Aku Sudah Tidak Sabar!

1058 Words
Suami siaga? Suami? Ya Tuhan …. Siapa pun, tolong katakan padaku, jika tadi aku hanya salah dengar. Tidak. Tidak mungkin Mas Hamid mengkhianatiku bukan? Status di KTP Mas Hamid saat menikah denganku jelas, lajang—belum kawin. Lantas, bagaimana bisa ibu mertua dengan gampangnya menyebut Mas Hamid harus menjadi suami siaga? Siaga untuk istri yang mana? Aku buru-buru bersembunyi di balik pagar saat menyadari tatapan Ibu mengarah padaku. Ya ampun, semoga mertuaku tak sempat melihatku tadi. Di saat seperti ini, otakku benar-benar tak bisa berpikir jernih. Tak tahu harus berbuat apa sekarang. Haruskah aku mendekati mereka dan bertanya layaknya wartawan yang meliput berita? Menanyai mereka satu persatu untuk menuntaskan rasa penasaran tentang baju bayi itu? Ah, tidak. Rasanya, itu bukan ide yang terlalu bagus. Aku putar badan. Mengurungkan niat menyambangi rumah mertua saat ini. Benar, rasanya … ini bukan waktu yang tepat untuk aku mendatangi mereka. Aku yang kadang mudah tersulut emosi, bisa saja membuat keributan andaikata memang benar suamiku mendua. Jika benar Mas Hamid bermain api dan punya istri muda di belakangku, aku cuma takut tak bisa mengendalikan diri. Mengambil jalan pintas dengan menganiaya wanita itu untuk menyalurkan rasa sakit hati. Jangan bertingkah bar-bar Alisa! Jika sudah begitu, siapa yang untung, dan siapa yang rugi? Jelas aku lah yang rugi. Bisa saja aku mendekam di penjara karena kasus penganiayaan, 'kan? Sementara Mas Hamid, bakal melenggang dengan mudah jatuh ke pelukan istri baru karena aku sebagai istri pertama adalah seorang kriminal. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Huft …. Kalem, Alisa. Kalem! "Angkot, Neng?" Aku tertegun saat menyadari ada angkot yang tiba-tiba berhenti di hadapanku. "I-iya, Bang." Aku menjawab gugup sebelum mengayunkan kaki naik ke dalam angkot. Aku yang tengah kalut, memutuskan pulang ke rumah. Berusaha mencari cara terbaik untuk mengungkap semua kebenaran dengan kalem dan jauh dari kesan barbar. Kalaupun dugaanku salah, kan enggak malu-malu amat. Sumpah, amit-amit, jangan sampai, deh, masuk penjara gara-gara suami ketahuan poligami tanpa izin. Rugi dunia akhirat. Aku nggak mau. Sampai di rumah, aku menscroll aplikasi belanja online berwarna oranye saat sebuah ide muncul di kepala. Ah, ya, pakaian bayi. Sebuah kejutan manis untuk suami tercinta. Aku tersenyum licik. Pasti Ibu dan Mas Hamid bakal senang nanti. By the way, bayi di rumah mertua tadi, laki-laki atau perempuan, ya? Ah, aku pilih yang unisex sajalah. Aku pun melakukan transaksi di aplikasi belanja online dengan cekatan. Kupilih kurir go-send sebagai pengirim, karena kebetulan, lokasi toko jaraknya tak begitu jauh dari rumah mertua. Jadi bisa diatur. Setelah urusan dengan aplikasi online selesai, gegas aku pergi dan menghadang angkot untuk yang kedua kali siang ini. Ketika dalam perjalanan, aku tertegun saat menyadari Mas Hamid tiba-tiba menelepon. "Lis, aku pulangnya agak telat, ya, genteng rumah Ibu ada yang bocor," ujarnya begitu kami terhubung melalui sambungan telepon. Nah, kan? Alasan lagi! "Oh, iya, Mas." Aku menjawab dengan begitu santai dan sebisa mungkin menjauhkan kesan curiga. "Ngomong-ngomong … kamu di mana? Kok kayak berisik begitu, Lis?" "Lagi di dalam angkot, Mas." "Mau ke mana?" Aku terdiam sesaat. Haruskah kukatakan langsung? "Tadi aku khawatir kamu gak kasih kabar. Takut terjadi sesuatu sama Ibu." "Hah? Jangan bilang kamu mau nyusul ke sini? Enggak usah, Lis, paling bentaran lagi aku pulang,kok. Udah, kamu putar balik aja." Nada bicara Mas Hamid terdengar berubah. "Tanggung, Mas!" "U-udah dulu Lis, ini Ibu tiba-tiba manggil." Tanpa mengucap salam, Mas Hamid memutus pembicaraan. Aku menghela napas resah. Sikapmu menambah curigaku, Mas. Tapi aku tak ingin gegabah. Kalau kecurigaanku salah alhamdulillah, kalau benar ... entahlah! *** Kedua kalinya aku turun dari angkot di depan rumah mertua hari ini. Pandangan mataku langsung tertuju pada jemuran tadi. Sudah lenyap. Nah, kan? Masa iya tadi titipan jemuran tetangga? Rajin bener suamiku bantuin? Jemuran di rumah saja aku tak pernah berhasil meminta pertolongannya. Ini? "Assalamualaikum." Aku mengucap salam dengan suara sedikit lantang saat menyadari rumah dalam keadaan sepi. "Wa'alaikumussalam, Lisa." Ibu mertua membuka pintu dan menyambut kedatanganku dengan ekspresi … gugup? "Ibu, gimana kabar? Sudah sehat?" Aku mengajukan pertanyaan basa-basi pada wanita paruh baya ini. "Alhamdulillah. Sudah sehat, Lis." Sebuah senyum ramah tertoreh di bibirnya. "Maaf, ya, Bu. Akhir-akhir ini, sepertinya Ibu sering sakit. Tapi Lisa sendiri baru bisa muncul. Habisnya, Mas Hamid setiap ke sini langsung dari kerjaan, sih. Harusnya, kan, pulang dulu, baru ngajak Lisa," ucapku menyesali sikap suami sendiri. "Eh, enggak apa-apa, Lis. Enggak apa-apa. Memang Ibu yang larang Hamid merepotkanmu. Sudah ada Lina, kok. Kasian kamu, nanti kamu capek kalau harus bolak-balik," sahut mertuaku lemah lembut. Kusunggingkan sedikit senyum untuk jawabannya yang berisi pembelaan terhadap Mas Hamid, dan pemakluman yang begitu besar terhadapku. "Oh iya, ngomong-ngomong, Mas Hamid mana? Kok gak kelihatan?" tanyaku mengalihkan pembahasan sambil memutar wajah menatap ke dalam rumah. "Lagi … lagi ke toko material. Beli … apa tadi katanya,"sahut mertuaku seperti sedang berpikir. "Oh, iya. Mau baikin genteng, ya katanya tadi?" " I-iya. Eum … Duduk dulu, Lis." Kenapa mertuaku jadi gugup, sih? Aku cuma bertanya tentang suamiku, loh. Bukan yang lain. "Maaf, Bu. Lisa mau ke kamar mandi bentar. Udah kebelet dari tadi." Belum sampai 30 detik duduk, aku bangkit dari sofa ruang tamu mertuaku. "I-ya, silakan." Lagi-lagi Ibu terlihat gugup. Aku bergerak menuju kamar mandi. Mencari sampo dan sabun bayi. Nihil. Tak ada satu pun perlengkapan mandi bayi ada di sana. Tapi indra penciumanku masih bisa sedikit menangkap aroma khas bayi. Ya, aku tahu aroma itu karena saat kakakku melahirkan anak pertamanya, aku sering membantu Ibu di rumah—mengurus anaknya. Kutinggalkan kamar mandi, dan berjalan kembali ke ruang tamu. Ternyata Mas Hamid sudah ada di sana. "Habis dari mana, Mas?" tanyaku dengan ekspresi wajah yang kubuat senormal mungkin. "Dari toko bangunan." "Oh, kok tangannya kosong? Gak bawa apa-apa?" "Itu tadi beli paku, ada di jok motor." Aku tersenyum tipis, pura-pura maklum. "Oh iya, Bu. Ngomong-ngomong, kok, pas Lisa ke kamar mandi tadi kayak ada aroma-aroma bayi, ya,di kamar sebelahnya Lina?" tanyaku mengalihkan pandangan pada Ibu mertua yang terduduk kaku seperti patung di sofa ruang tamu ini. "Tadi habis ada bayi nginep di sini apa gimana?" tanyaku datar sambil menatap keluar. Pandanganku sempat menangkap, ekor mata Mas Hamid dan Ibu Mertua saling lirik. "Mas, Bu, tadi ada bayi nginep di sini apa gimana?" Terpaksa aku mengulang pertanyaan. Memaksa salah satu dari mereka yang tampak grogi, memberi jawaban cepat. Satu detik, dua detik, tiga detik, tak ada yang bersuara. Ya ampun, lama sekali jawaban mereka. Aku sudah tidak sabar!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD