Dua

1427 Words
Mataku tak berkedip melihat Rayyan yang sedang berbicara di depan sana memimpin briefing. Setelah 4 tahun tidak pernah bertemu, sialnya mata ini masih saja terpesona akan ketampanannya yang semakin bertambah di usianya yang saat ini sudah menginjak 28 tahun. Tidak terpikir olehku kalau Rayyan akan menjadi pilot di negara ini. Karena dulunya setelah sekolah penerbangan di Bali, dia memperdalam ilmu lagi dengan lanjut sekolah pilot di luar negeri. Dulu, Rayyan pernah bercerita jika dia punya impian ingin menerbangkan pesawat milik negara lain seperti Cathay Pacific. Tahun kedua kuliahku, kami sempat LDR beda negara, namun Rayyan masih menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia sesekali. Dari Rayyan, pandanganku beralih pada Dilla. Dari arah samping belakangnya, aku dapat melihat tatapan memuja yang ditujukan perempuan itu kepada Rayyan. Apa mereka sedang menjalin hubungan spesial sejak Rayyan putus denganku? Dulunya hubungan kami baik-baik saja dan kadang kita jalan bertiga ketika Rayyan libur dan pulang ke Jakarta. Bolak-balik Jakarta Bali adalah hal yang mudah bagi Rayyan mengingat papanya yang merupakan CEO sebuah perusahaan besar, lebih kaya dari papaku. Om Revan yang merupakan papa dari Rayyan mempunyai perusahaan sendiri. Lalu istrinya, Tante Mitha juga merupakan komisaris di salah satu perusahaan dengan CEO-nya adik dari Tante Mitha sendiri, Om Fero. Tidak terbayang berapa kekayaan yang dimiliki keluarga Rayyan tersebut. Dulu aku mengira Dilla adalah sahabat yang baik bagi Rayyan. Nyatanya, Rayyan beberapa kali mencurigaiku dan itu karena Dilla. Awalnya, Rayyan tak mau bercerita walau aku mendesak. Hingga aku tak sengaja melihat notifikasi chat di ponselnya ketika Rayyan ke toilet, di mana Dilla lah si pengirim pesan tersebut. Di situ tampak jelas bagaimana perempuan itu yang mengompori Rayyan. Aku yang penasaran membuka room chat di antara mereka. Tanggapan Rayyan yang aku baca di sana pada mulanya biasa saja, hingga lelaki itu lama-kelamaan terpancing juga. "Kamu percaya apa yang dibilang Kak Dilla?" tanyaku dengan tatapan tak percaya. Aku menginterogasi Rayyan yang baru saja terkejut melihatku yang sedang membaca chat di ponselnya. Lelaki itu segera mengambil ponselnya dari tanganku. "Kamu nggak seharusnya buka-buka ponselku sembarangan!" desisnya dengan sorot mata tajam. Aku memejamkan mata. Oke, aku akuin aku memang tak seharusnya membuka ponsel miliki orang sembarangan walau itu milik kekasihku sendiri. Masing-masing orang pasti punya privasi. Tapi, perasaanku tidak enak dari tadi mengingat sikap dingin yang ditunjukkan Rayyan kepadaku. Dan ketika ponselnya tertinggal di atas meja ketika lelaki itu ke toilet, rasa penasaranku merontak karena tak sengaja awalnya melihat notifikasi chat dari sahabatnya itu. "Aku ngaku salah dan minta maaf karena udah lancang buka HP kamu sembarangan. Tapi tadi itu awalnya nggak sengaja liat notif— " "Apa, hah?!" Aku menggelengkan kepala. "Apa yang Kak Dilla bilang itu enggak benar, Kak. Kamu tahu sendiri kalau dari dulu aku dan Rafli memang dekat." "Kamu nuduh sahabat aku berbohong, gitu?" "Kak, dengerin dulu. Maksudku itu... " "Setelah aku pikir-pikir, emang kedekatan kalian itu enggak wajar. Ditambah juga, kita ini LDR. Mungkin kamu jenuh sama aku karena nggak bisa sering ketemu, beda sama dia yang hampir selalu ada buat kamu di sini." "Nggak gitu juga, Kak Rayyan. Rafli itu udah aku anggap layaknya adek sendiri." "Tadinya aku percaya banget sama kamu. Tapi, sekarang aku jadi ragu karena nggak yakin kebersamaan kalian itu tanpa melibatkan rasa di dalamnya." Rayyan tertawa sinis. "Kamu punya hubungan spesial sama Rafli di belakang aku? Suka sama berondong itu, huh? Ngaku aja, Van! Dilla yang ngeliat kalian sering pergi bareng, ke mana-mana bareng aja ngerasa aneh. Apalagi aku? Dari kemarin-kemarin ini aku udah mulai curiga sama kedekatan kalian berdua." "Kak, kamu tahu gimana dekatnya keluarga kami dan aku yang kenal dia sejak kecil. Bahkan, aku juga kenalin Rafli ke kamu juga, kan? Beberapa kali kamu datang ke rumah dan kebetulan ada Rafli juga di sana." Rayyan mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Kak... " Aku meraih jemari tangan lelaki itu, namun dia menepisnya. Aku tertawa sumbang. “Kamu lebih percaya sama Kak Dilla dibanding aku, pacar kamu sendiri?” "Ada baiknya kita break dulu aja. Mungkin kamu sedang dalam tahap jenuh sama aku." Aku mendongak, namun Rayyan langsung bangkit dan meminggalkanku begitu saja. Katanya break, namun hingga berbulan-bulan dia memutus komunikasi denganku. Ketika aku bertanya kepada Ziel, lelaki itu berkata jika kakaknya tidak ingin diganggu. Kakaknya tidak ingin bertemu atau berkomunikasi denganku lagi. Aku begitu kecewa, break yang dimaksudnya adalah benar-benar putus. Usai briefing, aku berjalan beriringan dengan teman pramugariku yang bernama Seruni menuju pesawat. Sedangkan Kak Dilla jalan di depanku, lebih tepatnya bersisian dengan Rayyan. Di depan mereka ada co-pilot yang berjalan lebih dulu sendirian. Aku berkali-kali menghela napas, semoga saja untuk ke depannya kami bisa bekerja sama dengan baik tanpa mengingat cerita di masa lalu. *** "Emang sih, Captain kita itu gantengnya kebangetan. Tapi kita kayaknya cuma bakalan jadi pengagum doang, Van," ujar Seruni yang sepertinya tahu ke mana arah mataku tertuju. Seruni adalah seniorku juga karena dia bergabung di maskapai ini sejak tahun kemarin. Aku menoleh padanya dengan tatapan bertanya. "Dia kayaknya punya hubungan khusus sama senior kita... Kak Dilla," lanjut Seruni lagi dengan setengah berbisik karena jarak kami sekarang tidak jauh dari Kak Dilla yang berjalan di depan kami menyeret kopernya. "Pacaran?" tanyaku memastikan. Dilla mengedikkan bahunya. "Sepertinya. Setiap terbang ke mana pun itu, Kak Dilla itu enggak pernah bareng sama kita tidurnya. Dan gosipnya, doi selalu satu kamar sama si tampan itu." "Ooh." Aku tak merespon ucapan Seruni dengan singkat. Kalau semisal yang dikatakan Seruni benar sekali pun, aku tak bisa berkomentar apa-apa. Bertemu lagi setelah sekian tahun dengan kedua orang itu, membuatku tidak tahu harus bersikap seperti apa mengingat dulunya hubunganku dengan Rayyan yang berakhir kurang baik. Akan tetapi, semisal dia tengah menjalin hubungan dengan Dilla pun, aku tidak berhak untuk marah. Hubunganku dengan Rayyan telah lama berakhir, sah-sah saja kalau dia menjalin hubungan dengan perempuan lain. Tiba di hotel tempat menginap, aku dan Dilla kebagian satu kamar. Dilla, Rayyan dan yang lain aku tidak tahu akan di mana. Seruni hanya mengajakku menuju kamar kami setelah Dilla memberinya kartu akses kamar yang akan kami tempati. Aku pun tidak mau bertanya-tanya. Dari tadi sepanjang perjalanan, Rayyan tidak banyak berbicara. Menolehku padaku pun tidak sama sekali. Beda dengan Dilla yang tersenyum ramah padaku, bahkan dia sempat mengajakku berbicara ketika Seruni tidak ada di dekat kami. Dilla masih sama seperti dulu, dia selalu menunjukkan sikap ramahnya serta tutur kata yang lembut. Namun, aku tahu persis bagaimana liciknya dia yang membuat hubunganku dengan Rayyan sampai harus berakhir begitu saja. "Apa kabar kamu, Van?" tanya Dilla yang ikut duduk di sampingku, sementara Seruni sedang ke toilet. "Baik," jawabku singkat. Perempuan yang tinggi semampai itu tersenyum. "Nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi setelah sekian lama." "Iya." Hanya sebatas bertanya kabar saja karena Seruni sudah keluar dari toilet. "Gue yakin nih, kayaknya Kak Dilla dan Captain Rayyan itu satu kamar lagi," ujar Seruni lagi ketika kami sudah memasuki kamar. "Biarin aja sih, urusan mereka. Mungkin udah tunangan, hubungan mereka udah serius mau menikah. Asal Captain kita itu nggak punya istri aja, kan jadi pelakor jadinya. Boleh lah kalau begitu kita usik biar nggak hancurin rumah tangga orang." "Belum menikah dua-duanya juga." "Ya udah lah, itu hak mereka. Nggak usah ngurus yang bukan bukan urusan kita." Seruni ikut merebahkan badannya di sampingku. "Iya, sih. Makanya tadi gue ingetin, jangan sampe lo suka sama kapten kita itu. Sorry, Van, gue sempat perhatiin kalau lo kayak terpesona itu sama dia." Aku menoleh dan terkekeh singkat. "Suka dan kagum sama orang tampan itu adalah hal yang wajar, 'kan? Yang nggak wajar adalah ngejar orang yang bukan milik kita. Gue tahu dia udah punya seseorang, ya sekarang cuma sekedar kagum aja sama dia. Nggak lebih." Seruni tidak tahu saja kalau Captain tersebut merupakan mantan kekasihku. Aku mengenali kedua orang yang dibicarakan perempuan itu. "Kapten Tama itu udah lama jadi pilot emangnya?” tanyaku penasaran. "Take off dan landing yang smooth, pengendalian yang baik juga saat cuaca kurang baik tadi," lanjutku lagi. Sebenarnya aku ingin tahu sejak kapan dia menetap permanen di Indonesia. Jujur saja, aku beberapa kali pernah stalking akun media sosialnya, namun tidak menemukan apa pun selain posting-an fotonya yang di luar negeri. Bahkan, beberapa bulan yang lalu, fotonya ada di Amsterdam. Mungkin dia sedang liburan di sana. "Dengar-dengar udah 3 tahunan lebih. Nggak jauh beda sama Kak Dilla." Berarti beberapa bulan setelah hubunganku dengannya berakhir, Rayyan sudah menjadi pilot di sini. Pada malam harinya, ketika aku dan Seruni baru saja membuka pintu kamar hendak mencari makanan, tampak Dilla dan Rayyan berjalan beriringan di mana perempuan itu tampak menggandeng lengan Rayyan. "Hai," sapa Dilla tersenyum ramah kepadaku dan Seruni di saat akan melewati kamar kami. "Mau cari makan malam? Bareng aja yuk!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD