Suara hujan makin keras, dan bersamaan dengan itu, bisik-bisik warga berubah menjadi gumaman penuh kecurigaan. Cahaya senter terus bergerak, menyapu lantai, dinding kayu, hingga akhirnya berhenti tepat di wajah Naumi yang berdiri kaku seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan.
“Apa jangan-jangan mereka lagi…?”
“Ssst, jangan asal tuduh. Tapi ya lihat sendiri.”
“Gubuk gelap, hujan deras, dua orang… masa cuma ngadem?”
Setiap kalimat terdengar seperti belati kecil yang menusuk pelan-pelan. Naumi mencoba menggerakkan mulutnya untuk menjelaskan, tetapi suara yang keluar justru hilang sebelum sempat berbentuk. Tangannya yang memeluk tas semakin mengencang, matanya berpindah ke arah laki-laki itu—Adrian—yang kini bangkit sepenuhnya dari duduknya, wajahnya setegas kilatan petir sesaat sebelumnya.
“Ada yang salah?” suara Adrian terdengar rendah, tidak sopan tapi tidak pula agresif. Warga yang memegang senter mengangkat dagunya, seolah sedang menilai siapa yang berbicara.
“Salah?” pria itu mendecak. “Kamu nanya salah? Kalian berdua ada di tempat beginian, gelap-gelap pula, terus kamu nanya salah?”
Naumi menelan ludah. “Kami cuma berteduh, Pak… Hujannya—”
“Berteduh kok berduaan?” potong pria yang lain, suaranya lebih keras daripada sebelumnya. “Motor ada satu di depan. Kalian datang bareng atau gimana?”
“Nggak,” jawab Naumi cepat. “Saya … Saya nggak tahu kalau dia sudah ada di dalam.”
Beberapa warga saling pandang. Ada yang mengangguk samar, ada yang mengangkat alis, ada pula yang memandang tajam Naumi dari atas ke bawah dengan sorot mata menilai.
“Ngomong apa pun juga, orang nggak bakal percaya, Mbak,” gumam seseorang yang berdiri paling belakang. “Situasinya udah jelas. Lihat sendiri.”
Cahaya senter sekali lagi menyorot tubuh Adrian—kausnya yang masih kusut, sedikit terbuka di bagian atas, kulitnya yang terkena pantulan cahaya tampak seperti bukti yang tidak menguntungkan siapa pun. Sorot senter itu bergeser ke Naumi, yang wajahnya masih basah oleh sisa hujan dan napasnya belum sepenuhnya normal.
Adrian merenggangkan bahu dan merapikan kausnya. “Kalian mau apa?” tanyanya, kini sedikit lebih dingin.
Suara itu seharusnya cukup untuk membuat beberapa warga mundur. Namun malam, hujan, dan fitnah adalah kombinasi paling berbahaya. Orang-orang cenderung percaya apa yang ingin mereka percaya, bukan apa yang sebenarnya terjadi.
Seorang pria sepuh, yang sejak tadi diam, akhirnya melangkah maju. Sorot matanya tajam namun datar, seperti seseorang yang sudah punya kesimpulan sejak awal. Dengan suara berat yang nyaris tenggelam oleh guntur, ia berkata, “Di kampung sini, kami jaga kehormatan. Tempat gelap, laki-laki perempuan, malam-malam… itu nggak pantas.”
Naumi merasakan kakinya melemah. “Tapi kami tidak—”
“Tidak usah membela diri. Semua sudah jelas.” Pria tua itu mengangkat tangan, menghentikan penjelasannya. “Biar singkat saja.”
Hening beberapa detik. Lalu kalimat berikutnya jatuh seperti palu godam.
“Nikahkan.”
Satu kata. Tapi cukup untuk membuat napas Naumi terputus.
Adrian memutar kepala, menatap pria itu dengan sorot yang sulit diartikan. “Maaf?” suaranya rendah, hampir mirip ancaman halus. “Anda tidak mengenal saya.”
“Kalau begitu lebih baik,” jawab pria tua itu santai. “Kalau sudah nikah resmi, nggak akan ada fitnah. Bersih.”
Warga lain mulai bersuara—beberapa mendukung, beberapa hanya menggumam, tapi tidak ada satu pun yang menentang. Desakan mulut-mulut yang percaya diri itu membuat dunia terasa sesak. Seolah mereka sedang menyusun panggung untuk sebuah hukuman sosial.
Naumi merasakan tenggorokannya mengering. “Pak… saya—saya bukan orang seperti itu. Kami beneran nggak melakukan apa-apa. Bunda saya sakit, saya harus pulang. Tolong jangan buat masalah…”
Tapi kalimat itu justru memperkeruh suasana.
“Tuh kan,” salah satu warga menyahut, “semakin banyak alasan, semakin aneh.”
Adrian memijat pelipisnya, mencoba menahan amarah. Ia menatap Naumi sekilas, seolah memeriksa apakah gadis itu bisa berdiri tegak atau akan jatuh kapan saja.
“Kalian salah paham,” kata Adrian lebih tegas. “Saya di sini duluan. Perempuan ini datang karena hujan. Saya tidak menyentuhnya.”
“Siapa yang tahu?”
“Kalau sudah berdua di tempat gelap, nggak ada saksi.”
“Daripada jadi skandal, mending nikahkan.”
Kata “nikah” kembali melayang-layang di udara, semakin kuat, semakin menusuk. Naumi menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar karena dingin bercampur ketakutan.
Adrian melangkah maju setengah tapak. “Saya tidak akan—”
Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, kilatan senter lain masuk, lebih terang, lebih dekat. Seorang perempuan muncul dari balik kerumunan dengan payung kecil yang sudah tak mampu menahan hujan. Wajahnya gelisah, napasnya terengah.
“Pak RT, jangan lama-lama,” katanya cepat. “Hujan makin deras. Kita selesaikan saja.”
Pak RT. Jadi pria sepuh tadi adalah ketua lingkungan. Pemegang keputusan. Pengendali suasana.
Naumi merasakan kepalanya berputar. Ini bukan sekadar salah paham—ini sudah berubah menjadi ritual sosial yang tidak memberi ruang bagi kebenaran.
Adrian kembali menatap warga, kali ini dengan sorot mata dingin yang tidak main-main. “Ini gila.”
“Gila atau tidak,” Pak RT menatap balik tanpa gentar, “malam ini kalian berdua harus tanggung jawab.”
Angin malam berembus melalui celah gubuk, membawa bau tanah basah dan ketegangan yang tidak bisa lagi dipatahkan. Hujan turun semakin deras, menenggelamkan suara apa pun selain perintah terakhir yang keluar dari mulut Pak RT.
“Ambil penghulu. Kita nikahkan sekarang.”