Mengambil Sampel Rambut si Bayi

1483 Words
"Ngapain kamu pake nanyain soal KK mereka segala? KK ya nggak dibawa-bawa lah." Suara Mas Hamid terdengar meninggi saat aku tiba-tiba membahas perihal KK Mira dan anaknya yang masih misterius itu. "Lah, emang di sini kalau ada tamu yang nginep 1x24 jam nggak disuruh lapor RT?" Aku bersikukuh dengan pendapatku. Aku dan Mas Hamid masih terjebak suasana kaku saat Ibu yang sepertinya menyimak obrolan aku dengan anak sulungnya dari tadi, datang mendekat pada kami yang berdiri di halaman rumah. "Di sini, 'kan masih tergolong kampung, Lisa. Itu bukan hal yang penting. Lagipula, mereka tau, kok yang nginep perempuan, dan yang diinepin juga Ibu sama Lina, nggak ada lah mereka bakal mikir aneh-aneh. Lagian, kenapa kamu jadi sibuk dengan urusan orang? Nggak ada untung ruginya juga buat kamu, 'kan? Kalau alasannya karena curiga, apa dasarnya? Apa cuma karena Mira tinggal di sini?" Kali ini ibu mertuaku berbicara dengan nada gusar dan kentara sekali ada emosi yang menyertai. Aku sedikit kaget. Sungguh, dia tidak pernah begini sebelumnya. Dan amazing, Mira telah mengubah segalanya. Entahlah, atau memang sudah watak Ibu begitu? Aku tidak tahu. "Ibu tahu, dasarnya Lisa curiga apa?" Aku mulai angkat bicara. Mas Hamid dan Ibu tampak khidmat menanti apa yang hendak aku sampaikan. Ya, mereka terlihat antusias, tapi dengan raut wajah yang menggelap. Mungkinkah mereka tengah was-was? "Lebih dari seminggu yang lalu, Lisa melihat dan mendengar sendiri, Ibu pernah bilang, menyuruh Mas Hamid jadi suami siaga. Dan Waktu itu, posisinya Mas Hamid habis ngangkatin baju Meisha. Rasanya nggak salah, kan, kalau Lisa curiga? Coba katakan pada Lisa, Bu, Mas Hamid harus siaga untuk istrinya yang mana? Lisa atau ibunya Meisha? Padahal Ibu tahu sendiri, kan, istri Mas Hamid cuma satu?" Aku bertanya panjang lebar sambil menahan emosi yang hampir meledak dalam d**a. Mendengar aku berbicara panjang lebar dan tanpa salah kata sedikit pun, membuat Mas Hamid dan Ibu menatap nanar padaku. "Oh, jadi waktu itu kamu pernah nguping juga, Lis?" sindir Ibu tajam. Membuat emosi dalam d**a kian membuncah, tapi tetap aku tahan. Tak etis rasanya jika aku bertindak brutal pada mertuaku. "Sini! Ibu kasih tahu. Memangnya Ibu salah, ya Lis, kalau berandai-andai Hamid jadi suami siaga buatmu? Itu cuma perumpamaan, kalau Hamid jadi ayah nanti, ya … walaupun entah kapan terwujud. Kamu aja yang parno berlebihan!" Ibu Mertuaku mengucap dengan sangat ketus kalimat terakhirnya. Mendengar olok-olokan yang Ibu sampaikan, aku merasakan dadaku seperti dipukul palu godam. Ternyata, dibentak mertua itu rasa sakitnya berlipat-lipat daripada di bentak suami. Dengan tak tahu diri, air mataku mengucur di pipi. Ya, meskipun aku sudah berusaha mati-matian untuk tetap tegar. Tetap saja aku bisa tumbang. Aku cuma manusia biasa, bukan batu karang yang bisa dengan tegar berdiri di lautan meski beribu kali ombak datang menerjang. Melihatku menangis, ternyata membuat ibu mertuaku ikut menangis dan memelukku sesenggukan. "Lisa. Maafkan Ibu, Nak. Bukan maksud Ibu membentakmu. Ibu hanya bingung. Kenapa kamu bertingkah begitu aneh akhir-akhir ini. Seperti bukan Lisa," ucapnya terdengar lirih di telinga. Tubuhku mendadak kaku. Aku orang yang paling rapuh bila melihat orang sebaya Ibu meneteskan air mata, apalagi air mata itu jatuh karena perbuatanku. Itu makin membuatku merasa bersalah. "Maafin, Lisa, Bu, kalau Lisa sempat salah paham," sahutku setelah Ibu Mertua melepas pelan pelukannya. "Iya, Lis. Nggak apa-apa," balas mertuaku lembut. Tak ingin menambah dosa dengan terus mendebat sesuatu yang memang belum bisa dipastikan kebenarannya, akhirnya aku mengalah dan pamit pulang. Sepanjang jalan hingga sampai di rumah aku dan Mas Hamid terus terjebak dalam suasana kaku. Bahkan sampai kami sama-sama di peraduan, aku tak mendengar sepatah kata pun terucap dari bibir Mas Hamid. Agaknya, dia memang benar-benar marah. Aku mendengar Mas Hamid mengeluarkan suara hanya saat ibu mertua menelpon. Menanyakan apakah kami sudah sampai rumah atau belum. Itu saja. Tidak lebih. Dari malam hingga pagi datang menjelang, aku tetap terjaga. Mataku seperti tak mau terpejam barang sedikit pun. Pertanyaan tentang siapa Zaki? Siapa bayi itu? Dan siapa Mira sebenarnya? Terus mengganggu pikiranku. Argh! Bisa gila lama-lama kalau begini. Pokoknya aku harus mencari jawaban secepatnya. *** Paginya. "Hati-hati, ya, Mas." Aku menyalami dengan takzim saat Mas Hamid pamit pergi bekerja pagi ini. "Iya." Mas Hamid membalas dingin pesan dariku. Mungkinkah dia masih marah dengan tuduhanku tadi malam? Ah, peduli apa. Sambil menjatuhkan tubuh di kursi ruang tamu, kupijit kepala yang terasa berat. Jujur, kecurigaanku tentang Mira dan anaknya belum pudar barang sedikit pun. Lantas, apa yang harus aku perbuat? *** [Hai, Lis? Apa kabar?] Pesan masuk dari Evi—teman kerjaku saat kami sama-kerja di PT dulu, membuyarkan lamunanku, pagi menjelang siang ini. [Baik.] Aku menjawab singkat chatnya. [Gimana, udah isi belum?] [Belum.] [Yah … semoga cepat isi, deh. Kan sayang, udah dibela-belain resign, eh cuma nganggur doang.] [Galau aku, Vi.] Aku membalas pesan Evi secara spontan. Aku tertegun saat Evi yang semula berbalas chat denganku, meneleponku tiba-tiba. "Galau kenapa?" tanyanya to the point. "Kayaknya Mas Hamid punya simpanan, deh," ungkapku tanpa tedeng aling-aling. "What's? Maksud kamu, dia selingkuh gitu ?" Dari nada bicaranya, jelas sekali Evi terkejut. "Entah selingkuh entah punya bini baru, nggak tau, deh." "Kenapa kamu bisa curiga begitu?" Aku pun mengungkapkan dari A sampai Z perihal Meisha, Mira, Ibu, dan semua hal yang mencurigakan pada Evi. "Kenapa nggak di tes DNA aja, sih?" "Lah, aku juga kepikiran sampe sana juga kali, tapi duitnya, nih yang jadi masalah. Kere aku, habis renovasi rumah, anggaran membengkak. Tabungan habis, perhiasan pun udah aku jualin semua," ucapaku lancar seperti jalan tol. "Gak apa-apa aku utangin dulu, ikhlas, deh. Ntar kalo emang ketahuan tuh orok titisan si Hamid, buruan, deh, gugat cerai manusia nggak guna gitu. Cari duda kaya buat bayar utang kamu ke aku." Evi terkekeh pelan pasca menuntaskan kalimat. Dasar! "Serius kamu mau ngutangin, Vi?" tanyaku tak percaya. "Iya serius. Aku, tuh paling benci dengan yang namanya perselingkuhan." Aku tidak menyahut. Namun, dalam hati membenarkan ucapannya. "Nomor rekening kamu masih sama, kan?" Wah … apa Evi serius ingin memberikan pinjaman? "Iya, masih." "Aku paling bisa minjemin sepuluh. Moga-moga aja cukup, ya. Nggak apa-apa balikinnya kapan-kapan. Aku baru dapat bonus dari PT 5 kali gaji," ungkapnya jujur. Ya, PT yang juga pernah menjadi tempat kerjaku memang termasuk tidak pelit dalam memberikan bonus tahunan pada karyawannya. Apalagi jika target naik dan laba meningkat, pasti bonus yang kami dapatkan lebih banyak. "Wah …." Evi tak main-main, dia benar mentransfer uang 10 juta rupiah. Seperti apa yang dia katakan sebelumnya. [Sekarang kamu tinggal cari cara, gimana caranya bisa dapat rambut itu bocil.] [Oke, siap. Makasih banyak, ya, Vi.] [Ingat, cabut rambutnya sampai ke akar, karena untuk sampel tes DNA harus dari akarnya.] [Oke, Vi, oke. Thanks, ya.] [Sip. Good luck.] Tak apa aku memakai uang Evi dulu, janji rasa penasaranku terjawab. Melihatkan masih ada daging sapi di kulkas, aku pun berinisiatif memasaknya menjadi rendang. Setelah jadi, kusisihkan beberapa, untuk ibu dan Lina. Ya, untuk kembali mendatangi rumah itu, aku memang harus mencari alasan. Dan rendang ini, bisa aku gunakan sebagai pelancar misi. *** "Ibu, Lisa bikin rendang," ucapku riang sesampainya aku di rumah mertuaku siang menjelang sore kali ini. "Wah, kayaknya enak, Lis." Seperti melupakan kejadian tadi malam, ibu mertua menyambut kedatanganku penuh kehangatan saat aku membawakannya rendang daging siang ini. "Mama Meisha ke mana, Bu?" tanyaku saat menyadari bayi kecil itu dipangku oleh mertuaku di ruang tamu. Benar, Ibu memperlakukan Meisha seperti cucunya. Jadi, tak salah rasanya jika aku terus menaruh prasangka jika mereka punya hubungan darah yang begitu kental bukan? "Lagi di kamar mandi," jawab Ibu seraya mengulas senyum. "Oh …." "Bu Ida, ayok mau sekalian nengokin Bu Ani nggak, baru pulang dari rumah sakit?" Tetangga mertuaku yang tampak jalan berombongan di jalan gang, memanggil mertuaku dari kejauhan. "Oh iya, tunggu!" sahut mertuaku dengan suara cukup lantang. Membuat ibu-ibu yang sepertinya siap mengunjungi tetangga yang baru pulang dari rumah sakit, menahan langkah. "Ya udah, Meisha biar Lisa yang pegang, ya, Bu." Aku menawarkan diri dengan sukarela saat Ibu terlihat gugup, karena rombongan tetangga yang akan menengok Bu Ani, menunggunya beramai-ramai. "Ya udah, Ibu titip Meisha dulu, ya, Lis. Nggak enak udah ditunggu sama mereka." Aku mengangguk pelan sesaat setelah meletakkan rendang di atas meja ruang tamu. Ah … kesempatan emas. Aku menyambut bayi gembul ini dengan penuh sukacita. Bukan karena suka dengan bayinya, tapi merasa cukup beruntung karena sepertinya rencanaku bakal berjalan mulus. Ibu berlalu. Memberikan angin segar padaku, melalui kepergiannya. Sambil memangku bayi yang identitasnya masih misterius ini, aku mengambil plastik transparan dari tas selempang yang kukenakan. Aku harus melakukan tugasku selagi ada kesempatan. "Please, jangan nangis, ya, Bocil!" bisikku dengan perasaan was-was. Saat merasakan kondisi dalam keadaan aman, sambil menggigit bibir, aku mencabut beberapa helai rambut Meisha dengan tangan bergetar. Untungnya, bayi ini tidak menangis. Rasanya, dia cuma kaget saat aku mencabut rambutnya. Yang kutakutkan cuma satu, Mira keluar dari kamar mandi dan memergoki aksiku. Tamatlah riwayatku. "Mbak!" Aku terkesiap dengan jantung yang berpacu lebih sepuluh kali lebih cepat saat mendengar suara itu menegurku. Ya ampun, apa dia sempat melihat aku mencabut rambut anaknya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD