Satu

1731 Words
Untuk menjadi sepasang kami harus bertunangan lebih dulu. Dari hasil keputusan papa dan ayahnya dua Dagantara itu, pesta pertunangan akan digelar satu minggu lagi. Rencana pernikahan pula sepakat akan diadakan 4 tahun setelah kelulusan dua Dagantara. Memikirkan pasangan seumur hidupku adalah Samuel, aku merasa tidak selera melahap roti yang tersaji. Aku tidak ingin menikah dengan Samuel. Sama sekali bukan karena wajahnya, namun karena aku memang tidak menyukainya dari hati. Kata Aliya, menikah adalah tentang saling mencinta bukan paksaan dan harapan bisa mendapat kekayaan. Tapi aku bukan seperti orang kebanyakan. Aku tidak bisa menikah dengan orang yang aku sukai. Aku harus menikah pada orang yang telah ditentukan dan itu adalah Samuel. Aera mungkin merasa paling beruntung karena mendapatkan Arkan yang tampan dan populer. Sayang dia tidak tahu bahwa Arkan adalah seorang player. Aku secara pribadi membenci diduakan lebih dari apapun, itu sebabnya semalam aku lebih setuju dengan Samuel. Namun setuju bukan artinya aku menerima dia secara penuh. Aku hanya merasa dia satu tingkat lebih baik daripada Arkan. Tetap saja aku masih menunggu seseorang yang aku sukai. Karena jujur sampa hari ini aku belum menemukan seseorang yang benar-benar aku sukai. Aku terbiasa disukai, jadi aku tidak memberi waktu untuk menyukai seseorang. Dan aku penasaran akan itu. “Non, Tuan Muda Samuel sudah sampai.” Aku menghela nafas. Meraih satu buah sandwich isi daging, lalu menyandang sebelah tasku. Papa dan mama telah berangkat ke luar negeri tadi subuh. Sementara itu Aera masih sibuk berdandan. Ketika aku sampai di luar, Samuel sudah berdiri di pintu mobilnya. Seragamnya sengaja dikeluarkan dan rambutnya yang panjang berantakan. Terlihat masih basah pula. Dia sepertinya tidak punya waktu merawat diri. “Kenapa kau tidak mengeringkan rambutmu?” tanyaku begitu sampai 30 cm di depannya. “Tidak sempat,” katanya lalu menarik pintu. Aku segera masuk ke dalam. Dia mendorong pintu dan kemudian segera memutar untuk kembali ke kursi kemudi. “Lain kali keringkan,” kataku benar-benar risih dengan keadaan rambutnya. Dia hanya mengiyakan dengan deheman pelan. Cih, menyebalkan! Kriuk Aku menoleh tak percaya. “Kau belum sarapan?” “Belum.” Mata tajamnya fokus pada keramaian. Dia bahkan tidak melihat seberapa comelnya aku melahap sandwich. Cih! Aku mengambil satu gigitan dari sandwichku. Lalu menyodorkan sisanya pada Samuel. “Aaaa...” Dia tidak membantah, langsung membuka mulutnya. Setelah sandwich itu masuk dia langsung mengunyahnya pelan. Aku tertawa. “Kau ini jenis penurut ya?” “Mungkin,” balasannya seraya memutar stir. Tatapannya serius sekali, apa dia tidak tertarik melirik aku yang cantik ini? “Sam,” panggilku berharap dia akan menoleh. “Hm?” Tetap saja matanya pada keramaian jalan. Argh, aku merasa gagal menjadi Seria yang biasanya bisa menarik perhatian banyak pria. Aku menyandarkan punggung. Mataku naik menelusuri rahang tajam Samuel. “Kamu menerima perjodohan ini?” tanyaku ingin tahu. “Kenapa tidak?” Dia melempar pertanyaan kembali. “Kita tidak saling mencintai. Dan kau tahu? Orang yang tidak saling mencintai tidak bisa membangun hubungan selamanya seperti pernikahan.” Dia melihatku dengan manik coklatnya yang pekat. “Siapa yang tidak mencintai memangnya?” Aku ingin bilang aku, tapi takut melukainya. Jadi aku memilih memutar balik fakta. “Kau,” kataku. “Kita juga baru bertemu. Mustahil saling cinta.” “Kalau begitu jalani saja, siapa tahu nanti kau mencintaiku.” Aku mengerenyitkan dahi. “Kau?” “Aku sudah mencintaimu.” Hampir saja mataku melompat dari tempatnya. “Kau bilang apa?” “Tidak ada siaran ulang.” “Menyebalkan sekali,” gerutuku. “Tapi wajar saja sih. Aku kan cantik. Sekali lihat kau pasti langsung jatuh cinta.” Aku tertawa pendek. “Bukankah kakakmu lebih cantik? Lihat saja seberapa mempesona pipinya yang semerah darah itu.” Tawaku pecah mendengarnya, dia pun ikut tertawa pendek. Ketika kami sampai di parkiran. Beberapa murid yang lewat membelalak tak percaya. Ya, akhirnya seorang Seria Manhataga pergi bersama seorang cowok ke sekolah. Dan cowok itu adalah cowok paling jelek di SMA Neptuna. Sungguh miris. “Kau mau kemana?” tanyaku melihat Samuel mengekoriku. “Tentu saja mengantarkan pasanganku,” balasnya. Dia menaikkan tangan dan memeluk pundaku. Aku hanya bisa menghela nafas pasrah. Kami memang seharusnya seperti ini. Aku harus terbiasa. Beberapa murid yang berpas-pasan di lorong berhenti untuk melihat kami secara jelas, lalu menggosip sambil pergi. Kami pura-pura buta dan tuli, terus melangkah hingga berhenti di depan kelas 11 IPS 2. “Temui aku di kantin nanti.” Dia menepuk puncak kepalaku beberapa kali lalu pergi. Saat aku meluruskan pandangan aku sudah mendapati ketiga temanku yang mengintip. “Jadi dia?” sergah Aliya. Aku mengangguk. “Astaga..” Mila terlihat frustasi. “Kenapa harus dengan Samuel? Sia-sia kecantikanmu, Ser.” Aku rasa itu benar. Devi menepuk bahuku. “Ayo kita cari yang baru,” ajaknya. “Kalian lupa?” kataku. “Tentu saja kami tidak lupa,” sahut Aliya. “Tapi kau bisa melawan arus bukan? Ini kebebasanmu.” Memang benar, tapi aku merasa tidak berdaya sedikitpun. “Nanti malam ada pesta di rumah sepupuku,” kata Devi beralih topik. “Kau ikut ya?” Pesta? “Boleh.” Aku juga tidak ada kerjaan di rumah. Aliya memberi jempol. “Mantap. Semoga di sana nanti kau bertemu pangeranmu.” Aku menggeleng-geleng. Bahkan jika bertemu pun, aku bisa apa? *** Pukul 12 siang bel istirahat berbunyi. Aku pergi ke kantin. Tentu saja tidak berniat khusus untuk menemui Samuel, namun ternyata cowok itu sudah di sana. Setelah aku siap memesan, aku pergi ke mejanya. Itupun setelah perang mulut dengan teman-temanku. Mereka benar-benar tidak setuju aku dan Samuel bersama. Padahal aku sendiri tidak setuju juga. Hanya saja aku mengerti seperti apa papa. Meskipun aku putri terakhir yang paling dia sayang, ketika aku melakukan pembantahan maka tidak hanya uang sakuku yang terancam. Namun aku juga berkesempatan besar tinggal di sebelah kandang kuda yang bau. Papa benar-benar pria yang anti dibantah. Semalam saja uang saku kakak langsung dipotong 50 persen karena pembantahannya atas Sam. Beruntung aku tidak melakukan yang sama atau aku juga akan seperti dia. “Hanya salad?” Sam mengangkat alis hitam tebalnya begitu aku duduk di sebelahnya. “Yup.” Aku meraih sendok dan memasukkan potongan apel bersaus ke dalam mulutku. Aku meliriknya kemudian. Dia sudah kembali melahap spaghetti di piringnya. “Kau suka spaghetti?” “Kenapa?” Dia menatap langsung mataku. “Tidak boleh?” “Bukan begitu,” balasku kesal. “Aku hanya bertanya tahu.” “Oh.” Tidak ada pembicaraan di antara kami lagi. Aku terfokus pada cerita Aliya tentang perjuangannya memotong sendiri poninya semalam. Cerita yang benar-benar luar biasa. Aku memegang poni panjangku. “Menurut kalian, kalau aku potong poni cantik tidak?” Ketiganya kompak berseru. “Tidak!” “Jangan potong rambut panjangmu itu,” ujar Devi galak. Aku cemberut. “Aku kan ingin mencoba gaya baru.” Aliya menyilangkan tangannya di depan d**a seraya menggerakkan kepalanya kanan dan kiri. “Tidak-tidak!” Aku mendesah kecewa. “Yah.” Padahal aku benar-benar ingin berponi pendek seperti Aliya. “Eh, nanti temani aku membeli gaun dulu. “ Mila membawa topik baru, mengubur perasaan kecewaku. “Aku duluan.” Mataku otomatis berpindah dari Mila pada Sam. Dia sudah berdiri, mengibas-ngibaskan seragamnya yang lusuh. “Nanti langsung saja ke parkiran.” Setelahnya di melangkah pergi, aku mengawasi hingga punggung tersebut menghilang. “Apa dia selalu begitu?” gumamku. “Begitu gimana?” tanya Devi bingung. “Dingin,” jelasku. “Yang kudengar sih begitu.” Devi membenarkan omonganku. “Makanya kau cari yang baru saja,” suruh Mila. “Benar.” Aliya setuju segera. “Daripada dengan Sam, mending dengan Geri. Sudah tampan, ramah lagi.” Aku menautkan alis. “Geri? Siapa?” “Astaga.” Aliya menyentil dahiku. “Geri yang pernah meminjamkan hoodienya untuk menutupi rokmu yang merah itu loh,” jelasnya greget. “Oh, itu Geri?” Aku baru tahu namanya. “Wait, tapi aku lupa wajahnya yang mana?” Plak Aku meringis mengelusi lenganku. Langsung saja aku melototi Devi. “Geri striker RedMan!” Perempuan berkuncir kuda tersebut menekan galak. Redman adalah club sepakbola utama Neptuna. Sam adalah salah satu pemainnya. Nah hanya Sam lah yang aku tahu, sisanya aku tidak kenal. Apalagi yang bernama Geri. Yang mana itu? “Sudahlah, nanti kita temui dia.” Aliya melerai kami. Karena jika dilanjutkan sudah pasti kami akan berujung saling jambak. Jujur aku tidak minat menemui Geri-Geri itu, tapi ketiga temanku, apalagi Devi terus memaksa. Mau tidak mau aku setuju. Istirahat kedua kami menghampiri anak-anak Redman yang berkumpul di kantin belakang. Meskipun klub sepakbola paling utama Neptuna, sifat buruk mereka tetap tidak bisa disembunyikan. Grup itu terkenal suka bolos dan merokok di kantin belakang. “Woa, lihat kita kedatangan bidadari.” Cowok berambut ikal langsung berseru heboh melihat kedatangan kami. Langsung saja anak Redman sisanya menoleh pada kami. “Seria, my baby.” Seorang cowok bertindik melambai padaku. Segera saja diejek oleh yang lain karena sok kenal padaku. “Seria?” Siapa lagi si kulit tan ini? Dia memblok jalanku. “Geri.” Devi di belakangku menyembulkan kepala. Melambai-lambai pada Geri, yang dibalas senyuman saja. “Ada perlu apa kesini?” Geri menatapku lagi. Aku memendarkan mata untuk mencari Sam. Hanya butuh beberapa menit, aku sudah menemukannya. Manik coklatnya yang tajam berkilat emosi. Namun caranya menyesap rokok dengan santai menutup emosi tersebut terdeteksi olehku. “Seria!” Cowok bertindik meloncat melampaui meja. Begitu sampai di depanku dia langsung berlutut. Astaga, mengejutkan saja. “Mau kah kamu jadi pacarku?” “Tidak.” Anak-anak cowok kompak menjawab. Dia melempar tatapan pada teman-temannya. “Aku tidak bertanya pada kalian.” Aku menarik pelan tanganku. “Maaf, aku sudah bertunangan dengan temanmu.” Mereka langsung heboh, bertanya satu sama lain siapa yang menjadi tunanganku. “Jangan bilang kau, Ger.” Si tindik menyipit pada Geri. “Tidak kusangka ternyata kau domba berbulu unta.” Aku mengabaikan keduanya. Memilih berjalan menghampirinya meja Sam. Dia menarik rokok yang terselip di bibirnya. “Apa?” “Nanti aku pulang dengan Devi. Bilang sama papa ya?” Yup, setelah perjodohan semalam. Segala aktifitasku harus diketahui oleh Sam. Apapun yang aku lakukan harus mendapat izin darinya. Sam berdehem pelan. “Hmm.” Dia kembali menyelipkan rokok ke bibirnya. Mata tajamnya pula memilih jatuh pada ponselnya daripada aku. “Ya sudah aku duluan.” Aku berbalik, namun merasa kesal bukan main karena dia sama sekali tidak bereaksi. Aku berbalik lagi, mengecup cepat pipinya. Aku berlari seperti the flash kemudian bersama teman-temanku. Mati sudah harga diriku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD