00 - Prolog

524 Words
Satu buket bunga ukuran sedang dengan pita bewarna biru muda mengikat kencang pada plastik pembungkus tanaman hias itu. Vean membentuk bibirnya menjadi senyuman hangat. Sekali lagi, dipandanginya buket bunga itu sembari sesekali menyedot aroma menenangkannya. Cowok itu menatap dirinya di pantulan cermin, seolah yakin penampilannya sudah oke, Vean tersenyum lagi. Kemudian ia berdiri dari duduknya dan berjalan dengan santai ke arah jendela kamarnya. Tirai tipis yang menutupi pemandangan indah di luar kamarnya ia singkap dalam satu tarikan. Vean kini dapat melihat sesuatu lewat sana, dan pada akhirnya sorot matanya jatuh pada siluet perempuan dengan rambut tergerai di seberang rumahnya. Langsung saja, Vean kembali menutup jendela dan bergegas keluar dari kamar, menuruni anak tangga, sampai pada akhirnya pijakan kakinya sudah sampai di rumah perempuan yang tadi ia lihat melalui jendela. Mengembuskan napas gusar, Vean segera memasuki rumah itu dengan tungkai kakinya yang sengaja ia langkahkan sepelan mungkin agar derap kakinya tidak mengeluarkan suara. Tujuannya kali ini adalah ruangan di lantai dua. Di mana perempuan bernama Rezel berada di sana dengan surai panjang berwarna peach yang selalu digerai. Kebetulan, dari bawah sini Vean mendapati kamar Rezel yang tidak ditutup, hal itu sangat menguntungkan Vean masuk tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tangannya semakin erat memegang buket bunga, saking kuatnya, jari jemari Vean nampak gemetaran. Berusaha menampik perasan gelisah yang tiba-tiba menyergapnya, Vean semakin menambah laju kakinya. Saat di undakan tangga teratas, dengan sengaja Vean meletakkan buket bunga segar itu di belakang punggungnya, memungkinkan agar Rezel tidak langsung melihat kejutan kecil ini. Lebih tepatnya kejutan yang akan membawanya ke dalam hubungan yang bernama cinta. Agak ragu dan dikerubungi perasaan khawatir, namun Vean ingin jujur dengan perasaannya, ingin segera menyampaikan apa yang hatinya sedang ia rasakan. Setidaknya Rezel mengetahuinya, setidaknya cewek itu mengerti dimana posisinya, dan setidaknya ia tahu bagaimana perasaan itu datang dengan ketulusan yang terpancar. Vean sudah mantap, resiko yang akan ia tanggung memang tidak main-main, tapi ia ingin mencoba jujur. Rasanya Vean seperti dikejutkan oleh energi listrik di tubuhnya, ia mencoba mengambil pasokan udara lebih banyak agar paru-parunya tetap terisi penuh, apalagi jaraknya dengan kamar Rezel semakin terkikis. Satu langkah lagi, ia sudah mencapai di ambang pintu, dan saat ia sudah melakukan itu dengan debaran menggila di dalam dadanya, Vean disadarkan oleh sesuatu yang menghimpit jantungnya. Tatapannya terpatri ke arah depan, ia tidak bergerak lagi, tubuhnya mendadak kaku seolah darah yang mengalir ditubuhnya berhenti secara mendadak. Tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, Vean memilih mengatupkan bibirnya dengan rapat. Bersamaan dengan itu pula, buket bunga yang berada di belakang punggungnya terjatuh dari tangan dan teronggok di lantai begitu saja. Air mukanya menjadi keruh, ia tidak bisa mendeskripsikan hatinya lebih jauh lagi. Karena ia baru saja dipatahkan, diremukkan, dihempaskan begitu saja. Dunianya seolah berhenti. Vean tidak tahu lagi harus mengambil tindakan seperti apa kecuali memejamkan matanya dengan rapat, bolehkan ia berharap jika waktu di putar beberapa menit sebelum ia datang ke sini? Napasnya semakin sesak, Vean pun menghempaskan napas kasar, ditatapnya kembali Rezel yang tengah merengkuh tubuh seorang cowok. Rasanya sakit, dan Vean hanya bisa tersenyum getir. Ia tidak bisa berharap lagi, kembali ia diingatkan oleh takdir bahwa dirinya hanyalah sahabat Rezel, tidak lebih dari itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD