi dress baby jeans dan kerudung biru senada dengan bajunya. “Emangnya kamu ngapain ke mall? Penting sekali ya reuninya sampai harus pergi? Ya pokoknya Ara suruh temenin sampai selesai. Pokoknya jam 5 sore harus sudah ada di rumah. Papa gak mau tahu, jam 6 papa sudah sampai Malang. Kalian sudah ada di rumah,” putus papa yang merupakan perintah mutlak. Susah kalau sudah ketemu kata ‘pokoknya’. “Papa, Aiyra itu ngumpul sama temen SMA yang udah 1 tahun gak ketemu. Waktu sebentar itu mana bisa Pa?” rengekku yang dibalas wajah serius papa. Sumprit walau cuma video call, aura papa tetep serem. Radiasinya tetap angker. “Mau pergi reuni atau papa suruh Adek balik kanan?” ancam papa tak banyak pikir yang membuat nyaliku ciut. “Iya papa. Aiyra akan pulang sebelum jam 5 sore,” aku memilih pasrah. Degupan jantungku makin menjadi. Bukan karena degupan jatuh cinta, tetapi degupan takut amarah papa. “Adek mana?” tanya papa, aku mengalihkan ponsel Ara pada pemiliknya yang sedang berdecak kesal. “Ara, macet ya? Kamu nyetir hati-hati. Gak apa-apa mobil baret sudah biasa. Asal jangan sampai kalian kenapa-napa. Ara gak lagi ngantuk kan?” yap, berondongan papa teralih pada adikku. Si judes itu menjawab tanpa menatap layar ponsel. “Siap, Pa! Asal Kak Aiyra gak ngedumel, Ara baik-baik saja,” what? Apa kamu bilang, Ra? Jadi kakakmu yang cantik dan imut ini cuma ibarat raDyo rusak yang membosankan gitu? “Ya ya ya, terserah kalian deh,” kurampas ponsel Ara dan kuhadapkan kembali pada wajahku yang bete. Papa tersenyum puas karena berhasil membuatku kesal. “Semua demi kebaikanmu, Aiyra. Papa dan mama cuma mau yang terbaik untukmu. Punya anak gadis yang sedang mekar itu susah. Papa kan gak selalu ada di dekatmu. Makanya papa suruh jagain Dek Ara selagi papa gak di situ. Papa sengaja bentuk Dek Ara sebagai pengganti papa,” ucap papa panjang lebar yang kesekian kalinya. Benar, itu adalah wejangan yang selalu keluar ketika aku bertindak aneh, menurut papa. “Siap, Pa.” Pasrah aja deh Aiyra. Gak baik nglawan orang tua. Apalagi itu papa galak tapi ganteng seperti papa. “Hai Sayang? Jangan pulang kemalaman ya? Kalau bisa sih jangan melebihi jam 5,” tambah mama lembut. Ah mama, aku kangen. “Ini juga dibawakan mangga gedong. Kamu suka kan, Aiyra?” imbuh papa dari sebelah mama. Aku hanya mengangguk lesu dan tak banyak bicara.             Klik! Panggilan video selesai. Menyisakan gurat malas di wajah cantikku. Dih, benar sih aku sudah menciptakan image bahwa Aiyra itu manja dan tak mandiri, selalu bergantung pada orang lain dan tak dewasa. Tapi, gak seperti ini jugalah. Tetapi lagi, semua memang kesalahanku sih. Aku yang sudah membuat kedua orang tua sekaligus adikku jadi seperti ini. Mereka memperlakukan gadis 20 tahun selayaknya anak 10 tahun. Pardon me, huks. “Akhirnya sampai juga,” pecah suara Ara sambil melepas seat belt dan memandangku. Kami sampai d MOG setelah lepas dari macet malam minggu. “Ara mau ikut ke dalam, kan?” tanyaku ragu. Dia memakaikan liptint ke bibir mungilnya sembari mengangguk. “Ara kan harus antar Kak Aiyra sampai di tempat tujuan. Tanggung jawab dong!” katanya dingin. Hem, berasa dikawal bodyguard cantik deh.             Berasa dikawal tapi gak sebegitunya juga kali, Dek. Ini sih namanya disandera. Secara sepanjang jalan, bukan kenangan, Amirra memegang erat tanganku hingga sakit. Dia tak membiarkan aku jauh darinya walau 1 centi. So sweet sih, tapi gak kemanisan juga. Ih, Dek Ara. Kakak bukan anak kemarin sore yang bakalan nyasar di mall keleus. Lagian di sini aman, gak ada penjahat seserem di TV. Biasa aja gak usah over protektif juga. “Dek, jangan kenceng-kenceng dong narik tanganku. Kita santai aja kenapa sih? Sambil lihat-lihat baju juga boleh,” kataku manja sambil menahan tarikan tangan Amirra. “Ya makin cepat sampai di tempatnya makin baik kan?” jawabnya cuek. “Tunggu, jangan bilang kalau habis ini kakak cuma disuruh say hello terus pulang!” Ara menoleh dan tersenyum penuh arti. “Kok tahu? Reuni intinya ketemuan kan? Setelah ketemu udah dong!” 10000% benar. Nih anak gak pernah punya temankah? Dia punya 2 sahabat sih, tapi cowok semua. Pantesan gak peka. Dari belahan planet mana sih kamu, Dek? --- Amirra POV “Hai Gengs! Miss youuuuu!” sahut Kak Aiyra manja sambil mencium kedua belah pipi teman-temannya yang super heboh.             Setelah dibujuk dengan rayuan manja ala Kak Aiyra, aku luluh juga. Gak tega juga lihat wajah melas kakakku. Papa sudah cukup menekannya, masak iya aku ikutan juga. Kalau Kak Aiyra stres berat terus gila gimana? Oh jadi ini gengnya Kak Aiyra yang dia banggakan itu? Kumpulan pertemanan 4 orang itu seperti para sosialita kelas pemula mungkin lebih tepatnya. Mereka bergaya busana yang sama. Tas yang sama. Ponsel yang sama. Tata rias yang sama. Mirip girls squad tapi kerudungan gitulah. Sumpah aku gak minat lihatin mereka.             Bisa gak sih bersikap sewajarnya? Gak usah heboh tralala seperti Teletubbies atau Shaun The Sheep. Bisa gak sih jaga suara? Gak usah kayak paduan suara seriosa gitu? Mall tuh tempat umum bukan punya emak moyangnya mereka doang. Demi apaan mereka haha hihi umbar suara heboh sambil manggil sayang-sayangan? Menarik perhatian pengunjung lain gitu? Menunjukkan kalau mereka itu punya segalanya gitu? Kak Aiyra, ternyata kamu seperti ini ya kalau di luar. Hem, sok polos banget selama ini. Ckckck. “Ya ampun Say, sampai lupa. Kenalin nih adikku yang dulu itu. Masih ingat kan?” akhirnya, Kak Aiyra menyadari juga kalau aku di sini. Ya sih secara dari tadi aku menepi di belakang punggung kakakku. “Ya iyalah Say. Siapa juga yang lupa sama adik cantikmu itu? Dia kan yang lebih sering dikira kakak daripada adik. Apa kabar Amirra?” sapa heboh mbak-mbak berbehel merah yang kukenal dengan nama Gina. “Baik, Kak,” jawabku pendek sambil menerima uluran tangannya. tak hanya itu, aku diajak cipika-cipiki. Apalagi sih ah? Males! “Loh, gak mau cipika-cipiki ya?” Kak Gina tertegun sambil menatapku pias. Aku berusaha tersenyum pahit. “Oh iya,” jawabku pelan sambil menerima cipika-cipiki dari pipi wanginya. Tuhan, lesapkan saja saya dari sini! Segera!             Akhirnya, aku menghabiskan waktuku sia-sia selama 2 jam hanya untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Pembicaraan mereka tentu saja tak jauh-jauh dari gosip tentang si A, B, C, sampai Z. Belum lagi masalah cowok ganteng tajir dan lain sebagainya. Ada juga yang membahas tentang kuliahnya yang super susah. Tumbenan. Ada juga yang membahas tentang tas branded terbaru. Aku? Mendingan aku minum es coklat dingin di pojokan sambil bertukar pesan dengan Arvan. Arvan: “Gimana tugasmu? Udah nemuin belum cowok yang bisa bikin jantungmu berdegup-degup kencang?” Aku: “Belum ada, Van.” Arvan: “Kamu gak pernah merasa deg-degan gitu ya, Ara?” Aku: “Ya pernahlah Dodol. Emangnya aku bukan manusia? Jantungku berdetaklah!” Arvan: “Bukan itu Cantik maksudnya. Kamu pernah gak sih merasakan waktu melambat, suara detak jantungmu terdengar dekat, dan kamu terpaku pada satu titik.” Aku: “Kamu ketularan Ibra ya, Van? Gak usah sok jadi Chairil Anwar deh.” Arvan: “Yee emang kamu gak pernah merasakan itu sama aku?” Aku: “Kambuh lagi. udah ah, bikin tambah bosan aja kamu. Daa! *signalhilang Arvan: “Cantik kok ngeles terus. Cantik?” Arvan: “Ara? Amirra Savannah?”             Aku tak membalas pesan terakhir Arvan yang membuatku mabuk darat itu lagi. Bukannya dapat hiburan, yang ada malah stres akut. Kenapa sih Arvan jadi berubah? Akhir-akhir ini suka aneh. Mendadak lebih sering mellow dan chessy. Lalu lebih sering memandangku. Perasaan itu tak pernah terjadi selama 3 tahun kami bersahabat deh. Jangan bilang kalau dia beneran suka padaku seperti gosip itu. Idih, ogah! Aku gak suka cowok gombal. Selain itu, aku gak suka dia yang terlalu memanjakanku. Lagian, aku juga gak mau pacaran sama sobat sendiri. Arvan: “Sebenarnya aku punya satu rahasia yang belum kuomongkan ke kamu dan Ibra. Ini penting banget menyangkut hidupku. Tapi kayaknya Cantik lagi gak mood ya nanggepin Van? besok-besok aja deh.”             Pesan baru masuk ke ponselku. Masih berasal dari orang yang sama yakni Arvan. Aku membacanya lekat dan tercekat. Jantungku juga tetiba deg-degan seperti baru naik kora-kora. Rahasia apa yang akan dikatakan Arvan ya? Kok tiba-tiba Si Koplak Arvan mendadak serius seperti itu? apa jangan-jangan Arvan mau bilang kalau dia sebenarnya cewek? Hem, gak mungkin juga sih. Apa dia mau bilang kalau sebenarnya dia punya adik rahasia? Hem, apa iya? Atau barangkali Arvan merahasiakan kalau sebenarnya dia bukan anak papa dan mamanya? Entahlah…semakin absurd imajinasiku. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD