chapter 5 | Sisil Aprilia

1445 Words
"Cinta itu udah ada yang ngatur, lo tinggal diem ngikutin skenarionya. Nggak tahan jalanin proses? Silakan ambil pisau, trus bundir aja sana." •••• Senja hadir sore ini, jingganya yang merekah mulai menghiasi suasana menjelang malam yang sangat memanjakan mata. Abim adalah salah satu dari jutaan pasang mata manusia yang menjadi saksi indahnya senja sore ini. Kesejukan udara yang dihasilkan oleh dedaunan rindang pohon belakang rumahnya membuat pemuda penggila Korea itu nyaman duduk berlama-lama di kursi yang di kelilingi oleh beberapa bunga segar. Bibir tipisnya tersenyum hingga membuat lubang kecil di area kedua pipinya menyembul dengan paru-paru yang tak berhenti menyedot sang kesegaran sore hari di taman kecil-kecilan belakang rumah hasil riasan sang ibu. Tatapan mata indahnya berpendar menatap jingga senja yang menandakan tugas sang matahari hendak usai. Alis tegasnya yang biasa selalu mengkerut ia biarkan santai menikmati fasilitas Tuhan kali ini. Lama termenung dipeluk oleh keheningan, akhirnya jemari lentik miliknya mulai bergerak merogoh saku celana, mengambil benda pipih yang sudah bertahun-tahun menjadi teman hidupnya. Abim terlena, kini fokusnya sudah sepenuhnya tertuju penuh pada sang ponsel. Jarinya bergerak lincah menggulirkan beranda sosial media sembari meninggalkan tanda love merah pada postingan-postingan yang berbau para idolanya. Sampai satu bunyi suara notifikasi yang bergetar langsung membawanya ke aplikasi berwarna hijau. Matanya memicing kala mendapati nomor kontak yang tak dikenali terlihat memberinya beberapa pesan. Ia pun segera memencet profil dan mengecek foto beserta nama si empunya kontak itu. Tapi nihil, yang lelaki itu temukan hanya foto kosong sebab ia belum menyimpan nomor tersebut. Abim bimbang, di satu sisi ia malas membaca pesan itu sebab benci kontak pribadinya di save oleh orang asing, tapi di sisi lain ... Abim penasaran dengan isi pesannya. Ia pun bolak-balik meng-klik profil, sampai akhirnya ..., 'Bim, ini gue April. Gue mau nanya, lo kapan ada waktu buat ngerjain tugas kita dari bu Dinar minggu kemarin? Besok waktunya kita presentasi.' 'Oh iya, save back ya.' Sial, kepejet! Abim menggerutu sembari berusaha mencerna siapa si pengirim pesan itu. Sampai akhirnya ingatannya di tarik ke beberapa hari lalu dimana ia dan seluruh teman sekelasnya dibagi menjadi beberapa bagian guna mengerjakan tugas makalah. Lelaki itu tampak berpikir lalu mengetikkan balasan dalam sekejab. 'Ntar malem ketemu di cafe bisa?' 'Nyokap lagi sakit. Kalo misalnya lo yang ke sini nggak papa?' 'Send alamat aja.' 'Gue kirim lokasi sekarang, cek maps.' 'Ya.' Abim lantas menyimpan nomor asing itu sampai beberapa digit angka yang tertera berubah menjadi kumpulan aksara yang saling terhubung. Detik selanjutnya, tampaklah profil si empunya kontak yang ia beri nama 'April' yang langsung menyita perhatian lelaki manis itu. Alisnya mengkerut dengan mata menyipit saat atensinya terfokus pada foto wanita berambut pendek yang terlihat sedang tersenyum tipis ke arah lain kamera dengan background awan juga beberapa pepohonan rindang. Tak sadar, ingatan Abim langsung ditarik ke beberapa waktu silam di mana terdapat wajah wanita itu di dalamnya. Mata bulatnya yang sering tertangkap basah sering diam-diam memperhatikannya di kelas membuat senyum tipis tiba-tiba menyembul di bibir Abim. Lelaki itu tahu, bahkan sangat tahu apa yang tengah terjadi pada wanita itu. Dari gelagatnya yang salah tingkah saat guru menjadikan mereka satu kelompok, dari curi pandang yang sering membuatnya terasa diintai, juga cara bicaranya yang selalu kaku tak pernah berani menatap Abim, semua cukup jelas, wanita itu suka padanya. Lelaki itu lantas mematikan layar ponsel lalu memutarnya secara perlahan, menggigit bibir bawah lalu terkekeh pelan yang membuat lubang indah tersemat di kedua pipinya. Abim memang tak menyangkal bahwa ia sedikit risih pada kode-kode yang dilemparkan beberapa wanita untuk memberikan sinyal padanya bahwa mereka itu menyukainya. Tapi, Abim sendiri tipikal anak yang bodo amatan. Ia akan berusaha memberi gelagat pada mereka bahwa ia tidak tahu akan kode-kode berlebihan itu. Karna Abim masih ingin sendiri, tidak ingin kenal cinta, tidak ingin kenal patah hati, dan bebas. Bukan tanpa alasan Abim menutup diri sejauh ini. Dulu, tepatnya saat ia duduk di kelas dua menengah pertama, lelaki jangkung itu pernah merajut cinta monyet pada wanita imut bawah angkatannya. Tapi, namanya juga masih labil, wanita itu mendua dengan wakil ketua osis yang membuat rasa jera akan b******a tanpa sadar menjelma menjadi rasa nyaman akan kesendirian. Abim rasanya enggan kembali merasakan indahnya di mabuk cinta, karna ia tahu, ending-nya akan tetap sama. "Mau shalat maghrib di luar apa gimana, Bim?" Lelaki itu buru-buru menoleh, mendapati sang ibu dengan setelan hijab syar'i nya mulai duduk, membawa aura hangat yang menguar. Seakan tertular, Abim pun ikut tersenyum simpul lalu berbaring tepat di paha sang ibu. Sentuhan lembut mulai terasa menyapa permukaan dahinya, kegiatan rutin yang menjadi salah satu dari beberapa perlakuan manis sang ibu. Serasa terbuai, Abim lantas memejam lalu mengulas senyum lebar, enggan beranjak dari rasa nyaman ini walau langit sudah nyaris menggelap. "Kamu mau mama masakin apa malam ini?" "Nggak usah, Ma. Abim ada tugas sekolah di luar, sekalian makan entar." Tyas, wanita yang memiliki kumis tipis itu terlihat menggeleng lalu mencubit hidung bangir anaknya dengan kuat. "Makan di rumah aja, hemat, Bim." "Pelit." Wanita berkepala tiga itu hanya menghela napas khawatir. Entah mengapa ia rasa pola makan anak semata wayangnya itu terlihat semakin buruk. Tak jarang ia memergoki sisa nasi di piring yang anak itu makan, terbukti dengan rahang Abim yang tampak semakin menirus. "Udah, kamu maunya makan apa?" "Nggak napsu, Ma. Nanti di luar aja," tolak lelaki itu masih dengan mata terpejam yang membuat Tyas menggeleng pasrah. "Ya udah, awas aja kalo di luar tetep nggak makan." "Tenang kanjeng mamiku." Tyas hanya geleng kepala saat melihat kelakuan konyol sang anak. Tapi entah mengapa, walau demikian, Tyas sangat menyayangi anak itu. Tak peduli, seberapa banyak tetangga yang mengolok anaknya tak normal, manja, pemalas dan sebagainya, Tyas hanya acuh. Baginya, Abim adalah Abim. Putra kecilnya yang tak pernah tumbuh besar, selalu manja dan memiliki seribu cara untuk membuatnya tersenyum. Kini yang harus ia lakukan hanya sabar dan tawakkal, percaya bahwa Tuhan pasti akan membungkam mulut mereka yang suka usil pada keluarganya dengan cara yang tak ia duga. "Bim, jangan tidur. Ayo shalat, udah adzan itu." -ooOOoo- Sorot mata Abim langsung berpendar, menyisir seisi ruang tamu kecil dengan harum lavender yang seakan menyambut kedatangannya. Ia melangkah malas menduduki sofa lusuh yang berkumpul di dekat televisi kecil, meletakkan tas ranselnya lalu menatap gadis berambut pendek yang mulai membawa tumpukan buku beserta laptop ke atas meja kayu. "Maaf, rumah gue kecil, ngerjainnya jadi nggak leluasa. Abisnya mepet." Abim hanya diam tak berniat menjawab, masih berusaha menata kembali mood-nya yang hancur akibat tadi ia salah masuk g**g saat mencari alamat rumah ini. Perutnya yang keroncongan ditambah keadaan rumah yang jorok membuat lelaki dengan kepribadian pembersih itu langsung kehilangan mood-nya. Abim lantas menyandarkan diri lalu menutup wajah dengan jemarinya, menarik napas lalu menyisir rambutnya dengan jari. Ia harus rileks, bagaimanapun, ia tamu di sini. April, wanita yang menjadi tuan tumah itu lantas menggigit bibir gusar saat Abim tak juga meresponnya. Lelaki itu terus diam dengan gelagat tak mengenakkan. April lantas berdiri, berniat mengambil air ke dapur, siapa tahu lelaki itu begitu karena tengah kehausan. Abim refleks mendongak saat melihat April berdiri. Alisnya menungkik guna bertanya melalui gestur tersebut. "Gue ambil minum bentar." "Nggak usah, nggak haus." Abim mengumpat dalam hati, ia tak membayangkan akan minum dari peralatan rumah jorok ini. April meneguk ludah kasar lalu kembali mendudukkan diri dengan perlahan. Gadis itu menyelipkan beberapa helai rambutnya yang menutupi pipi ke belakang daun telinga seraya menunduk. Demi apapun, situasi ini begitu canggung baginya. "Salin data mentah dari google aja, cetak besok pagi. Percuma juga ngerjain malem gini." April lagi-lagi meneguk ludah kasar saat mendengar ujaran ketus dari lelaki itu. Ia melirik lelaki yang tengah mengenakan sweater abu dengan tudung hodie yang membungkus kepalanya yang juga ikut menatapnya tajam. "Maksudnya? Percuma gimana?" Sial, April tak sadar akan suaranya yang bergetar juga debaran jantung yang tak wajar di area dadanya. Ini alasan April selalu menunda untuk mengerjakan tugas ini. Selain karna kesibukannya bekerja, ia juga benci dekat dengan Abim, sebab pipinya akan merona tanpa sebab. Puk! "Itu duit, besok print di toko depan sekolah." April lantas mendelik saat melihat beberapa lembar uang tercampak di depannya. Ia langsung mendongak, mendapati wajah ketus Abim yang sudah mengangkat kembali tasnya lalu berdiri hendak beranjak ke luar. "Loh, lo mau ke mana? Kan belo--" "Balik, nggak mood belajar." April lagi-lagi mendelik lalu ikut berdiri sampai lututnya terkena meja kayu di hadapannya. "Loh, kok?" Abim hanya acuh lalu melenggang ke luar dengan wajah masamnya. Sesekali menepuk celananya yang terlihat kotor akibat terkena kotoran sarang laba-laba yang menempel di sisi siku meja. Ah, rasanya Abim ingin mengumpat saat melihat betapa jorok rumah itu. Rumah ada anak gadisnya kok begitu? "Lo kalo nggak bisa nyapu rumah mending berenti jadi cewek." Tbc ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD