Waktu makan malam sudah tiba, semuanya sudah berkumpul di ruang makam. Hanya ada mereka berempat di sini. Vanya sudah duduk di samping tunangannya, dia bahkan mengambilkan makan untuk calon suaminya itu. Dia nggak enak hati sama Mama Fiona yang udah baik banget sama dia. Vanya juga ingin latihan menjadi seorang istri yang pandai melayani suaminya nanti.
"Makasih," ucap Aland pada tunangannya.
"Yang lainnya mana, Ma? Kok cuman berempat aja?" tanya Vanya bingung, karena biasanya mereka semua lengkap saat makan malam tiba.
"Oh, Rachela lagi di rumah mertuanya. Kalau Alend sih masih di Jogja. Ayo, makan yang banyak, Sayang," jawab Fiona.
“Makasih, Ma," ucap Vanya, sekarang dia sedang menikmati sate ayam yang dibelinya tadi sore bersama dengan Aland.
Setelah selesai makan, Aland sedang menonton TV ditemani oleh Vanya. Sedangkan Derdi dan Fiona sedang di kamar, mereka tidak mau mengganggu anaknya yang sedang pedekate.
Vanya menyandarkan kepalanya di badan Aland. Gadis ini sekarang sudah mulai nyaman berdekatan dengan tunangannya itu. Walau dia sendiri masih belum tahu perasaannya, tapi dia berharap seiring waktu berjalan dia akan bisa mencintai Aland.
"Mas, aku pengen ini, nih," pinta Vanya sambil menunjukkan layar ponselnya.
"Pengen apa?" tanya Aland tanpa menatap Vanya, laki-laki itu masih fokus dengan film yang di tontonnya.
"Ih, lihat ke sini, dong!" rengek Vanya dia nggak suka dicuekin seperti ini.
"Apa, Sayang?" ucap Aland saking gemesnya.
"Jangan panggil sayang. Ntar kalau aku baper, siapa yang mau tanggung jawab? " tanya Vanya, kan udah dibilangin Vanya itu orangnya gemesin dan kadang ngeselin secara bersamaan.
"Ya aku lah, gemes jadi pengen gigit. Calon istrinya siapa, sih?" tanya Aland, menggoda tunangannya sudah menjadi hobinya saat ini.
"Ih, pengen gigit gimana? Udah digigit pipiku, pokoknya gantian! Aku nggak mau tau!" geram Vanya, dia tanpa sadar sudah duduk di pangkuan Aland.
Vanya mendekatkan wajahnya dan mulai menggigit hidung Aland yang mancung itu. Aland berteriak karena kesakitan, tunangannya benar-benar menggigitnya. Dia kira Vanya nggak akan berani melakukan itu, tapi benar kata Zade kalau adiknya itu memang luar biasa. Iya, luar biasa ngeselin jadi orang.
"Sakit, Anya!" teriak Aland sambil memegang hidungnya yang sudah pasti memerah.
"Tuh tau sakit, makanya jangan suka gigit pipi orang!" Vanya tidak peduli dengan teriakan tunangannya.
"Kamu cantik," ucap Aland. Dia sekarang memegang pinggang Vanya dengan posisi yang masih sama seperti tadi, makanya Aland dengan leluasa memeluk Vanya.
"Ih, aku kan udah cantik dari lahir. Baru sadar?" cibir Vanya.
"Kamu benar, dari dulu kamu udah sangat cantik," puji Aland jujur.
"Ih, sok tau deh, emang kamu tau wajah kecilku?" pertanyaan Vanya tidak dihiraukan oleh tunangannya.
Aland memeluk Vanya dan memebenamkan wajahnya di ceruk leher tunangannya. Nyaman, itulah yang dirasakan Aland saat ini. Vanya memang seperti rumah yang selalu membuatnya nyaman saat berdekatan dengannya.
"Geli tau, aku tuh tadi pengen bilang mau ini," ucap Vanya saat napas Aland mengenai lehernya. Vanya mulai melepaskan pelukan di pinggangnya, lama-kelamaaan berdekatan dengan Aland membuat jantungnya tidak tenang.
"Apa sih? Pengen pizza?" tanya Aland. Dia pikir Vanya pengen apa? Eh, ternyata pengen pizza.
"Iya, lagi promo, nih. Cetar banget promonya. Beliin, ya?" pinta Vanya.
"Iya, tapi syaratnya harus kamu habiskan. Kalau nggak habis kamu aku hukum, ya?" tantang Aland.
"Ih, kok jadi jahat?" protes Vanya sebal. Minta dibeliin pizza aja dikasih syarat segala.
"Mau, nggak?" tawar Aland lagi. Dia tau tunangannya itu pasti nggak akan menolak syaratnya.
"Mau, tapi hukumannya apa dulu? Udah yakin, deh. Aku pasti nggak bisa habisin ini semua," tanya Vanya pasrah..
"Hukumannya nggak berat, kok," ujar Aland.
"Ya udah, aku pesen, nanti mas yang bayar." Keputusan Vanya sudah final. Dia sudah duduk di sebelah Aland dan sedang menyandarkan kepalanya di bahu tunangannya yang tegap.
"Iya, Sayang" ucap Aland menyetujuinya.
✧✧✧
Setelah menunggu hampir dua puluh dua menit, akhirnya pesanan yang ditunggu Vanya datang juga, "Uangnya?" Vanya langsung meminta uang untuk membayar pesanan makanannya.
"Ini." Aland memberikan dompetnya.
"Ambilin, nggak sopan tau nanti akunya." Vanya menolak perintah tunangannya, menurutnya hal itu adalah hal yang tidak sopan baginya.
"Udah, bawa," paksa Aland. Karena Vanya nggak mau kurirnya menunggu lama, akhirnya dia langsung ke depan menghampiri kurir pengantar pizza. Setelah itu, dia langsung membawa pizzanya ke tempat di mana calon suaminya berada.
"Kamu mau, nggak?" tanya Vanya. Dia nggak mungkin sanggup menghabiskan semua pizza ini, udah pasti nyerah deh dia.
"Kan kamu harus makan semuanya," kata Aland mengingatkan.
"Ih, ya udah deh. Aku pasti nanti dihukum! Orang dua loyang pizza begini, nggak mungkin dong aku bisa ngehabisin semuanya. Ayo makan, aku suapin," paksa Vanya. Gadis itu langsung menyuapi tunangannya dengan sepotong pizza yang paling besar.
Mereka menghabiskan satu loyang pizza. Karena sudah kekenyangan, akhirnya satu kotak pizza lagi diberikan kepada satpam yang sedang berjaga di depan rumah.
"Ayo tidur, udah jam sepuluh." Aland mengajak tunangannya agar segera beristirahat.
"Besok minggu tau, masih libur," ucap Vanya, masih berani ngeles aja gadis satu ini.
"Hukumannya, kamu harus tidur sama aku!" perintah Aland. Membuat Vanya membeo ‘tidur’ dalam artian apa ini?
"Hanya tidur, Sayang. Bukan ena-ena," ujar Aland tanpa disaring.
"Ih, m***m banget, sih!" Vanya bahkan langsung memukul tangan Aland yang berada di sampingnya.
"Hahahah." Reaksi Vanya membuat Aland tertawa selepas ini.
Mereka langsung menuju kamar Aland, Vanya membersihkan dirinya dan berganti baju. Dia memakai piyama bergambar doraemon, seperti anak kecil aja.
"Nyamannya," kata Vanya saat sudah berbaring di kasur besar milik tunangannya.
Sedangkan sang empunya sedang di dalam kamar Mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Tak butuh waktu lama, akhirnya Aland sudah selesai. Dia melihat Vanya yang tertidur di tengah kasur, ia bermaksud membenarkan posisi tidur tunanganya.
"Eh, eh, mau dibawa ke mana?" tanya Vanya tiba-tiba saat merasakan tubuhnya digendong Aland.
"Aku kira udah tidur," tukas Aland dan langsung membaringkan Vanya dengan benar.
"Belum, kasurnya nyaman."
Aland hanya berdehem dan ikut berbaring di samping tunangannya. Dia langsung menarik badan Vanya agar lebih dekat dengannya. Malam ini Aland pasti tidur nyenyak, karena sang bidadari yang selalu diimpikannya berada dalam dekapannya semalaman.
✧✧✧
Pagi pun tiba, Aland sudah bangun dari tidurnya dan sedang memandangi wajah Vanya yang masih tidur dengan tenangnya. Vanya sangat cantik, membuat Aland tidak bisa berpaling lagi darinya. Aland mulai meraba wajah Vanya, membuat sang empunya mulai mengerjapkan matanya.
"Jam berapa?" Aland terkejut mendengar pertanyaan Vanya yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya.
"Setengah enam, nyaman tidurnya?" tanya Aland setelah memberikan segelas air putih pada Vanya.
"Iya, sangat nyaman dan hangat karena sebuah pelukan, maybe?" ujar Vanya retoris.
"Aku jadi ingin mempercepat hari pernikahan dan ingin melihatmu bangun setiap pagi seperti ini," kata Aland sambil menatap dalam kedua mata Vanya.
"Ih, emangnya Om beneran suka sama aku? No tipu-tipu?" tanya Vanya. Aland langsung mencium bibir merah Vanya. Sangat membangkitkan gairahnya, apalagi pagi hari seperti ini saat miliknya mudah turn on.
"Ih, kok dicium?!" tegur Vanya. Ia kesal, pasalnya laki-laki di sampingnya itu paling suka mencuri ciumannya.
"Siapa suruh manggil Om?" tanya Aland.
"Iya, maaf. Aku nanya beneran, ih. Mas beneran suka sama aku? Walau ini perjodohan, tapi aku pengennya nikah sekali seumur hidup,"—ia menatap dengan serius—"walau aku belum ada rasa, tapi aku akan berusaha. Bukankah kalau terbiasa bakalan jadi cinta juga?" tanya Vanya mencoba meyakinkan diri. Dia itu masih pemula dalam hal percintaan seperti ini, dan mereka berdua akan sama-sama belajar dalam hal saling mengasihi nantinya.
"Aku sayang dan cinta sama kamu," kata Aland penuh keyakinan.
"Secepat ini?" tanya Vanya ragu. Dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Pasalnya kalau dilihat dari wajahnya, laki-laki di hadapannya ini bisa mencari perempuan yang lebih baik lagi darinya.
"Aku sudah mencintaimu dari dulu, Sayang. Kamu ingat nggak sama anak laki-laki yang kamu kasih plaster luka waktu kamu umur enam tahun?" tanya Aland memulai pengakuannya. Dia melanjutkan ceritanya kepada Vanya, semuanya tanpa terkecuali.
"Laki-laki itu, Om?" terka Vanya kaget.
"Iya, walaupun terdengar gila, aku sudah mencintaimu sejak lama," tegas Aland jujur.
"Ya ampun! Berarti yang bayarin makananku di kafe setiap hari, Itu Om?! Yang ngikutin aku waktu pulang ngerjain tugas malam-malam, juga Om?!" Vanya memastikan lagi, dia sangat terkejut dengan apa yang didengarnya pagi ini.
Aland langsung mengecupi bibir Vanya tiga kali dengan frekuensi cepat sebagai hukuman karena sudah memanggilnya om.
"Iya, maaf aku tidak punya keberanian yang cukup saat itu. Aku hanya bisa memandangmu dari jauh," beber Aland, akhirnya dia mengungkapkan semuanya pada gadisnya.
"Jadi, yang minta perjodohan ini juga kamu?" tebak Vanya memastikan dugaanya sekali lagi.
"Iya!" jawab Aland dengan singkat.
Vanya terharu, ternyata ada seseorang yang mencintainya sampai sedalam ini. Bahkan dia tidak pernah tahu jika selama ini Aland sangat peduli padanya dan memikirkan keselamatan dirinya.
"Jangan nangis," ujar Aland menenangkan Vanya.
"Aku hanya terharu dengan kamu, Mas. Tolong ajari aku agar lebih cepat membalas perasaanmu," pinta Vanya yang tentu saja langsung diangguki oleh Aland.
"Makasih, Sayang. Maaf, ya. Aku dulu cuek karena aku sangat gugup saat bersamamu," terang Aland, tentu saja gadisnya memaklumi sikap yang ditunjukkan tunangannya saat mereka mengawali hubungan dulu.
Setelah tahu fakta itu Vanya membuka hatinya lebih lebar, Aland membuatnya semakin luluh. Dia tidak seperti biasanya yang menurutnya bersikap sangat barbar. Vanya akan berusaha mencintai Aland seorang. Iya, pria yang setia menunggunya walau dia tak pernah tahu, tetapi Aland tetap setia dan menunggu saat yang tepat untuk mendapatkan Vanya.
bersambung