Bab 2

1165 Words
Sepertinya tantangan itu tidak ada kabar lanjutannya, kakek tidak pernah membahas tentang pernikahan lagi dan aku bersyukur hal itu terjadi dan aku bisa fokus dengan pekerjaanku di rumah sakit dan juga klinik. Hari ini aku memutuskan untuk tidak praktek baik di rumah sakit ataupun klinik, kondisi tubuhku hari ini sedikit menurun mungkin karena semalam aku pulang dari klinik sudah tengah malam. Aku memutuskan bangun dari tidur untuk menemani kakek sarapan. Itu rutinitas setiap hari dan harus aku lakukan agar bisa menyenangkan hati kakek yang kesepian sejak ditinggal nenek meninggal, sayangnya ruang makan kosong hanya ada piring-piring berisi sarapan tersusun rapi di meja makan. "Kakek kok nggak ada? Belum bangun?" Tanyaku ke bik Minah. "Tuan besar lagi di luar, mas Ariel," balas Bik Minah sambil menunjuk arah teras depan dengan jempolnya. Aku berjalan ke arah teras dan melihat pintu terbuka, samar-samar aku mendengar suara tawa dari arah luar. "Ini loh Mas Kakek jamu untuk pegel linu, saya jamin Mas Kakek pasti akan segar lagi kayak Atta Halilintar itu loh," aku mendengar suara wanita asing dan suara itu membuat aku berhenti berjalan, aku mencogokkan kepala di pintu dan melihat kakek sedang duduk di kursi teras. Di depannya ada wanita bersanggul memakai kebaya berwarna merah, lipstick yang terpoles di bibir juga warnanya merah dan kukunya berkutek pun dengan warna merah, wanita itu sedang berlutut dengan kain jarik melilit di badannya. Ada bakulan berisi botol-botol dengan aroma menyakitkan hidung. Itu manusia atau makhluk pemakan orok? "Kek," panggilku. Kakek melirikku dengan mata berbinar begitupun wanita itu. "Jamu e mas? Ada jamu pegel linu, jamu penambah napsu makan dan ada juga jamu pendongkrak keperkasaan biar mas perkasa di ranjang," ujar si penjual tanpa rasa malu menjajakan minuman yang menjijikkan itu. Aku tidak membalas atau menjawab tawaran wanita itu, aku mendekati kakek dan merampas gelas dari tangannya dan menyerahkan gelas itu ke wanita tadi. "Maaf, kakek saya tidak boleh minum minuman tidak jelas seperti ini," ujarku dengan kesal. Wanita itu lalu berdiri, meletakkan dua tangannya ke pinggang lalu menatapku dengan tatapan panjang. "Oalah mas e jangan sembarangan ya, minuman tidak jelas? Huh, minuman ini dijamin kualitasnya. Mas Kakek tadi bercerita kalau kondisi tubuhnya tidak enak, saya menawarkan jamu ini supaya Mas Kakek kembali segar. Mas ini sebagai cucu kok ngatur, ya kan Mas Kakek?" Wanita itu menyunggingkan senyumnya ke arah kakek. Anehnya kakek langsung mengangguk lalu mengambil kembali gelas yang tadi aku kembalikan ke wanita itu. "Kek!" "Coba deh kamu minum, seger gini dibilang nggak jelas. Walau kita dokter tapi tetap saja kita harus mencoba minuman tradisional negara kita," balas kakek sambil meneguk habis isi gelas itu. Perutku langsung mual sedangkan wajah kakek berbinar. "Nah kan Mas Kakek langsung seger, mau coba nggak mas?" Tawarnya kepadaku. "Nggak usah, saya nggak akan minum minuman itu meski itu minuman terakhir yang ada di dunia ini," aku menatap jijik tumpukan botol berisi jamu-jamu itu. "Duh mas ini, jangan ngomong kayak gitu loh. Nanti kemakan omongan sendiri kan jadi malu," balasnya. Kakek mengangguk setuju dengan ucapan wanita itu. "Kek, jangan sering-sering minum itu. Nggak baik untuk kesehatan," aku mencoba mencuci pikiran kakek agar tidak meladeni penjual jamu aneh ini kalau nanti dia datang lagi ke rumah ini. Kakek menggeleng pelan. "Nggak, mbak jamu ini baik loh dan sudah memberikan kakek jamu terbaik dan kondisi kakek lumayan segeran setelah minum ini, kamu ini terlalu kaku jadi orang. Mbak, bisa buatkan jamu terbaik untuk cucu saya? Saya takut nanti tubuhnya nggak sehat karena kelamaan sendiri," ujar kakek. Aku mendengus. "Kek!" "Beneran Mas Kakek? Saya ada jamu terbaru, dijamin sekali crot akan menghasilkan benih terbaik," ujarnya tanpa rasa malu. Dengan cepat tangannya mengaduk berbagai jenis air ke dalam gelas. "Eh siapa yang mau? Saya nggak mau!" Aku menahannya tapi tangannya lebih sigap dibandingkan tanganku. Dalam sekejap adukannya sudah siap sedia di dalam gelas kecil. Aromanya menusuk hidungku, perutku semakin mual ditambah gejolak di tenggorokan yang minta dikeluarkan membuat keringat dinginku keluar. "Ini mas e, jamu terbaru racikan saya namanya jamu pengental s****a, dijamin sekali minum bulan depan mas e bakal dikaruniai seorang anak yang cakep kayak saya," ujarnya dengan senyum lebar. Lebih baik mati daripada minum itu. "Maaf, saya tidak akan minum air menjijikkan itu." Tolakku mulai kasar. Kakek memukul tanganku pelan. "Ariel, nggak sopan." "Pokoknya Ariel nggak akan pernah mau memasukkan air itu ke dalam tubuh Ariel, kakek nggak boleh maksa-maksa aku!" Suaraku sedikit meninggi. "Pagi, kek." Sapaan Sandi memecahkan ketegangan antara aku dan kakek. "Suruh Sandi yang minum," sindirku. Wajah Sandi yang baru datang terlihat kebingungan. "Minum apa?" Tanya Sandi ke arah kakek. "Sandi ... kamu sayang kakek kan?" Tanya kakek tiba-tiba. Bulu kudukku berdiri. Sandi yang tidak tau apa-apa langsung mengangguk dengan cepat. "Ada apa, kek?" Tanyanya lagi. Kakek tiba-tiba menjentikkan jarinya dan dalam beberapa detik dua satpam dan satu supir pribadi kakek muncul dari arah samping rumah. "Ada apa ya tuan?" Tanya salah satu satpam. Kakek tidak mengeluarkan sepatah katapun, dia hanya memberi kode dengan mulutnya dan anehnya mulutnya mengarah ke arahku. Tidak lama dua satpam memegang tanganku dengan erat, aku yang kaget langsung meronta. "Kek! Apa-apaan ini?" "Kakek mau uji coba jamu ini, siapa tau benar-benar manjur adukannya mbak nya. Sandi, kamu tahan dia agar tidak kabur dan kamu pegang kakinya. Mbak jamu yang cantik, tolong beri cucu saya jamu itu ya ..." Bulu kudukku masih berdiri dan firasatku benar kakek akan memaksaku meminum air menjijikkan itu. Aku meronta-ronta agar pegangan mereka lepas dari tubuhku. Wajah Sandi menyiratkan kebahagiaan melihatku dipaksa kakek meminum air menjijikkan itu. Sial! Aku menatap tajam wanita aneh itu, ada senyum penuh kemenangan, semua ini tidak akan terjadi seandainya dia tidak datang ke rumah ini. "Kek!" "Enak kok mas e, coba dulu." Wanita itu meletakkan jarinya di pipiku agar mulutku terbuka, aku masih meronta tapi sayangnya aku kalah tenaga. Wanita itu menuangkan air menjijikkan itu ke dalam mulutku dan dalam sekejab air itu masuk ke dalam kerongkonganku. "Sudah mas e," wanita itu tertawa penuh kemenangan. Anak buah kakek dan Sandi melepaskan pegangannya, mereka langsung menunduk saat aku menatap tajam mereka satu persatu termasuk ke Sandi walau Sandi membalas dengan senyum sinisnya. Perutku semakin bergejolak dan aku sudah tidak tahan lagi. "Terima kasih, mbak." "Saya jamin Mas Kakek bulan depan akan dikasih cicit yang cantik seperti saya, jangan segan-segan hubungi saya kalau membutuhkan jamu lagi." "Pergi!" Usirku dengan keras dan tanpa bisa aku tahan aku memuntahkah seluruh isi perutku ke arah wanita itu. "Oalahhhh, kebaya saya! Mas kakekkkkkkk!" Wanita itu bergelayut manja ke tangan kakek, "saya nginap di sini ya? Baju saya bau dan basah, nanti Juminten nanya kok baju saya bisa basah bisa marah dia," lanjutnya. "Oh keponakan mbak jamu ya?" Tanya kakek. "Iya, Joe itu keponakan saya. Mbak jamu juga tapi dia sudah punya toko jamu sendiri," balasnya. "Siapa itu Joe?" Tanya kakek bingung. "Juminten itu nama di akta Mas Kakek tapi nama sehari-harinya, Joe." Ampun Tuhan! Darimana datangnya Joe! "Nama mbak jamu siapa?" Kali Sandi ikut bertanya. "Saya? Markonah mas, panggilan Mark ajah." Gila! ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD