Kembalilah Padaku

1037 Words
“Pak Harvey Christian Lee yang terhormat. Bagi Bapak, ini memang pekerjaan kecil, tapi bagi saya ini adalah pekerjaan yang saya dapatkan dengan hasil kerja keras saya sendiri! Dan bagaimana bisa Anda berkata bahwa hidup saya akan baik-baik saja kalau saya hidup di Amerika? Selama saya tinggal di sana dengan ijazah dan visa yang saya punya, saya mengalami banyak kesulitan di sana, terlebih dalam mencari pekerjaan.” Sandra memelototinya, memberikan penekanan pada harvey untuk tidak semena-mena terhadap dirinya. Sandra menarik napasnya dalam-dalam. Ia menjeda perkataannya, agar dirinya bisa bersikap waras dan tetap tenang di hadapan Harvey, meskipun darah dan hatinya sudah meletup-letup panas dan mendidih. “Lalu, setelah apa yang saya lalui, kenapa saya harus berhenti hanya karena perintah Anda yang bukan siapa-siapa saya lagi?” Setiap kata demi kata yang meluncur deras dari mulut Sandra membuat Harvey mengeratkan rahang, menahan segala apa pun yang kini dia rasakan, demi wanita ini, dan demi kebaikannya. Betapa bodohnya wanita ini kalau tidak mengerti maksudnya. “Dan saya harap, kejadian ini tidak terulang lagi!” tegas Sandra di akhir kalimatnya. Dia dengan sengaja menghentakkan kaki di lantai, membuat penegasan yang sangat jelas tentang bagaimana seharusnya Harvey bersikap padany. hal seperu ini adalah sesuatu yang diluar skenarionya, Harvey cukup terkejut, karena Sandra ternyata sekeras kepala ini. Namun dia tetap menatap Sandra dengan tenang dan dia malah mengangkat salah satu sudut bibirnya, tersenyum dan berkata sarkas. “Wow, aku tidak pernah tahu bahwa ternyata kamu itu pandai bicara, Sandra.” Spontan Sandra memicingkan kedua matanya saat menatap Harvey. “Memang seharusnya Anda tidak perlu tahu!” Harvey mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu kemudian menyingkirkan pecahan gelas yang ada di meja dengan ringan, serta melepaskan jemari Sandra yang masih menggenggam gagang gelas yang masih belum pecah dengan erat. Gerakan itu sangat pelan. Seperti tersihir, entah mengapa Sandra langsung patuh dan melepaskannya. Setelah itu, Harvey kemudian memanggil pelayan dan mengatakan akan menggantinya. Sementara Sandra hanya memperhatikan semuanya dengan diam, sampai akhirnya tempat mereka kembali dibersihkan oleh pelayan. Harvey menghela nafas pelan lalu menarik dan memperhatikan tangan Sandra. Untungnya tidak ada luka sama sekali. Sebersit senyum tipis muncul di wajah Sandra. Entah mengapa itu membuat Sandra tidak nyaman. Sungguh, dia tidak bisa berlama-lama bertatapan dengan Harvey. Setelah berhasil menegaskan pada dirinya sendiri agar tidak terpengaruh oleh Harvey, dengan kejam Sandra balas menatap Harvey dengan tatapan mengintimidasi. "Urusan kita selesai. Sebaiknya aku pergi." Wajah ketusnya menghilangkan wajah manis yang selalu mempesona Harvey. Membuat wajah dingin Harvey kembali terbit menegangkan suasana di antara mereka berdua. Tak berapa lama, bunyi ponsel Sandra yang berbunyi nyaring membuatnya segera merogoh tasnya, memutus kontak mata mereka. Ia mengeluarkan ponselnya dan segera menjawab telepon tersebut. “Iya, Pak, bagaimana? Baik, saya ke sana sekarang.” Sandra bangkit dari duduknya, tetapi tangan Harvey dengan cepat terulur meraih pergelangan tangannya, mencoba menahan langkah wanita itu. ”Jadi, itu yang kamu mau, Sandra?” Sandra tak menjawab, melainkan mengempaskan pegangan tangan Harvey, kemudian berlalu pergi. Tanpa memperdulikan lagi bagaimana kekecewaan memenuhi Harvey, bahkan dia tidak lagi peduli dengan tatapan pria itu yang terus menatapnya hingga ia menghilang dari pandangan matanya. ** Pada malam harinya, Harvey turun dari mobilnya dengan perasaan kesal. Siapa pun yang bisa melihatnya sekarang ini, pasti sudah tahu bahwa suasana hatinya tidak bersahabat. “Aku tidak suka dengan lantainya, ganti!” ujar Harvey saat memperhatikan design interior penthouse miliknya. “Tapi ini udah tujuh kalinya kamu minta ganti, Harvey,” sahut Juan, yang tak lain juga adalah sahabat Harvey sekaligus arsitek design interior yang Harey percayakan untuk merombak total rumah miliknya. “Wallpaper ganti... Warnanya terlalu soft.” “Harvey, ini sudah kali keberapa kamu berkata seperti itu? Ini bahkan sudah aku rombak jugaaa!” geram Juan padanya. Harvey mengangkat kedua alis matanya cuek. “Semua pergantian ini masukkan saja di pengeluaran, aku pasti akan membayarnya.” Juan mndesah kesal, lagi-lagi pria ini membicarakan tentang bagaimana entengnya dia mengeluarkan uang, meski pada akhirnya Juan hanya bisa pasrah dengan kelakuan sahabatnya yang absurd ini. Entah kenapa, perombakkan penthouse Harvey tak juga selesai, padahal sudah dimulai sejak tiga tahun lalu. Dan selalu ada saja yang dia ubah, selalu saja ada yang tidak puas darinya. Sikap dingin, cuek, dan sedikit menyebalkan itulah yang kini tersemat dalam diri Harvey. Sangat berbeda jauh dengan Harvey yang dulu mereka kenal. Usai mengobrak abrik design interior rumahnya, Harvey beranjak pergi untuk menemui sahabat lainnya yang bernama Marco. Ting... Ting... Ting... Suara langkah kaki yang berlari dan kunci yang menandakan pintu terbuka terdengar nyaring. "Kamu mau ngerusakin pintu rumahku, ya!” geramnya kesal. Marco, salah satu sahabat Harvey menatapnya dengan alis menukik tajam. Bukannya merasa bersalah, harvey malah bersiul santai sambil terus berjalan masuk ke dalam rumahnya, membuat sang empunya rumah tercengang melihat kelakuan sahabatnya itu. Marco membuang napas kasar saat melihat Harvey sudah duduk manis di sofa sambil memainkan jari kukunya. Wajahnya terlihat semakin tengil ketika dia menyilangkan kaki seperti seorang aktor Korea yang sok kegantengan. “Kamu itu mau ubah rumah kamu seperti apa lagi?” Rupanya Marco sudah mendengar curhatan Juan mengenai Harvey yang lagi-lagi memintanya untuk merombak ulang design yang sudah dibuat dan dia realisasikan. Tetapi lihatlah Harvey, pria tengil itu malah tetap asik dengan kuku jarinya. Helaan napas panjang Marco menandakan bahwa dia harus banyak sabar dengan laki-laki ini. “Kamu tahu kan kalau Capitalince sedang naik daun, dan banyak anak perusahaannya yang berhasil terutama Summit...” ucap Harvey tanpa melihat ke arah Marco. Marco berdiri saja di depan Harvey sambil menatapnya dengan tatapan heran. “Lalu?” “Dunia pertelevisian sekarang sedang berpusat pada Summit. Setiap hari selalu jadi headline,” lanjut Harvey lagi tanpa memperdulikan wajah sahabatnya yang mulai terlihat depresi karena ulahnya. Lagi-lagi Marco hanya dapat menghela napas panjang. Ia benar-benar tidak mengerti. “Sudahlah,” kata Marco sambil mengibaskan tangan kanannya. “Berhentilah untuk menyiksa Juan sebelum dia membunuh kamu.” Marco berjalan mendekatinya sambil membawa sebotol wine untuk mereka minum. "Apa kamu masih minum obat tidur?" Marco bertanya dengan nada khawatir, meski wajahnya datar, jelas terlihat ia menyembunyikannya. Marco kemudian menuangkan wine di gelas Harvey. “Dibandingkan dengan obat tidur, aku pikir kamu lebih butuh minuman ini.” Harvey tak menyahut, tetapi tatapannya sudah menggelap. Aku tidak butuh obat tidur, tidak juga butuh segelas wine, tapi yang aku butuhkan adalah....

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD