Hari-hari Tanpa Kesadaran

2224 Words
Beberapa hari yang lalu, Sadest. “Kau tahu, Elte? Berburu manusia lebih menyenangkan dari sekedar berburu rusa berukuran sedang.” Lelaki itu berjalan tanpa menatap lawan bicaranya. Ia adalah Carl si Warlords Putih yang tak lagi punya hati. Siang itu, ia berjalan dengan kaki tangannya, Elte si manusia gajah dengan kaki keemasan. Elte membawa s*****a kesukaannya. Sebuah palu berukuran besar yang hanya beberapa orang terpilih saja yang bisa mengangkat s*****a tersebut. s*****a itu teramat berat. Semua Askar bahkan tidak bisa mengangkatnya. Hanya Elte dan Carl, bahkan Whichessenova pun tidak bisa mengangkat s*****a tersebut. Elte melirik Carl yang masih berjalan cukup jauh di depannya. Sementara itu, tiba-tiba langkahnya terhenti. Elte turut menghentikan langkah. Matanya masih memandang punggung Carl yang begitu gagah dengan balutan baju besi yang cukup berat. “Tentu jika ia seorang musuh, Elte. Bukankah darah musuh adalah tetesan yang paling menyegarkan? Sudah lama rasanya aku tak merasakan itu lagi. Sudah jarang sekali penyusup masuk ke sini.” Lelaki bertopeng itu menoleh. Dilihatnya sang kaki tangan yang sampai saat ini setia membersamainya. Susah maupun senang. “Kau benar, Tuan,” Akhirnya Elte bersuara setelah sekian lama hanya terdiam dan mendengarkan setiap perkataan yang keluar dari bibir Carl. Ia menjawab perkataan lelaki yang wajahnya hanya terlihat separuh itu. Lelaki bertopeng itu kembali melangkahkan kaki. Ia berjalan membelah dingin di Sadest. Hari ini, mereka berencana untuk mencari udara segar dan berburu rusa liat di hutan yang dipenuhi pohon-pohon pinus itu. “Kau tahu, Elte? Sejak Joulie meninggalkanku, rasanya di sini lebih dingin. Bukankah begitu?” Lelaki yang separuh wajahnya tertutup topeng besi itu menengadah ke langit. Ia membiarkan udara dingin berhembus, menerpa wajahnya yang bahkan tidak sempurna terlihat. Perlahan, butiran salju terlihat turun. Tidak banyak. Hanya satu dua. Seperti gerimis yang juga memayungi Blason kala itu. “Benar, Tuan. Kota ini pun bagai kota mati. Sekali pun matahari muncul, hangatnya tidak akan bisa menembus jiwa-jiwa yang kehilangan, Tuan.” Elte menjawab perkataan Carl. Ia juga bisa merasakan kalau kehampaan mulai menyelimuti tempat tersebut. Semua menjadi begitu dingin dan sepi, sama seperti hati Carl sepeninggal Joulie. “Dahulu, ia sering bercerita padaku, Elte. Joulie senang bercerita,” kata lelaki bertopeng itu lagi. “Tentang?” Sekali lagi lelaki bertopeng itu menoleh. Matanya berwarna keabuan, tanda bahwa ia sedang tidak marah dan tidak ingin membunuh. Ini adalah kondisi di mana lelaki itu bisa diajak bicara. Meski hatinya telah lama mati, ia tetap bisa membedakan mana kawan dan mana lawan. Senyuman memang jarang terlihat di bibirnya. Namun, tidak untuk Elte. Ia selalu berkesempatan untuk menerima senyuman dari lelaki berhati dingin itu. Baginya, Elte bukanlah sebuah ancaman, maka mata merah mematikan itu tidak pernah ia keluarkan di depannya. “Ia bercerita tentang Rocky dan segala dongengnya, Elte.” Tak lama, salju kembali turun memayungi Sadest. Mereka membiarkan butiran-butiran dingin itu mengenai tubuh mereka. Seolah terbiasa dengan dingin yang selalu menyelimuti jiwa-jiwa mereka. Carl dan Elte masih berjalan di sekitaran Sadest yang masih dingin. Sementara itu, tangisan mulai terdengar di telinga mereka berdua. Pinus-pinus yang mulai terlihat di depan, merasakan kesedihan yang bersarang di dadaa Carl. Pinus-pinus itu seakan tahu rasanya kehilangan sejak matinya Ratu Wise juga Joulie yang mengapung di Riveria, maka tangisan mereka menyeruak memenuhi pendengaran mereka. Lelaki bertopeng itu tidak merasa terganggu, begitu juga dengan Elte yang berjalan di belakangnya. Mereka menyukainya. Menyukai tangisan-tangisan pilu layaknya alunan lagu favorite yang sengaja ia putar berkali-kali. Terbiasa. Mereka mulai terbiasa akan hal itu. “Lihat, Tuan! Ada rusa di sebelah sana!” Elte menunjuk salah satu pinus yang berbatang cukup besar. Di belakangnya, terlihat separuh bagian belakang badan rusa. Dengan cepat, Elte melempar alat panah ke arah Carl yang ditangkap dengan sempurna. Spontanitas yang terlihat begitu terlatih. Lelaki itu kini sudah siap dengan anak panahnya. Perlahan, lelaki bertopeng itu mengendap-endap agar sang rusa sebisa mungkin tidak mendengar langkah kakinya. Elte yang melihat ia akan beraksi hanya berdiri di tempat sambil mengawasi, takut-takut kalau rusa itu menyadari kedatangannya dan lari menjauhi mereka. Sampai akhirnya, lelaki bertopeng yang sudah mengambil ancang-ancang itu siap dengan senjatanya. Ditariknya anak panah dan dilesatkan dengan mantap. ‘Sialaan!’ Meleset. Rusa itu berlari setelah anak panah menancap di batang pohon pinus. Anak panah yang dilesatkan Carl tidak mengenai rusa itu sama sekali. Benda itu malah tertancap di batang pohon yang besar itu. Carl bergegas, mengejar rusa yang berlari ke arah Riveria, sungai putih s**u beraroma Gardenia, tempat penelan kematian anak satu-satunya. Elte terus membuntut sampai akhirnya langkah mereka terhenti di tepian Riveria yang hening dan tenang. Lelaki bertelinga gajah itu memutar pandangannya ke segala arah. Rusa itu hilang entah ke mana. Sementara, Carl menatap lurus ke Riveria. Sekilas, kenangan pahit mulai terpampang di pandangan. Dari matanya tergurat luka. Seperti saat ia menemukan Joulie yang mengapung, tidak benapas lagi.   “Aku tidak menemukan rusa itu, Tuan. Sepertinya dia sudah kabur,” Sang Elephas berbicara setelah dengan yakin sudah memeriksa segala arah dan tak menemukan tanda-tanda jejak kaki rusa di mana pun. Sementara Carl yang ia ajak bicara masih terdiam. Lelaki yang separuh wajahnya tertutupi topeng itu masih menatap sesuatu di depannya. Elte yang merasa sesuatu tengah terjadi, melirik ke arah Carl dan menghampirinya. Seketika, langkahnya tercekat. Ia benar-benar terkejut. Pemandangan yang sangat tidak biasa ia temukan. Di depan sana, terlihat seorang anak yang hampir tenggelam. Mengapung seperti Joulie yang kini telah pergi. Meninggalkan Carl dan Shatranj untuk selamanya. Dengan cepat, Elte berlari. Ia menceburkan diri ke Riveria. Sementara lelaki yang separuh wajahnya tertutup topeng itu masih bergulat dengan ingatan yang menyakitkan tentang Joulie yang pergi dengan cara yang sama di tepian Riveria. Dengan susah payah, lelaki gajah itu akhirnya berhasil menarik seseorang itu ke permukaan. Seorang anak laki-laki, berkulit pucat memakai kaus berwarna putih yang terlihat sobek di beberapa tempat. Elte menyimpulkan, ia tercabik-cabik oleh kuku panjang Sirenia. Carl yang akhirnya tersadar, ikut duduk demi melihat kondisi anak tersebut. Meski tubuhnya sempat gemetar, lelaki itu masih bisa tegar. Kenyataan memang pahit, tapi bukankah hidup tetap berjalan? Seperti roda, dunia itu akan terus berjalan. Pagi ke malam, matahari ke bulan, sedih ke senang. Setidaknya. “Sepertinya ia menelan cukup banyak air. Aku tidak tahu pasti berapa lama anak ini tenggelam, Tuan.” Akhirnya, setelah mengambil napas panjang, lelaki bertopeng itu mengambil alih. Ia memompa dadaa anak lelaki itu. Beberapa kali. Ia tidak ingin ada Joulie yang selanjutnya yang juga mati terapung di Riveria. Rasanya seperti Joulie membayang-bayanginya. Ia membayangkan kalau anak lelaki itu adalah Joulie yang sudah beranjak dewasa. Tak lama, anak itu terbatuk. Ia mengeluarkan air dari mulutnya. Namun, karena luka di sekujur tubuh yang cukup parah, anak itu masih terkulai lemah. Tidak membuka matanya sama sekali. “Ia masih hidup, Elte.” Carl akhirnya terduduk lemas. Ia masih merasa terkejut dengan apa yang terjadi hari ini. Sementara Elte yang ia ajak bicara itu mengangguk. Turut lega melihat lelaki bertopeng itu berhasil menyelamatkan nyawa anak tersebut. Sejenak, mereka berdua menatap anak yang masih tergeletak di hamparan salju. Dengan kaus yang compang-camping seperti bekas pertarungan, mereka terlihat sedikit bingung. Wajahnya terlihat asing bagi mereka berdua. “Tapi, apakah kau tahu siapa dia, Tuan? Aku rasa wajahnya asing. Lagipula, bukankah di Shatranj sudah tidak ada anak seusianya?” Sang Elephas lebih dulu bertanya pada Carl setelah melihat kejanggalan yang mereka alami. “Kita bawa dulu anak ini ke Menara Putih. Biar Raja yang akan memutuskan. Sepertinya, Raja lebih tahu tentang hal ini.” Akhirnya, Elte membopong tubuh anak lelaki itu ke Menara Putih, tempat mereka berasal. *** “Apakah dia baik-baik saja?” Whichessenova menghampiri ranjang putih yang luas. Di sana, terbaring anak lelaki yang tadi terapung di Riveria yang berhasil Carl dan Elte selamatkan saat berburu. Baju compang-camping kini berganti dengan piyama lengan panjang berwarna putih. Dengan beberapa cairan yang dimasukkan ke dalam tubuh, juga berbagai macam obat tabur telah dioleskan ke luka-luka yang ada di sekujur tubuh anak lelaki itu. Doka, sang tabib kerajaan baru saja pergi dari ruangan tersebut. Setelah menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang keluar dari mulut sang Raja yang terlihat cemas. Katanya, beberapa hari lagi anak itu akan bangun dari tidur panjangnya. Setelah semua racun dari kuku tangan Sirenia ternetralisir, juga luka-luka sobek dari akar cuat yang menghiasi kakinya, beberapa hari lagi anak itu akan kembali seperti semula dan bisa beraktivitas seperti biasanya. Ajaibnya, Doka membuat semua luka di tubuhnya tak berbekas. Kembali seperti semula saat Sirenia dan akar cuat itu belum menggores kulit anak yang kini terbaring di ranjang. “Di mana kau menemukannya, Carl?” Whichessenova bertanya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya. Matanya terkunci pada wajah pucat anak lelaki yang tertidur di ranjang itu. Ia seperti sedang menonton kilas balik perjalanan hidupnya. Lelaki itu seakan melihat Whichessenova yang dahulu. Saat pertama kali tersesat dan berakhir di tempat yang disebut Menara Putih ini. “Di Sadest. Saat aku sedang berburu rusa dengan Elte. Tepatnya, ia mengapung di Riveria. Sepertinya Sirenia menyeretnya ke sana.” Whichessenova menganggukkan kepala. Namun, dilihat dari luka akar cuat di kakinya, mungkin saja anak lelaki itu terpeleset hingga jatuh ke sungai ajaib itu karena menghindari kejaran akar cuat yang mencoba mencengkeram kakinya. Ia tahu, bahwa akar cuat bisa mengendus bau yang asing. Kaki yang belum pernah berpijak ke tempat itu sebelumnya. “Dia adalah yang kita tunggu selama ini, Carl.” Setelah beberapa waktu memikirkan apa yang terjadi pada anak lelaki itu, akhirnya Whicessenova mengeluarkan suara lagi. Lelaki bertopeng yang menjadi lawan bicaranya mendongak setelah sebelumnya selalu menunduk ketika sang Raja mengajaknya berbicara. Lelaki yang duduk di ranjang itu, Whichessenova menoleh ke arah Carl dengan senyuman di wajahnya. Ia tahu, bahwa Carl memang dapat diandalkan. Anak lelaki ini adalah orang yang sudah mereka tunggu sejak lama. “Dia adalah utusan langit.” Terlihat sedikit terkejut, Carl menjawab, “Dia? Utusan langit? Anak lelaki ini?” Lagi-lagi, lelaki itu menaikkan kedua alisnya, memberi jawaban atas pertanyaan Carl. Senyuman masih terlihat di wajahnya yang putih. Anak ini adalah anugerah yang nantinya diharapkan akan menggantikan Shin, mewakili Whicessenova. “Tepat sekali karena kau telah menyelamatkan nyawanya,” ucapnya lagi sebelum keluar dari ruangan tersebut. ‘The Victor?’ Lelaki bertopeng itu memandang lurus ke depan. Anak lelaki yang ia selamatkan itu adalah dunia Baru bagi Shatranj. Ia seolah merasa tidak hanya menyelamatkan nyawa seorang anak, tapi rasanya ia telah menyelamatkan Shatranj dan seisinya. Tak lama, seseorang mengetuk pintu. “Masuklah!” Muncul seorang manusia kerdil dengan topi kerucut berwarna putih. Memakai sepatu bulat yang juga berwarna putih. Memiliki idung mancung seperti penyihir. Ia menganggukkan kepalanya pada Carl saat tiba di ruangan. Setelahnya, ia menyampaikan maksud kedatangannya ke ruang tersebut. “Raja Whichessenova memerintahkan Odi untuk menjaga Tuan Muda, Tuan.” Carl mengangguk. Paham dengan maksud kedatangan makhluk kerdil itu. Setelahnya, lelaki dengan separuh wajah tertutup topeng besi itu meninggalkan ruangan tempat anak itu masih tak sadarkan diri. “Baiklah, Odi. Kabarkan bila anak itu sudah sadar,” ucapnya sebelum meninggalkan ruangan tersebut. Mahluk kerdil itu mengangguk, lalu berjalan menghampiri ranjang. Ia mengacungkan telunjuknya, kemudian tirai-tirai tipis yang terlihat seperti kelambu mulai turun dari tiap sisi mengelilingi ranjang tempat anak lelaki itu tak sadarkan diri. Mahluk kerdil itu kembali mengacungkan telunjuknya. Lalu, lampu gantung dari berlian itu mulai berputar perlahan. Alunan musik yang menenangkan terdengar. Katanya, suara itu bisa merilekskan tubuh siapa saja yang mendengarnya. Seperti musik penyembuh yang lumayan efektif. Mahluk bernama Odi itu menarik kursi dan mulai duduk di sebelah ranjang. Sampai malam tiba, lampu berlian yang berputar itu mengeluarkan sinar seperti kelip-kelip bintang. ‘Semoga tidurmu nyenyak, Tuan Muda.’ *** “Kau lihat sekarang, kan?” Lelaki berambut putih itu bertanya pada bayangannya yang memantul di cermin. Bayangan yang selalu meremehkan kalau kegelapan akan lebih dulu menemukan sang Victor dibanding dirinya. Lelaki itu mengambil sebotol Lavorta. Minuman yang satu-satunya berwarna merah di tempat yang serba putih itu. Dituangnya pada gelas berleher panjang dengan begitu syahdu. Ia senang. Sangat senang. Senyuman bahkan tidak pernah alfa dari bibirnya, sejak ia kembali dari ruangan anak lelaki yang tak sadarkan diri. Bagaimana tidak? Kemenangan terlihat di pelupuk matanya. Lelaki itu sudah memiliki kandidat yang kuat. Sebentar lagi, peperangan akan dimulai. Ia sudah siap. Lelaki itu percaya, kandidatnya akan memegang kendali pada dunia yang ia pijak kini. Minuman yang telah ia tuang pada gelas itu berbuih, sangat menggoda seakan sedang berteriak teriak, meminta Whicessenova untuk meminumnya. ‘Kuakui kali ini kau tidak begitu buruk, Whissy.’ Lelaki itu meneguk minumannya. Sensasi segar mengalir di kerongkongan. Setelahnya, buih lembut seolah mengecup bibirnya dengan hangat, seperti kecupan dari Wise saat ia masih berada di sisi Whicessenova. Kemudian lelaki itu tertawa. “Jika aku sudah berkata aku akan menang, artinya aku akan menang. Kau mengerti? ” Akhirnya, ia bisa membuktikan pada bayangan di cermin itu kalau apa yang ia katakan benar benar terjadi. Lelaki itu duduk di sofa kesayangan. Sofa dengan bulu beruang putih yang hangat. ‘Kau memang selalu percaya diri, Whissy.’ Lelaki itu tersenyum licik mendengar perkataan yang keluar dari bayangan di cermin yang memantulkan dirinya. “Tidak percaya diri hanya untuk orang-orang yang lemah, kau tahu?” ‘Jadi, apa rencanamu selanjutnya?’ Bayangan dirinya itu kembali bertanya. Benar, ia harus memiliki rencana untuk mencapai kemenangan. Lagi-lagi, senyuman licik menghiasi wajahnya. Ia sudah memiliki pikiran yang panjang atas hal ini. “Ah iya, aku lupa memberi makan Hippy,” ujarnya setelah menghabiskan tegukan yang terakhir. Lelaki itu bangkit, masih dengan tatapan licik menghiasi wajahnya. Membuka pintu yang lebar, keluar dari ruangan menuju suatu tempat yang tersembunyi. 'Dan kau salah satunya, Hippy.'  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD