Chapter 3 - 4

1453 Words
CHAPTER 3                 Sebuah mobil datang menghampirinya, ia tak tahu siapa, tetapi ia rasa ia seorang om baik-baik yang mungkin karib perusahaan ayahnya, pasti ia menghampiri karena mengenali anak dari pemilik perusahaan itu, karena tak berpikir panjang ia masuk ke sana dan entah kenapa tak sadarkan diri.                 Hingga kala terbangun, ia ada di kamar motel, di samping sosok om yang sama yang katanya akan mengantarkannya pulang.                 Mengerikannya, tak sehelai kain pun menutupi tubuh keduanya kecuali selimut serta ada rasa sakit luar biasa di antara kedua pahanya.                 Sadar apa yang terjadi, Wafa menangis sejadi-jadinya bak bayi yang baru terlahir ke dunia.                 Suara tangisan itu membuat Fauzan merisih dalam tidurnya, pria dewasa itu mengerjapkan mata sebelum akhirnya sepenuhnya membuka mata dan menemukan gadis mungil di sampingnya. Ia menangis, memeluk erat dirinya yang ada di balik selimut.                 Fauzan tersenyum, ia mengangkat tubuhnya agar terduduk. "Cup, cup, cup!" Ia mengelus lembut rambut hitam panjang gadis itu. "Kenapa nangis, huh?"                 Wafa mengangkat kepalanya, matanya memerah dan berair, ia menatap nanar pria dewasa di sampingnya yang dengan menyebalkannya seakan tak paham penderitaannya.                 Kehilangan keperawanan.                 Oleh si b******n penjahat kelamin.                 Harusnya ia dengan Galvin!                 "Argh! Dasar om-om gila!" Wafa mengambil bantal dan memukuli Fauzan sejadi-jadinya, terus-menerus, meski begitu Fauzan hanya tertawa-tawa.                 Bantal tak sakit, sama sekali tak membuatnya babak belur.                 Dengan mudah Fauzan menangkap kedua tangan kecil Wafa dengan satu tangan hingga gadis mungil itu tak sanggup berkutik.                 "Aduh … udah dong ah jangan baperan, cuman ilang mahkotanya doang, kok!"                 "ILANG MAHKOTANYA, DOANG?!" teriak Wafa tepat di depan wajah Fauzan, pria itu hanya memutar bola matanya. "Om sialan! Tukang tipu! Berengsek!"                 "Eh, bukan salah saya, ya! Kamu kok yang mau! Perlu saya buka rekamannya, huh? Saya ngerekam, tuh!" Fauzan menilik bagian meja, ada kamera terletak di sana. "Entahlah, saya kali ini entah kenapa iseng ngerekam, mau liat?"                 Wafa terdiam.                 Kaget bukan main.                 Fauzan melepaskan cengkraman dan memandang Wafa yang nampak terbeku, tak ada gerakan hingga Fauzan rasa akan aman melepaskan. Sebelum akhirnya Wafa tiba-tiba terperanjat, gadis itu menarik selimut menutupi tubuhnya dan turun dari kasur.                 Kembali, ia menangis.                 Wafa memundurkan badannya hingga menyentuh tembok.                 "Om … bakal aku laporin ke polisi!"                 "Laporin aja, Wafa sayang …." Fauzan berdiri dari rebahannya.                 Om itu tau namanya.                 Ia memekik kecil sadar akan sesuatu, spontan pula menutup mata karena pria dihadapannya nyatanya bertelanjang bulat sebelum akhirnya berani membuka setelah suara resleting terdengar, Fauzan memakai celananya dan kini tubuhnya yang shirtless menghadap ke Wafa.                 Seksi ….                 Wafa menggeleng keras.                 "Kamu lapor, itu sama seperti mempermalukan diri sendiri." Fauzan berdesis. "Lagian, kamu gak bakal hamil, emang saya gak pakek pengaman tetapi saya ini mandul, paham?"                 "Tetap aja!" Wafa terisak. "Om penjahat! Om … Om … udah …."                 "Lebay banget, anak SD aja ada yang udah lepas perawan!" Fauzan menyengir lebar. "Coba inget-inget malam tadi, keknya kamu enak banget neriakin nama saya 'Om … oh ah ah om … Fauzan~'." Fauzan tertawa kejam.                 Wafa bergeming.                 Ia teringat.                 Ya, memang … surga dunia itu enak. Ia berpikir harusnya ia tidak menolak Galvin dari awal dan membuatnya pergi padahal ia sudah berubah pikiran, lebih baik ia berakhir dengan Galvin dan bukannya malah sama om … Fauzan? Si p*****l!                 "Serius gak bakal hamil, ‘kan?" Karena itulah yang ia amat takutkan.                 "Mm-hm … saya udah sering, dan gak ada yang keisi." Fauzan mengambil ponselnya dan mengetik. "Tenang aja, setelah ini anggap aja kita gak saling kenal. Saya sekarang punya prinsip sekali pakai!"                 Wafa memicingkan matanya, kemudian mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya dari balik selimut.                 Fauzan tertawa. "Saya udah liat semuanya, keles!"                 "Diem lu!"                 Fauzan agak kaget, 'lu' katanya. Pria itu hanya menghela napas sambil geleng-geleng kepala.                 "Btw, kita ini di mana, Om? Keknya jauh banget dari rumah gue!" ujar Wafa, melihat keluar jendela yang ia buka tirainya.                 "Motel Permata. Mau pulang duluan? Saya mesen pizza nih, makan dulu kek apa kek, baru nanti kamu saya antar pulang. Kamu pulang sendiri dimasukkin lagi entar!"                 Wafa mendengkus. "Dasar maling! harusnya gue ama Galvin, tau gak! Bukan sama elu, tua bangka!"                 "Salah sendiri juga, sok-sokan tadi suci-sucian sama pacar, putus kan tuh!" ejek Fauzan, Wafa menatap dengan mata membesar galak. "Gak papa lah, anu saya sama anu mantan kamu gedean saya, dijamin gak bakal sakit lagi kalo mau main sama dia, semoga bisa balikan~ atau … enggak."                 Mata Wafa melingkar sempurna, om itu tau.                 "Om ini banyak siasat, ngaku gak lu, Om!"                 "Emang!" Fauzan mengambil kamera di atas meja.                 "Apus videonya!"                 "Emang yang ngerekam siapa?" Fauzan memperlihatkan bagian wadah memori kamera ke Wafa, kosong. "Jangan ge'er, deh! Saya malas mengenang bekas!"                 "Bgst, lo, Om!" CHAPTER 4                 "Om b******n tulul bin g****k!" maki Wafa kesal.                 Bagaimana tidak?                 Fauzan seakan tak punya perasaan. Sudah mengambil mahkotanya, sikapnya seakan biasa saja layaknya ia hanya mengambil sehelai rambut orang.                 "Hust … udah, oke! Entar saya kasih tau orang tua kamu!"                 "Dasar tukang adu!" Wafa membentak. "Tapi tunggu! Lo kok dari tadi tau banget tentang gue, sih, Om?"                 "Kamu yang bilang semua itu pas mabuk obat peransang, inget, gak?" Wafa melingkarkan mata sempurna. "Kamu bilang kamu rela nipu orang tua demi Gajah, Calvin Klien, siapalah namanya, buat jalan bareng dia. Tapi kata kamu dia udah nyebelin, kamu benci dia, mending sama saya aja. Saya lebih berisi, lebih padat dan panjang." Fauzan lagi-lagi tertawa.                 “Parah lu racunin gue, Om!” marah sang gadis.                 Meski kemudian, Wafa sadar ia mulai tahu apa yang terjadi malam itu.                 Ia ingat, sekarang ingatannya semakin jelas. Om itu benar, dia mengatakan itu semua. Dan ia rasa hati kecilnya jujur, dari segi badan wajah bahkan … nganu … Wafa berdesis, lebih oke si Om Fauzan meski dia lebih tua.                 "Kamu enggak mau tau tentang saya?" tanya Fauzan tiba-tiba. "Itung-itung kali aja kamu mau balik lagi, kenangan gitu." Fauzan menyengir sambil menaikturunkan alisnya.                 "Sorry not sorry, gak perlu! Lagian, katanya Om ini satu kali pakai doang!" Kedua pipi Wafa memerah karena marah. "Bgst, munaf*ck!"                 "Whoa … saya sebenernya suka kamu, punya kamu rapet~ banget!"                 "Jadi Om bakal ninggalin pas punya gue kendor gitu?!" pekik Wafa kesal. "Emang Om ini bener-bener bgst! Gimana nasib anak istri Om, huh?!"                 "Pertama, saya udah gak punya istri lagi, dan kedua, saya kan mandul." Fauzan berdesis.                 Entahlah, kata mandul membuat Fauzan bak ular. Berdesis.                 "Jadi setelah pembelajaran dari senior seperti saya, kamu bakal balikan sama Balvir lagi?" Fauzan merubah topik, berdiri tepat di hadapan gadis mungil itu yang melihat tepat di bagian d**a bidang sang pria. "Yakin? Dia keliatannya berengsek banget, lho!"                 “Galvin!” Wafa meralat. "Situ juga sama, keles!" Ia tak ingin kalah.                 Tak ingin kalah dengan kharisma yang membuatnya tertarik itu.                 Rasanya, rekaman malam tadi, benar-benar membekas di otaknya. Sebagai sedikit penyesalan dan kenikmatan luar biasa, tentunya.                 "Gak peduli, gue bakal balik lagi sama dia. Lo siapa, gue gak kenal?"                 "Okelah …." Entahlah, kenapa ia berharap Fauzan menahan niatnya lagi.                 s**t, apa pedulinya.                 Tok!                 Tok!                 Tok!                 Ketukan di pintu membuat Fauzan tersenyum. "Ya udah, sebagai hadiahnya, makan pagi, saya anterin pulang dan … kamu mau apa?" Wafa mengangkat sebelah alisnya menimbang pertanyaan Fauzan.                 “Gue mau ....”                 Wafa memilih ke toko butik islami, sedikit mengherankan Fauzan hingga saat di mobil, ia bertanya pada gadis yang duduk di sampingnya.                 "Ngapain minta ke toko butik islami? Dapet hidayah pas udah naena?"                 "Banyak cingcong deh lu, Om!" Wafa mendengkus kesal.                 Fauzan menghela napas. Kemudian hening cukup lama.                 Tak tahan, Fauzan kembali bertanya, "Kamu … tidak dicari orang tua kamu, huh?"                 "Ya bonyok pasti khawatirlah, tapi apa pendapat mereka kalau gue pulang pakek baju syar'i. Gue cari aman, Om! Udah gue bilang, kan, soal gue ngibulin mereka?" Fauzan mengangguk, paham maksud Wafa.                 "Kalau kamu anak saya, udah saya jitak palanya!" Fauzan tertawa.                 Wafa memutar bola mata. "Pantes dimandulin, prinsip kek gitu."                 Fauzan berdesis. Tetapi, ia tetap berusaha sabar. Marah bukanlah dirinya, kalem palem sok gak lem, itulah dia.                 "Kenapa, sih, kamu harus jalanin hidup kek gini? Salah kasih makan apa orang tua kamu, huh? Nakal banget jadi remaja!"                 "Suka suka gue, lah!" Wafa berdecak. "Lagian salah bokap gue, pakek acara nikah lagi gantiin almarhumah nyokap. Kan bege! Gue sebenernya ogah banget, anggap aja ini pembangkangan bawah tanah gue. Bodo ah dosa gue sendiri yang tanggung!"                 "Kamu salah, ayah dan almarhumah ibu kamu nanggung dosa kamu. Lupa atau emang gak belajar?"                 Wafa terdiam.                 Benar.                 "Jangan sok agamis, sikap lu aja macam setan, Om! Gak mikirin orang tua juga kan lu!"                 Fauzan hanya tertawa. "Yah … nasib kita gak beda jauh, lah …."                 "Jauhlah, Om! Gue perjalanan masih panjang, muda, lah Om makin deket tanah!" Kali ini Wafa tertawa.                 "Umur itu gak berbau, sikap begini bukan berarti saya buta agama. Sama seperti kamu, banyak hal yang berubah, dan benar, perjalanan kamu masih panjang, dosa kamu tak sebanyak saya. Bisa dikatakan, rasa peduli saya sudah hilang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD