Pertanda

2197 Words
Lelaki yang wajahnya tertutup topeng besi itu berlari. Ia adalah  Drake sang Warlord Hitam, salah satu orang kepercayaan yang Blachessier miliki di Blason. Lelaki itu berlari tepat setelah ia melihat tanda di langit. Ia menghampiri lelaki tua berjenggot yang masih berdiri menghadap bibir jendela. Lelaki tua itu sedang mengamati tanda yang ia temukan di langit. Tanda yang sama dengan yang dilihat oleh Drake baru saja. Lelaki tua itu berlarian dalam pikiranya sendiri. Seolah terus dipaksa untuk berpikir, bahwa kejadian itu akan terulang kembali. Kejadian beberapa puluh tahun yang lalu, sebelum Shatranj hanya menyisakan hitam dan putih seperti sekarang ini. Bulan purnama yang harusnya tampak utuh, termakan kegelapan sampai tinggal separuh. Separuh lainnya berwarna hitam pucat. Tanda yang tidak biasa. Bulan seperti ini hanya ditemui di saat-saat tertentu saja. ‘Akankah hal itu terjadi lagi?’     Lelaki tua itu membatin, masih dengan tangan yang sesekali mengusap janggutnya yang memutih. Tiba-tiba saja pintu terbuka dengan keras. Drake yang merupakan orang kepercayaannya itu muncul dari balik pintu setelahnya. “Mohon maaf, Yang Mulia. Hamba melihat sesuatu di atas sana.” Lelaki yang wajahnya tertutup topeng separuh, melempar pandangnya ke luar jendela, sebagai isyarat kalau ia baru saja menemukan hal yang janggal dan mungkin Blachessier belum menyadarinya. Namun, pikiran Drake salah. Lelaki tua itu sudah menemukan kejanggalan sejak tadi. Ia bahkan tidak menoleh ketika Drake menyampaikan maksud kedatangannya. Lelaki tua itu masih menengadah ke langit, tak berpaling sedikit pun. Setelah hening beberapa jenak, ia akhirnya mulai angkat bicara. Menjawab perkataan lelaki yang ada di belakangnya. “Aku juga merasakannya, Drake.” Nada bicaranya selalu berat. Suara khas miliknya yang terdengar begitu berwibawa. Meskipun tak terlihat sedikit pun gurat gusar di wajah lelaki tua itu, jauh di dalam benak Blachessier berkecamuk rasa gugup dan khawatir. Ia tak ingin kalau sampai peperangan yang merenggut banyak nyawa itu terulang kembali. Ia tidak ingin ada warna lain selain hitam dan putih di Shatranj. Hidup dalam keheningan dan kegelapan seperti ini sudah cukup baginya. Selama wilayah yang bersebrangan itu tidak mengusik satu sama lain, lelaki tua itu percaya bahwa mereka bisa tetap hidup berdampingan meski kata musuh dan rasa ingin saling bunuh mungkin singgah di dadaa satu sama lain. “Apa kau tahu ke mana Bitale pergi?” Kini pikirannya beralih pada Bitale, anak semata wayangnya. Hanya gadis itu yang ia miliki dan harus ia lindungi. Pewaris wajah perempuan yang ia cintai. Satu-satunya yang tersisa dalam hidup Blachessier setelah kejadian bersejarah itu terjadi. Lelaki tua itu belum melihat Bitale sejak tadi. Tidak terdengar juga ocehan dan omelannya yang selalu memenuhi seisi Menara Hitam. Gadisnya itu, terdengar begitu tenang dan tidak membuat gaduh seperti biasanya. Itu membuat Blachessier akhirnya bertanya-tanya. Jangan-jangan, gadis itu lagi-lagi melakukan hal yang selalu lelaki tua itu larang. “Hamba tidak melihat Nona Bitale sejak tadi, Yang Mulia.” Anak perempuannya itu pasti sedang berkeliaran menyusuri Forestan, hutan hitam yang berbatasan dengan Sadest-hutan yang dipenuhi pohon pinus menangis di wilayah Whiterdante, sisi lain yang tidak dijaga Rocky. Hutan yang dipenuhi dengan segala misteri dan makhluk-mahluk mengerikan yang siap menerkam atau membunuh siapa pun yang datang kesana secara perlahan. Hutan yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Whicessenova itu benar-benar tempat yang berbahaya sekaligus tempat yang begitu menarik perhatian. Gelap dan dingin bertemu di sana. Hanya ada seutas benang termantrai yang menjadi tanda perbatasan antara kedua wilayah itu. Penghuni Shatranj menyebutnya Woolis, seutas benang penjaga yang begitu ajaib. Benang itu berwarna keemasan dan sangat tajam. Sekilas, benang yang tipis itu tidak terlihat sampai mungkin saja melukai siapa pun yang melintasinya. Namun, yang lebih parah ketika benang itu sudah mengeluarkan cahaya, mata siapa pun yang melihat cahaya tersebut akan buta. Katanya, cahaya ini akan muncul di waktu-waktu tertentu. Tidak ada yang tahu pasti, karena tidak ada seorang pun yang berani mendekati Woolis sampai saat ini. Pernah seorang Askar ditemukan terbunuh di perbatasan itu. Dengan luka bakar yang cukup serius dan mata yang berdarah-darah. Penghuni Shatranj percaya bahwa Askar itu mati karena mencoba mendekati Woolis. Maka, sejak kematian sangat Askar menyebar luas ke seluruh sudut di Shatranj, tidak ada lagi yang berani mendekati perbatasan tersebut. Mungkin gadis itu adalah seorang pengecualian. Bitale sering mengendap-endap, mengumpulkan informasi tentang apa yang ia lihat di sana. Sering kali memasang kuping dan jebakan hanya untuk mengerjai beberapa Askar kiriman Whicessenova yang sesekali berkeliling di Sadest untuk berjaga-jaga. Sebenarnya, ia juga ingin melewati batas, memasuki wilayah Whiterdante. Sangat ingin. Gadis itu memiliki rasa ingin tahu yang di tinggi di umurnya sekarang ini. Ia ingin tahu, apa saja yang dapat ia temukan di sana dan apa saja yang tak dapat ia temukan di Blason sedang Whiterdante memilikinya. Sebagaimana diketahui oleh hampir seluruh penghuni, dua wilayah ini sangat berbeda. Blason yang amat kelam dan gelap, menggambarkan kesenyapan yang mencekam. Sedang Whiterdante, wilayah yang sunyi dan penuh dengan gigil yang begitu dingin. Seperti seorang gadis kesepian yang hidup dalam dunia yang penuh keheningan. Sejak kematian Ratu Wise yang tak lain adalah istri Whicessenova, Whiterdante bagaikan kota mati. Seolah semua orang turut ditinggal pergi sang kekasih hati yang amat mereka cintai. Kematian juga seakan mencekik wilayah tersebut. Seolah hidup hanya sebagai formalitas, layaknya mayat hidup yang tak lagi memiliki jiwa di dalamnya. Sejak itu pula lah, salju sering turun, menyelimuti wilayah tersebut. Namun, tidak dengan Blason. Salju tidak pernah turun di sana. Tidak sekali pun. Hanya air hujan yang membanjir dan petir yang saling sahut dan membuat seisi Blason khawatir. Dengan gelap yang sering kali menyelimuti wilayah mereka, seakan sang pemilik dunia sedang menghukum anak nakal dengan hujan deras dan petir yang saling sambar. “Drake, katakan pada Leto untuk mencari Bitale. Hujan sepertinya akan kembali mengguyur wilayah kita.” Lelaki tua itu menyadari sesuatu. Langit sudah mendung. Hujan pasti segera turun, entah beberapa menit atau jam lagi. Hanya dengan anggukkan, Drake akhirnya pergi menyampaikan titah dari lelaki tua itu. Disampaikannya pesan Blachessier pada Leto yang saat itu sedang berjaga di kaki Menara Hitam. Dengan sigap, kaki dengan cakar tajam itu melangkah membelah gelap. Disemainya dedaunan yang menutupi penglihatan. Ia tak habis pikir, kenapa Bitale tidak pernah merasa takut dengan hal-hal semacam ini. “Nona Bitale!” Lantang ia bersuara, menyerukan sang gadis yang kini sedang dicemaskan oleh pemimpin Blason. Berharap sang pemilik nama menyadari seseorang tengah mencarinya. Dengan lentera yang ia miliki di salah satu tangannya, ia mulai melangkahkan kaki menuju Forestan yang gelap dan menakutkan. Bitale, seorang perempuan yang tidak tahu apa itu ketakutan. Gadis yang lebih menyukai tantangan dan segala hal yang membuatnya begitu penasaran. Gadis itu tak akan gentar. Bahkan ketika ia tahu, Forestan menyimpan banyak hal berbahaya. Jika tidak hati-hati, bisa saja kakinya menginjak quicksand  yang bisa menelannya hidup-hidup dalam beberapa menit. Itu adalah hal menakutkan yang paling ringan. Lain cerita jika ia bertemu dengan Wandering Spider, si Laba-laba beracun yang gemar bersembunyi dalam kegelapan. Laba-laba besar yang merangkak di dedaunan, si pembunuh yang cukup handal. Bisa yang ada dalam gigitannya akan meresap ke dalam darah dan membuat kehilangan kontrol otot, juga gangguan pernapasan yang akhirnya akan membuat mangsanya mati kehabisan napas. Cukup sulit melihat dengan jelas dalam Forestan yang gelap merupakan sebuah kelemahan yang sangat disukai oleh Wandering Spider. Laba-laba mematikan itu akan berkamuflase dengan dedaunan rimbun dan bergelayut di akar-akar gantung. Cukup satu gigitan saja, tamat sudah riwayat hidup korbannya.   “Nona Bitale! Tale... tale!” Suara lelaki setengah serigala itu bergema. Leto sudah memasuki mulut Forestan, setelah beberapa saat lalu mendapat titah dari Blachessier yang disampaikan oleh Drake padanya. Gelap yang begitu pekat terlihat seperti lorong yang tidak memiliki ujung. Dedaunan rimbun menjadi pagar alami Forestan. Melambai-lambai seakan memanggil siapa pun yang melewatinya. Ia belum menerobos masuk. Masih mencari di sekitaran mulut Forestan. “Nona Bitale! Tale... tale.” Lagi, suara yang ia serukan bergema, seolah saling sahut. Namun, masih tidak ada jawaban atas panggilannya. Gadis itu tidak menjawab sama sekali. Entah memang karena ia tak mendengar, atau mungkin ia sudah tak ada di sana lagi. Akhirnya, Leto menggunakan penciumannya yang tajam. Ia mengendus di sekeliling mulut Forestan itu. Aroma tubuh Bitale dapat ia rasakan. 'Sudah cukup lama Nona Bitale melewati tempat ini, terlihat dari aromanya yang mulai samar,’ batinnya. Dua Askar lain yang ia bawa berada di sisi lain mulut Forestan. Mereka menyerukan panggilan yang sama, berharap gadis yang mereka cari setidaknya menanggapi walau hanya dengan sebuah sinyal. Nihil. Tidak ada tanda-tanda apapun yang mereka temui. Sepertinya, mereka sudah kehilangan jejak gadis tersebut. Tak lama, dua Centaur berlarian menghampiri mereka. Terlihat begitu gagah dengan kaki-kaki kuda yang mengeluarkan irama begitu mereka berlarian. “Yang Mulia meminta kalian kembali ke perbatasan. Segera.” Centaur menyampaikan titah pada mereka untuk segera kembali ke perbatasan Blason dengan Menara Hitam. Tak jauh dari gerbang masuk yang dijaga Rocky. “Masih tersisa satu Askar lagi di bagian barat. Gerbang utama menuju Forestan.” Salah satu Askar menyahut, ia teringat pada salah satu temannya yang juga diutus Leto untuk mencari Bitale di sisian lain Forestan. “Biar kami yang urus, kalian harus segera berangkat.” Dua Askar itu saling tatap, lalu mengangguk. Sedetik kemudian, kaki-kaki besi itu melangkah pasti kembali ke perbatasan. Entah, apa yang terjadi. Namun, sepertinya ini sangat mendesak. Mereka membiarkan yang tertinggal menjadi tanggung jawab Centaur. Sedetik sebelum keberangkatannya, satu dari mereka menghampiri salah satu Askar. Ia mendekatkan tubuh lalu berbisik, “Akan ada hal besar terjadi. Perhatikan dengan teliti, jika ada yang mencurigakan, segera berkabar.”   *** Perbatasan tampak sepi. Tidak terlihat hal mencurigakan seperti yang Centaur bisikkan di telinganya beberapa waktu yang lalu. Gelap semakin pekat, di tambah dingin yang menyeruak menyelusup kedalam kulit. Angin yang kencang berhembus. Benar kata Blachessier bahwa hujan akan turun, sebentar lagi. “Tidak mungkin rasanya Centaur mempermainkan kita.” Satu Askar mulai bersuara setelah ia berkeliling, memastikan tidak ada yang benar-benar terjadi. Tidak ada hal yang perlu mereka curigai, semua nampak seperti malam -malam sebelumnya. “Mengapa ia menjadi begitu khawatir?” Satu Askar lagi menyahut, mendukung kalimat yang sebelumnya sudah ia dengarkan. “Lagi pula, bukankah Shatranj sudah mulai tenang?” Askar itu menarik napas panjang. Rocky yang masih berdiri di belakangnya seolah tidak ingin ikut campur. Ia masih menutup mata dan telinga. Seolah butaa dan tulii seperti biasanya. Sebelum serangan itu benar-benar terjadi di depan mata, ia tak mau ambil pusing. Terlebih, aroma tubuh mereka yang sudah ia kenali. Jelas, Askar-askar itu ada dipihak Rocky, maka ia akan tetap diam dan tertidur, seperti yang biasa ia lakukan. “Bukankah sudah ada Rocky yang menjaga tempat ini? Untuk apa kita berjaga di sini? Bukankah kekuatan Rocky sudah lebih dari cukup?” Lelaki itu kembali bertanya pada lawan bicaranya, seorang Askar yang lain. Ia menoleh ke belakang. Memandangi Rocky yang masih menutup matanya dari atas sampai bawah. “Tapi, apa kau masih memikirkan sesuatu?” Lawan bicaranya tidak langsung menjawab. Ia bersuara setelah beberapa jenak terdiam. Rupanya ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. “Tentang?” Satu Askar lainnya menoleh setelah mendengar pertanyaan yang keluar dari lawan bicaranya. “Nona Bitale.” Tanpa mereka sadari, ada satu celah yang mereka lewatkan. Di sebelah barat, terhimpit dua bangunan besar ada sebuah gangg kecil, tempat pelarian Bitale. Sebuah jalan rahasia yang ia temukan untuk melarikan diri. Gadis itu selalu melewatinya ketika hendak kabur dari Menara Hitam. Entah untuk mencari kesenangan atau mungkin untuk mengatur strategi dan membuat jebakan kecil di perbatasan. Perempuan itu menyusup, melewati gangg yang hanya ia yang tahu. Tertutup dedaunan rimbun dan dengan mudahnya mengelabui mereka yang sejak tadi mencari-cari keberadaan Bitale. Sampai detik ini, belum ada satu orang Askar pun yang tahu tempat persembunyian ini. Begitu juga dengan Drake, Leto, maupun pemimpin para Centaur. Gadis itu melangkah dengan hati-hati. Ia tahu, ayahnya akan murka setelah tahu Bitale lagi-lagi melarikan diri ke Forestan. Ini bukan pertama kalinya ia membuat seisi Menara Hitam khawatir. Gadis itu melirik kiri dan kanan, aman. Tidak ada Askar yang sedang berjaga maupun berlalu lalang di sekitarnya. Ia menjinjitkan kaki, berharap tidak menimbulkan suara apapun, menginjak anak tangga yang berbentuk seperti tuts-tuts piano satu per satu dan mulai mendekati pintu kayu yang masih tertutup rapat. Pintu kamarnya. 'Sepertinya hari ini langit berpihak padaku,’ gumamnya. Perlahan, tangan mungil itu mendorong pintu. Ia menggigit bibir, khawatir pintu itu akan berderit. Mengingat usia bangunan itu yang sudah sangat tua. Dengan begitu pelan dan hati-hati, ia mencoba untuk masuk ke kamarnya. 'Ayolah, Bitale. Sedikit lagi. Kau hanya perlu masuk ke dalam kamar, lalu bersembunyi di balik selimut dengan wajah polos seolah tidak berbuat kesalahan apapun. Kemudian kau bisa bangun esok pagi seolah tidak ada yang terjadi.’ Gadis itu terus berceloteh dengan dirinya sendiri. Meski berkali-kali tertangkap basah oleh Blachessier, gadis itu tidak mengenal kata kapok. Semua nasihat yang keluar dari bibir lelaki tua itu masuk ke kuping kanan dan keluar dari kuping kirinya. Seolah hanya seperti dongeng pengantar tidur yang ketika pagi menjelang, ia lupakan. Dengan hati-hati dan rasa cemas yang hinggap di dadaanya, akhirnya tubuh itu berhasil masuk ke dalam kamar tanpa diketahui siapapun. Gadis itu tersenyum senang, tepat setelah ia menutup pintu kamarnya. “Berhasil!” Merasa sudah aman, Bitale melompat ke atas kasur. Membiarkan badan lelahnya bertemu dengan pembaringan yang nyaman. 'Tapi, mengapa rasanya berbeda?’ Bitale bertanya-tanya, ia merasa ada hal tak biasa di kamarnya. Ia meraba-raba kasur yang ia tiduri. “Mengapa kasurku-“ “Jadi darimana saja kau, Bitale?” “A-ayah....”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD