Planet Baru

935 Words
Aku menggenggam tangan Joon Ki dan menyandarkan kepala di bahu kirinya. Masinis kereta memberitahu bahwa stasiun tujuan kami akan tiba di perhentian berikut. Aku mengingat malam tadi, bibi So Ra memasakkan berbagai makanan enak sambil memberikan petuah - petuah untuk kami selama tinggal di Seoul. Tidak lupa, ibu Joon Ki terus mengingatkan kami bahwa Seoul adalah kota besar dan kami harus selalu saling membantu. Terlebih pesannya pada Joon Ki untuk menjagaku. Masih terasa pelukan erat dan penuh kekhawatiran bibi So Ra saat mengantar kami naik kereta tadi. Pesan - pesannya untuk rutin menelpon setiap hari, paling tidak dua hari sekali yang langsung dikeluhkan Joon Ki. "Jika kalian tidak menelpon sampai seminggu, Ibu akan datang sendiri ke Seoul untuk memastikan kalian baik - baik saja." Ancam bibi So Ra, membuat kami otomatis menghela napas pasrah. Tanpa kusadari, diriku tersenyum kecil mengingat hal itu. "Kamu sedang menertawakan apa?" Joon Ki menoleh. Aku menggeleng. "Ibumu, aku bersyukur mengenal ibumu." Bibir Joon Ki tertarik lebar. "Bersyukur mengenalku, lebih tepatnya." Aku mengangkat kepala dari bahu Joon Ki dan meninju lengan kirinya yang kurus namun liat. Joon Ki adalah atlet Taekwondo sejak sekolah menengah pertama. Meski terlihat kurus, dirinya cukup kuat untuk melakukan pekerjaan kasar apapun. "Bagaimana dengan demo musikmu, apakah sudah ada kabar?" Alih - alih menjawab, dia justru tersenyum penuh misterius ke arahku. "Aku akan memberitahukanmu nanti. Jika semuanya sudah pasti." "Maksudmu?" "Aku akan memberitahu, nanti." Aku mengerucutkan bibir ke arahnya, dengan cepat Joon Ki mengecup bibirku. Membuatku kaget dan memelototinya dengan marah. Ini masih di kereta. "Jangan cemberut, kamu terlihat menggemaskan." Bisiknya tak acuh, membuatku kesal dan mulai mencubiti perutnya sampai dia menyerah. "Geumanhae!*"  (*Hentikan!) Omelnya. "Jangan memperlihatkan dirimu yang menggemaskan di depan pria lain ya, aku akan marah." Pesannya. "Terlebih pria - pria Seoul. Mereka cenderung agresif jika tertarik pada wanita polos sepertimu." Aku mencibir pada perkataannya. Meski begitu, aku semakin mengeratkan pelukan di lengannya. Tentu saja aku tidak akan tergoda oleh pria lain, Joon Ki bukan hanya sekedar kekasih untukku. Dia adalah Dunia. Bagaimana bisa kau lari dan pergi dari Duniamu? Mustahil bukan? *** Aku mendapatkan sebuah kamar dekat Universitas berukuran studio dengan harga sewa yang murah dan lingkungan yang sangat bersih. Toko serba ada milik nenek masih beroperasi. Urusan keuangannya, diatur oleh paman Jung Tae Jin dan diawasi ayah Joon Ki. Secara berkala mereka akan mengirimkan sebagian keuntungan untukku. Aku percaya pada mereka berdua, seperti nenek mempercayai mereka. Dari uang itulah, aku daftar kuliah dan menyewa sebuah kamar. Sementara Joon Ki, mendapatkan kamar sewa di dekat universitasnya. Jarak kampus kami tidak begitu jauh. Naik bis hanya memakan waktu lima belas menit. Hari pertama hingga dua minggu, Joon Ki masih rajin datang ke tempatku. Kami makan bersama dan aku mengatakan padanya untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Tentu saja, aku tidak akan bergantung seratus persen pada keuntungan toko nenek. Aku juga harus memiliki tambang emas sendiri. Joon Ki membantuku mencari informasi tentang pekerjaan paruh waktu dan mendapatkannya di sebuah kafe di lingkungan elit. Beruntungnya, mereka menerimaku bekerja di sana dan menawarkan upah per-jam. Yang langsung kuterima dengan gembira. Ada seorang pekerja paruh waktu lainnya bernama Jung Mi Na dan dia juga kuliah di kampus yang sama denganku. Dengan cepat, kami pun segera menjadi teman akrab. Aku senang, pindah ke Seoul tidak menyeramkan seperti yang kuduga sebelumnya. Aku mendapatkan teman - teman yang baik, pekerjaan bagus dan tempat tinggal yang lumayan. Aku optimis menyambut hal ini. *** Sudah sebulan aku tinggal di kota ini. Kabar baik datang dari kekasihku. Joon Ki bersikeras ingin membelikan makanan enak untuk kami dan menyuruhku untuk tidak membeli apapun. Dia datang tepat jam tujuh malam, saat aku baru saja membersihkan kamar. Dia benar - benar boros kali ini. "Apa ini? Kamu sedang tidak berulang tahun kan?" Tanyaku bodoh. Tentu saja tanggal ulangtahunnya adalah peristiwa penting yang tidak boleh aku lewatkan. Bagaimana bisa, aku tidak mempersiapkan apapun untuk ulang tahunnya? "Duduklah, aku akan menyiapkan ini semua. Ada yang ingin kuberitahu." Senyum tidak lepas dari wajahnya. Aku lega. Pastilah dia membawa kabar baik. Dengan sabar aku menunggu Joon Ki menyiapkan semua makan malam di atas meja. Menuangkan minuman ke gelas kami berdua dan bahkan menyalakan lilin ala kadarnya. Yang terakhir membuatku tidak dapat menahan tawa. "Tunggu saja, kamu pasti akan berteriak gembira." Omelnya saat melihatku tertawa. Aku mengangguk dan merapatkan bibir. "Ae Ra-ya." Joon Ki berbisik lembut, "Park Ae Ri, apakah kamu senang jika impian kita semua tercapai?" Tanyanya, membuatku bingung. Tentu saja aku senang. "Itu pertanyaan retoris ya?" Jawabku. "Jawab saja. Senang atau tidak?" "Tentu saja senang. Bahagia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana mengekspresikannya." Jawabku berlebihan. "Kalau begitu, dengar ini baik - baik." Aku memajukan wajah ke arahnya. Api dari lilin di atas meja bahkan terasa sangat dekat denganku. "Aku mendapatkan kontrakku dengan SKY Entertainment. Sepuluh tahun." Aku berkedip cepat. Apakah aku salah dengar? "Kontrak?" Joon Ki mengangguk semangat. "Maksudmu?" "Aku lolos audisi. Mereka bahkan tidak membuat jadwal training untukku. Mereka langsung memberiku kontrak." Jawaban antusias Joon Ki membuatku membeku. Lidahku mendadak kelu. Tatapanku pada Joon Ki menjadi semakin mengabur. Bukankah semestinya aku bahagia? Impian Joon Ki sudah selangkah lebih dekat. Tapi perasaan apa ini? Kontrak artinya debut. Debut artinya, Joon Ki akan segera menjadi seorang idola. Dan kau tahu bagaimana bisnis idola dan dunia entertainment di sini? Terlalu kejam, terlalu mengekang dan tidak memiliki privasi. Sudah banyak berita - berita menyeramkan k****a tentang tekanan di dunia entertainment Korea. Bukankah seharusnya aku senang? Tapi tidak, ini terlalu cepat. Kami baru sebulan di Seoul. Banyak hal yang ingin aku lakukan bersamanya. Banyak tempat yang ingin kudatangi bersama Joon Ki. Banyak rencana yang kususun untuk melakukan segala hal bersama Kang Joon Ki. Melihatnya debut bukanlah salah satunya. Dan aku tahu, bagaimana sistem mereka bekerja. Sistem untuk mencetak idola - idola yang akan mereka pamerkan pada Dunia. Mereka seperti memimpin pasukan robot alih - alih manusia dan Joon Ki masih terlalu muda. Aku tidak sanggup membayangkan Joon Ki menjadi orang yang penuh tekanan demi memenuhi ekspektasi industri hiburan itu. Dan juga, aku belum siap kehilangan waktu bersama Joon Ki. Pria yang telah menjadi Dunia bagiku. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD