Chapter 2 | Gio Ananda

1634 Words
Senyum terukir diiringi lubang indah yang tersemat di tengah pipi. Abim menggiring kedua ibu jarinya untuk lebih dalam menyelami layar ponsel. Beragam jenis kumpulan aksara pun tertangkap mata. Pujian. Makian. Semua berkumpul bak semut yang sedang memperebutkan tempat. Lapak postingannya terlihat ramai diperbincangkan warga net. Wajar, ia baru saja memamerkan lighstick terbaru yang baru saja ia beli di toko online. Suatu kewajaran bila akun sosial medianya diserang oleh banyaknya komentar. Dengan angka pengikut yang hampir menyentuh delapan puluh ribu, tak ada yang menjamin jika delapan puluh ribu pengguna itu, semua suka padanya. Pasti ada pro dan kontra yang terjadi, mengingat apa yang Abim posting melulu tentang sang idola. Ceklek~ Mata hitam legamnya bergulir lalu sebuah senyum manis ia semat. Pintu yang tadinya berderit kembali tertutup. Seorang wanita muda dengan jilbab panjang sebagai penutup kepala terlihat berjalan mendekat. "Udah salat, Dek?" "Udah, Mbak." Laki-laki itu mematikan daya ponsel lalu melemparnya ke sisi kanan kasur. Sedikit tak suka jika ada yang berusaha menembus privasi. Saudara sekalipun. "Kenapa di matiin, Dek? Eh, itu apa?" Kedua pasang mata itu sama-sama terfokus pada benda berbentuk box di sisi nakas samping. Abim lantas menyambarnya sembari memamerkan senyum bangga. "Ini album terbaru BTS, Mbak! Tadi beli sepaketan sama lighstick. Mbak mau liat?" Raisa mengernyit dalam. Pupil hazelnya terlihat sedikit membesar. "Oh, jadi ini toh yang namanya album-album itu. Mahal 'kan? Uang dari mana kamu?" "Minta mama lah." "Eh, dikasih?" "Enggak lah, kalo jujur, hehe." Wanita itu mendongak. Menatap dalam mata legam Abim dengan mata menyipit. "Kamu bohongin bunda, ya?" Abim menyengir lebar hingga dua dimple-nya terlihat tersemat amat dalam. "Selo, Mbak. Duit bunda nggak akan habis cuma gara-gara album." "Dasar manja." Mata Raisa lalu kembali pada box di pangkuan Abim. "Lagian apa sih kelebihan nih album? Nggak bisa nonton di Youtube aja?" "Ukhty kayak mbak tau apa tentang album beginian." "Lah perasaan mbak yang cewek loh, Bim." "Mbak cewek, tapi sukanya sama Ustadz bewokan." Satu jitakan langsung mendarat di dahi putih Abim. Laki-laki itu mengaduh seketika. "Dih rese, pulang aja sana, Mbak! Aku udah salat isya, rajin banget nanyain tiap malem. Raka tuh, diopenin! Jangan aku mulu." Abim mendengkus kesal. Diletakkannya kembali album tadi ke tempat semula. Takut jika tangan ringan Raisa merusak keelokannya. Raisa terkekeh. "Kan kamu sepupunya mbak, nggak boleh?" "Boleh mbak boleh, tapi kalo gini banget kesannya aku ibadah cuma karna diawasi doang." "Kan emang kamu begitu, suka lalai ibadah kalo gak diingetin. Korea mulu. Liat Raka tuh, adek mbak paling ganteng, jago basket lagi." "Pulang gih mbak, buat badmood aja," ujar Abim. "Bim, kamu tuh anak tunggal, jangan manja-manja banget. Inget, keluarga butuh kamu buat ngelindungi mereka." "Dih, yang manja siapa coba?" "Ya kamu lah." "Iya mbak iya, udah pulang sana, Abim mau tidur!" - A B I M - "Pagi adeknya Tae ayam!" Abim menoleh sinis. Telinganya seketika memanas mendengar sang idola yang baru saja diolok. Walau si penyeru bermaksud bercanda, nyatanya Abim tetap tak suka. "Ayam, ayam, matamui," ketusnya kemudian. "Iya iya, sensi banget. Padahal baru pamer printilan baru." Abim acuh dan kembali fokus pada ponselnya. Menghiraukan celetukan Gio yang bermaksud memancing suasana. Suasana hatinya sedang buruk pagi ini. "Bim." Si empu lantas mendongak, menaikkan sebelah alisnya saat netra indahnya menangkap sosok wanita berambut panjang yang sedang tersenyum malu ke arahnya. "Apa?" ketusnya. Gadis itu sejenak menunduk malu lalu kembali menatap dengan senyum yang ditahan-tahan. Abim mendecih. Fokusnya kembali pada benda pipih di tangan. Terlalu membuang waktu. "Em ... lo baru beli lighstick army, ya?" Sontak Abim mendengkus kuat. Rahangnya menegas dengan u*****n yang tertahan di kerongkongan. Basa-basi yang membosankan. Apa yang harus ia jawab jika postingannya semalam sudah menjawab segalanya. Melihat itu, sang gadis hanya mengulas senyum kecewa. Sebenarnya sudah biasa diperlakukan demikian. Tapi karena tuntutan rasa hati yang menggila, ia tetap mengulanginya. Walau sebagai efek ia jadi bahan tontonan para penghunin kelas, tapi baginya ini menyenangkan. Gadis itu kemudian beringsut duduk di meja hadapan Abim. Refleks remaja laki-laki itu mendongak. Alisnya naik guna menyaratkan sebuah kejijikan atas apa yang terlihat. Sebuah b****g yang dilapisi kain rok ketat. "Turun," desis Abim. Gadis dengan rambut hitam bergelombang itu menggeleng pelan. "Gua mau tanya masalah album, Bim. Boleh 'kan?" Lelaki itu menggeram dengan mata terpejam. Dalam hati merutuk sembari menghela napas guna meredam emosi. Kenapa hari ini semua orang terasa menyebalkan? Mulai dari ayahnya, Gio dan segala yang ditangkap oleh retinanya terasa membakar emosi. "Please, gue lagi nggak bisa ngontrol emosi. Mendingan lo pergi," ujar Abim seraya mengurut pelipis. Gio selaku chairmate Abim lantas angkat bicara saat melihat gelagat Abim yang mulai menguarkan hawa panas. "Kay, balik ke kursi lo gih." "Apa sih lo, sibuk banget." Abim lantas memejam kembali dengan gigi bergemelatuk. Kenapa suara yang terkesan di imut-imutkan oleh Kayla seakan menjadi bahan bakar sang emosi? "Kamu bawa albumnya nggak, Bim? Gimana, seru? Punyaku belum samp---" "BERISIK!" Brak! Semua mata yang berada di kelas itu lantas terfokus pada meja Abim yang digebrak kasar oleh sang empu. Langkah lebar pria jangkung yang menutup kepalanya dengan tudung hodie itu dapat menggambarkan dengan jelas bahwa ada aura kemarahan yang menguar dari sana. Gio lantas berdiri, menatap Kayla yang terdiam di tempat dengan sorot datar. "Suka boleh, bodoh jangan. Cara lo ngedeketin dia murahan banget tau nggak." Kayla mengepalkan tangan seraya menuruni meja. Matanya berkilat saat melihat langkah lebar Gio yang mengarah ke luar kelas. Kemudian menatap sangar ke arah beberapa siswa yang juga tengah menatapnya. "Argh!" - A B I M - "Bim!" Sang empunya nama hanya acuh sambil terus melangkah menyusuri lorong yang lengang sebab para siswa sudah mulai menuju lapangan guna melaksanakan upacara rutin. Abim bukannya marah pada Gio, hanya saja ia sedang berusaha menata kembali mood-nya yang berantakan. Derap langkah kedua lelaki jangkung itu memenuhi keheningan yang melanda. Gio ikut bungkam saat panggilannya tak kunjung mendapat balasan. Ia tahu, jika sudah begini, ia hanya perlu bersabar sampai perasaan sahabatnya itu membaik. "Jangan terlalu kasar lah Bim sama cewek, mereka itu suka sama lo, peka lah dikit." Abim masih diam dengan tatapan fokus pada jalanan lorong, melihat beberapa siswa yang melangkah cepat dari lawan arah sebab suara petugas upacara mulai terdengar. Malas menanggapi Gio, takut jika akan membuat perselisihan sebab emosinya masih memuncak. "Atau lo bener homo, nih? Jangan-jangan suka sama gue?" canda Gio. Abim lantas menghentikan langkahnya lalu memejam dengan rahang mengeras. Tangannya terkepal lalu membuka tudung hodie dan menghadap samping, tepat berhadapan dengan tubuh jangkung Gio. Tatapan tajamnya langsung menghunus mata hazel Gio yang membuat lelaki itu menciut. "Bisa nggak, satu hari aja, gue nggak denger kata homo?" Gio terdiam lalu menyengir bodoh. "Gue becanda, Bim." "Sepele bagi lo semua, tapi beban buat gue. Gue nggak homo, gue suka cewek, kenapa lo nggak ngerti itu?" Dada Gio berdesir saat melihat mata Abim sudah berkilat kemerahan. s**l, ia bercanda di waktu yang salah. "Iya maaf, becanda doang, Bim." Abim mengacak surai dengan brutal lalu turun mengusap-usap wajah kasar. Gio tak sepenuhnya salah, ini semua sebab emosinya sedang tidak stabil. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali melangkah menuju toilet yang berada di ujung lorong. Mungkin membasuh wajah bisa membantu meredam emosi. Cukup lima menit bagi Abim untuk melenyapkan emosi itu di toilet. Setelah kaki jenjangnya melangkah ke pintu, lelaki itu buru-buru memasang senyum tipis dengan wajah masih basah saat melihat raut bersalah Gio yang ternyata masih menungguinya. Gio lantas memajukan diri, merangkul pundak kecil Abim seraya tersenyum lega. Mulai menggiring langkah menuju kelas tanpa membuka pembicaraan sedikitpun. Cukup, ia tak mau salah bicara lagi saat mood Abim belum bisa terbaca sepenuhnya. Abim sendiri hanya ikut bungkam tanpa mengenyahkan tangan Gio yang tersampir di bahu. Ia juga sedang malas berbicara, mungkin sahabatnya itu tahu akan suasana hatinya. "Kelas apa lapangan, nih?" "Kelas aja, kalo ke lapangan namanya cari mati." Gio terkekeh lalu mulai mengambil langkah berlawanan dari arah lapangan dengan tangan masih setia merangkul pundak Abim. Kendati hati ingin meminta maaf pasal kejadian tadi, tapi takut bila emosi anak itu kembali terpancing. Jadi, biarlah suasana sedikit canggung seperti ini. Kini keduanya sudah sampai di kelas dengan aman tanpa kendala sedikitpun sebab tak ada guru piket yang biasanya stay di daerah lorong kelas. Abim langsung bermain ponsel dengan Gio yang masih berusaha menepis rasa canggung yang melanda. "Ntar sore ngebasket?" Gio menoleh cepat. "Iya kayaknya. Tapi belum pasti sih, soalnya ada pergantian kapten katanya." Ada jeda sejenak hingga lelaki itu kembali bersuara, "Kenapa, Bim?" "Gue pengin ikut." "HAH?" Abim dengan cepat menoleh saat mendengar suara melengking Gio yang membuat sang empu salah tingkah. Gio itu takut salah bicara lagi, itu intinya. "Kenapa?" "Nggak apa-apa sih, aneh aja gitu. Soalnya 'kan lo bilang nggak suka basket," jawab Gio kikuk lalu menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Bisa Gio dengar, Abim mengembuskan napas kasar lalu meletakkan ponselnya asal. "Gue capek denger bacotan orang yang bilang gue kurang laki, bilang gue suka sesama jenis, padahal mereka nggak tau gue suka Korea cuma sebatas kagum dan pengin nikmatin karya mereka doang, nggak lebih." "Siapa bilang?" "Komenan Instagram.". Gio langsung menggeser kursi dan menghadap penuh pada Abim, berusaha mengenyahkan rasa canggung dengan menoyor kepala anak itu. "Halah, kayak baru pertama dihujat aja. 'Kan tiap lo buat postingan juga bakal banjir hujatan, Bim." "Tetep aja gue sakit hati." "Lagian lo itu nggak cocok ngebasket, bulan lalu pas gue paksa main demi ngerayain ultah gue aja lo sampe mimisan 'kan?" "Lo nggak ngerti, Yo." Abim langsung menunduk yang membuat surainya menggantung di udara. Dadanya sesak saat mengingat akan tuntutan sekitar yang memaksanya untuk melakukan apa yang tak ia suka. Kalau boleh jujur, Abim lelah hidup seolah di monitori oleh segelintir orang yang menuntutnya untuk sempurna di mata mereka masing-masing. "Lo bisa buat gue ngerti, asal lo cerita, inti permasalahannya apa?" Abim menutup wajahnya dengan ke sepuluh jarinya lalu menyibak sang rambut seraya mengembuskan napas dengan perlahan. Berat, Gio tau beban anak itu tak main-main. "Nggak apa-apa, kalo lo belum siap cerita, jangan dipaksain, oke. Ntar sore gue bantu, tapi kalo kira-kira capek lo berenti, gimana?" "Makasih, Yo." "Drama lo ih. Kek ama siapa aja." Tok ... tok ... tok .... "Kalo niat nge-homo mending nggak usah sekolah dah kalian." 's**t! Bisa nggak kata homo lenyap dari dunia ini?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD