Part. 2 Secret

1744 Words
Shane, melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Wajahnya nampak pucat dan keringat terus mengalir dari keningnya. Marsha putrinya yang duduk di samping terlihat khawatir. “Pa, papa sakit?” Marsha mengusap butir keringat dari kening Shane dengan tissue, lalu dia memberikan air mineral. “d**a papa sakit Sha,” Shane meminum air itu dibantu oleh Marsha, kini mereka dalam perjalanan pulang dari luar kota. Setelah pesawat mendarat, mereka langsung masuk ke dalam mobil yang disupiri oleh Bono, supir yang sudah mengabdi puluhan tahun dengan keluarga itu. “Kita kerumah sakit ya pa. Aku kabarin mama dulu.” Marsha membuka jas papanya dan meletakkan di jok sebelahnya. Lalu tangannya menekan keypad handphone. Setelah menjelaskan ke mama, Marsha menoleh ke Shane yang tertidur pulas dengan nafas yang teratur. Marsha mengakhiri panggilan dan menginstruksikan ke Bono untuk pergi kerumah sakit. Lalu dia menggenggam tangan Shane yang terasa dingin. Ada yang tidak beres dengan papanya. “Pa,” Marsha mengguncang pelan bahu Shane, namun Shane tak merespon, diapun menepuk pipi Shane berusaha membangunkannya. Namun usahanya gagal. “Papa!!” Marsha berteriak, air mata mengalir dari pelupuk matanya. Dia langsung menelepon Kinara. “Aku mau kerumah sakit Nar, siapin brangkar sepuluh menit lagi sampai... aku harus apa Nar? Papa gak mau bangun!! .... oke jadi cek denyut nadinya.... lemah Nar, huhuhuh papa...” Marsha meletakkan handphone dengan kasar lalu memeluk d**a Shane, nafasnya terdengar tak beraturan. Sementara Bono melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, buku tangannya memutih karena memegang stir terlalu kuat. Jalanan tidak terlalu padat di akhir pekan seperti ini, sehingga memudahkan Bono mencari celah, hingga tak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di pelataran rumah sakit milik keluarga Rio. Kinara dengan jas putihnya sudah menunggu di depan rumah sakit, disampingnya sudah ada beberapa perawat yang memegang brankar, segera setelah mobil yang dikendarai Bono berhenti, para perawat itu menurunkan Shane dan meletakkannya diatas brangkar. Lalu mendorong Shane masuk ke UGD. Kinara ikut mendorong brangkar dan berlari, salah satu perawat memberikan oksigen ke Shane dan menekan dadanya agar terus bernafas. Sementara Marsha menelepon mamanya dan juga Marchell sambil berlari. Tak berapa lama, Thea sudah berada disana. Meski kini usianya sudah lewat setengah abad, namun wanita itu masih terlihat cantik. Dia memeluk tubuh Marsha yang masih gemetaran. Sementara Marchell mengusap kepala adiknya itu. “Papa gak akan kenapa-kenapa kan mah?” Marsha menangis lagi, kali ini bahkan lebih keras. Lalu mama menghelanya untuk duduk di kursi tunggu. Waktu terasa lama sekali ketika menunggu. Marchell mondar mandir dari tadi. Namun tak ada dokter yang keluar dari ruangan itu. Hingga tubuh Kinara muncul, membuka pintu dan membuka masker yang tadi menutupi mulutnya. “Kami sudah memberikan pertolongan pertama pada om, sekarang kondisi beliau sudah stabil, tapi perlu penanganan lebih lanjut.” Kinara mengusap keringat dengan punggung tangannya. “Om kamu sakit apa nak?” Thea menatap Kinara dengan tampang gusar. “Kami masih perlu melakukan ronsen tante, tapi menurut dokter paru yang tadi ada di dalam, Om Shane sepertinya mengalami penyumbatan di saluran nafas.” Lalu pintu itu terbuka lebih lebar, beberapa perawat pria mendorong brangkar Shane dan akan memindahkannya ke ruang rawat inap. Marsha berterimakasih kepada Kinara dan mengikuti kemana tubuh papanya dibawa bersama Thea. Sementara Marchell masih berhadapan dengan Kinara dan tersenyum bangga. Lalu dia menepuk pucuk kepala Kinara dengan lembut dan pergi dari situ. Setelah hasil pemeriksaan keluar, Dokter memvonis bahwa Shane terkena tumor di saluran pernafasannya, tumor tersebut memang belum menyebar, maka bisa dilakukan pengangkatan segera. Mungkin karena Shane yang terlalu kecapekan dan kondisi tubuhnya yang kurang fit yang membuatnya hingga pingsan dan harus dibantu dengan alat bantu pernafasan. Malam itu mereka sekeluarga berembuk untuk memutuskan pengoperasian Shane yang akan dilakukan di Jerman, karena disana fasilitasnya lebih memadai dan juga agar Shane tidak terlalu memikirkan perusahaannya disini. Karena mengingat lelaki itu penggila kerja, pasti dia akan mencuri waktu untuk terus berhubungan dengan perusahaannya. Padahal dia pasti sangat butuh istirahat. *** Marchell menghangatkan makanan yang tadi dimasaknya di cafe kedalammicrowave lalu menyajikannya di meja, menghiasnya dengan beberapa sayuran dan potongan sosis. Lalu menggambar hati dengan mayonaise dan saus. Pintu apartemen terbuka dan menampakkan sesosok gadis yang tersenyum ke arahnya, kinara. Dia melepaskan high heels-nya dan mengganti dengan sandal bulu. Lalu menghampiri Marchell dan menatap masakan di meja dengan mata berbinar. “Kamu udah lama?” Kinara menyendok makanan itu, sementara Marchell memeluknya dari belakang dan menciumi tengkuknya. Kinara membalikkan tubuhnya dan melingkarkan tangan di leher Marchell. Lalu mengecup pria itu dengan lembut. Ketika wajahnya menjauh, Marchell justru menekan belakang kepalanya agar mencium lagi, melanjutkan cumbuannya menjadi lebih panas dan dalam. Kaki kinara diangkat melingkar ke pinggangnya, lalu ciuman Marchell turun ke leher dengan tangan yang membuka kancing kemeja wanita itu, sehingga menampakkan tubuh bagian atasnya. Kinara mendesah dengan gesekan kecil Marchell pada bagian bawah tubuhnya yang masih mengenakan bawahan lengkap. Ketika tangan Kinara berusaha membuka kait jeans Marchell, lelaki itu justru menarik tangan Kinara dan mengangkat kembali ke lehernya. Lalu mereka berciuman kembali. Sorot mata Kinara terlihat sedih, dia berusaha mengenyahkan pikirannya dan menikmati apa yang mereka lakukan itu. Nafas mereka terengah, hingga akhirnya Marchell menghentikan pagutannya dan mengusap bibir Kinara yang agak membengkak karena lumatan panasnya. “Kamu ingat kan apa yang aku bilang?” Marchell menyatukan keningnya dan kening kinara, sambil tangannya mengancingkan kemeja wanita itu lagi. “Ya... aku gak boleh ML sebelum nikah. Kamu udah bilang itu ratusan kali, bahwa aku harus jaga keperawananku, dan hanya boleh memberikannya sama suami aku.” Kinara mengangkat sebelah alisnya dan beringsut menjauhi Marchell. Tangan Marchell dengan cepat menarik tangan Kinara, lalu memeluknya dari belakang. “Kamu marah sama aku?” Marchell mengecup pucuk kepala Kinara. “Aku Cuma capek, nyembunyiin hubungan kita dengan alasan gak jelas. Apa ada yang salah sama hubungan kita? Enggak kan? Kita juga berhak bahagia cell, udah tujuh tahun kita begini!” “Kamu berhak bahagia dengan orang yang mencintai kamu dan kamu cintai Nar, dengan suami kamu.” Mata Kinara berkilat dia melepaskan pegangan tangan Marchell dengan kasar dan membalikkan tubuhnya. “Aku tahu kalau kamu gak pernah cinta sama aku Chell, dari dulu sampai sekarang. Kamu gak pernah ngucapin cinta sama aku! Selalu saja aku yang bilang kata-kata itu. Aku paham Chell, paham banget.” “Aku sayang sama kamu.” Kinara berdecih dan berjalan sambil membawa piring makanan lalu duduk di sofanya, dia paham sangat paham bahwa sampai kapanpun Marsha yang akan menjadi prioritas Marchell. Dan sebelum Marsha menentukan keputusannya, dia akan tetap digantung Marchell seperti sekarang ini. Entah sampai berapa lama lagi? Seminggu kepergian Shane dan berita tentang dirinya yang tengah mengidap suatu penyakit yang disebarkan oleh media, membuat saham perhotelannya menurun drastis. Hingga membuat Marsha bekerja dengan keras, selama ini semua tugas manajemen perusahaannya dibagi dua dengan Shane, namun sekarang Marsha yang harus menghandle semuanya. Dan muncullah berbagai spekulasi dari pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab yang membuat Marsha semakin pusing, bahkan beberapa investor menarik sahamnya. Tidak tanggung-tanggung saham berjumlah tiga puluh persen raib dari bisnis keluarga itu. Setiap hari Marsha pulang sudah dini hari kerumah, lalu pada pagi harinya dia harus datang kembali ke perusahaannya untuk memimpin rapat. Seperti malam ini, sudah pukul dua malam dan dia baru saja merebahkan dirinya di kasur. Marchell yang mendengar suara pintu kamar sebelahnya dibuka, langsung bergegas ke kamar itu, dan mendapati adiknya yang berbaring dengan kelelahan. “Baru pulang?” “Hmmm,” Marsha enggan berkomentar, Marchell lalu membaringkan diri di sampingnya dan menatap langit-langit. Marsha menoleh ke kakaknya dan membuka matanya. “Kenapa papa harus pelihara ular di kantornya Chell? Mereka para ular itu yang menyebarkan bisa, berusaha menggulingkan aku. Mereka bilang bahwa wanita tak sepantasnya memimpin perusahaan, padahal mereka tahu aku dapet banyak penghargaan di bidang bisnis.” Mata Marsha nyalang sementara Marchell tetap terdiam mendengar keluhan adiknya. “Kalau aja posisi kita ditukar Chell,” “Papa gak pernah maksa kita untuk pimpin perusahan Sha, dia malah ngebebasin kita, tapi kan kamu sendiri yang milih nerusin perusahaan hotel itu.” Marsha mendengus, “Iya sih, aku gak mau aja perusahaan di pegang ular-ular itu! Mau dibawa kemana ribuan karyawan papa dan mama nanti kalau pailit! Dan kadang aku nyesel kenapa perusahaan orangtua kita digabung begini? Jadi makin susah kan.” “Udah gitu para Investor mundur, dan tiap hari aku harus cari investor baru, Cuma biar saham kita naik lagi, kamu tahu gak Chell, lama-lama mereka makin nyebelin dan makin bertingkah, udah gitu.....” ucapan Marsha terputus mendengar dengkuran halus dari kembarannya itu. Marchell sudah tertidur pulas, bahkan mungkin keluhan Marsha hanya dianggap dongeng pengantar tidur olehnya. *** “Bangun Sha,” Marchell menarik selimut yang menutupi tubuh adiknya itu, “Lima menit lagi Chell,” Marsha menarik selimut itu kembali dan menutupi tubuhnya. “Aku dah buatin sarapan, bawa kesini ya.” Marchell nampak sabar sekali menghadapi adik perempuannya sementara Marsha hanya berdehem lalu membalikkan tubuhnya. Ketika Marchell berjalan ke tangga sambil membawa baki berisi sarapan Marsha, langkahnya terhenti menyaksikan adiknya yang telah rapi dan menuruni tangga, padahal belum sepuluh menit dia keluar dari kamar itu. “Kamu mau kemana? Udah mandi?” “Hahhh!! Wangi kan?” Marsha melewati Marchell begitu saja sambil menghembuskan nafasnya. “Aku nanya udah mandi belum? Bukannya udah gosok gigi belum?” Marchell mengekori adiknya. “Nih sarapan dulu.” “Udah telat Chell, untung tadi sekretaris aku telpon. Calon investor udah nunggu di ruang meeting tau gak?” Marchell terpaksa menyendok nasi dan menyuapi adiknya dengan paksa. “Bisnis sih bisnis tapi perut juga penting!” Marsha mengunyahnya sambil jalan, sampai masuk ke sebuah mobil yang tadinya ingin dikendarai sendiri, namun Marchell berteriak memanggil Bono yang asik bercengkrama dengan istrinya yang juga assisten rumah tangga disitu. Bono dengan tergesa menghampiri Marchell dan mengambil duduk di kursi kemudi, hingga dengan raut kesal Marsha pindah kebelakang. Lalu Marchell meletakkan baki itu di pangkuan Marsha. Dengan mata memerintah. “Mas Bono, pokoknya kalau dia belum habisin sarapannya jangan ngebut ya!” “Siap tuan!” Bono mengangkat tangannya dan diletakkan ke alis, bersikap hormat lalu melajukan mobilnya. Tak berapa lama Marsha sampai di kantor, Marsha menarik nafas panjang lalu merapihkan mini dress yang dibalut jas berwarna putih lalu dia menghela rambutnya ke samping, hingga nampak leher jenjangnya yang putih. Dan mengetuk ruang meeting. Nampak seorang pria sedang duduk membelakanginya, “Selamat pagi pak, maaf saya terlambat ada sedikit urusan tadi,” Marsha terus berceloteh sambil berjalan mengitari meja berbentuk lingkaran itu dan duduk di hadapan pria tadi. Lalu matanya membulat sempurna, kaget bahwa calon investor di hadapannya adalah pria yang sangat dikenalnya. Kevin! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD