Chapter 2 : Learning to Love

1316 Words
ALICE Sudah sebulan sejak pertemuannya dengan cowok yang siapalah itu. Dan sama sekali tidak menunjukkan usaha untuk keep in touch, which means perjodohan ini bakal di batalin, seratus persen yakin. Pikirku. Nada dering di smartphoneku berbunyi. Dari mama. "Halo, mama, apa kabar?" jawab Alice. "Alice, kamu besok datang ke rumah ya, sama Nathan. Mama mau ketemu." Kata mama dengan nada senang. "Oh, ok. Eh, gak bisa. Hari kerja Ma." Sepertinya ada yang aneh. Eh? Nathan siapa? "Nathan siapa?" tanyaku. "Nathan siapa? Ya, pacar kamu dong, siapa lagi?" jawab mama. "Oh, namanya Nathan. Baru juga ketemu sekali, bukan pacar ma." Protesku. "Loh, kok baru sekali ketemu, bukannya udah dari sebulan lalu?" tanya mama. "Iya, pertama dan terakhir. Jodohinnya batal ya!" jawabku. "Udah dulu ya ma, masih ada kerjaan." "Eh, kamu masih di kantor? Udah jam sembilan loh, bahaya kamu perempuan pulang sendiri malem-malem gini," ceramah mama. Mengabaikan kata-kataku sebelumnya. "Minta Nathan jemput deh," usul mama. "Iya, ma, tau kok, rencananya mau nginep di kantor aja. Udah bawa baju ganti kok." Jawabku, tidak mempedulikan kalimat terakhir mama. Memang ada beberapa klien yang harus kuurus saat ini. Beberapa hanya meminta design kamar, jadi mudah saja, beberapa lainnya adalah klien besar, ada cafe yang ingin berganti suasana dan apartement besar yang masih kosong melompong. "Ya sudah, jangan kerja terlalu malam ya." Saran mama. "Iya, sudah dulu ya." aku pun memutuskan sambungan dan kembali menekuni pekerjaanku. Tok tok tok Siapa? Bukannya yang lain udah pada pulang? Bulu kudukku merinding. "Ma...masuk." ujarku, ragu. "Hi." Ujar suara serak dari balik pintu. "Ternyata lo. Err... siapa lagi nama lo?" tanyaku. "Nathan." Jawabnya, bingung dengan pertanyaanku. "Oke, kenapa lo ada di sini?" tanyaku. "Jemput lo. Ketemu lo. Whatever you want to call it." Jawabnya, menutup pintu di belakangnya. Aku mulai risih, hanya berdua seperti ini, tapi aku tetap duduk di kursiku. Tenang, banyak benda tajam di meja. Cowok itu, errr, Nathan? Mulai berjalan ke arahku. "Lo berani mendekat, gue tusuk lo." Ancamku, meraih salah satu cutter di atas meja, saat kulihat dia berjalan mendekatiku. "Hah?" tampak bingung disuguhi ancaman itu, sedetik kemudian, "Astaga, lo pikir gue mau nyerang lo? Mustahil lah. Gue gak begitu orangnya." "Terus, mau lo apa?" tanyaku, tetap mengacungkan cutter itu, membuat Nathan, eh inget juga namanya, berhenti di tengah ruangan. "Udah gue bilang tadi, ngejemput lo." Jawabnya tetap santai walau diacungi cutter. "Tadi mama lo nelpon, katanya lo masih di kantor. Udah malam. Bahaya pulang sendiri." "Gue bawa mobil kok. Pulang aja, gue bisa jaga diri." Tolakku. "Bahaya, lo cewek, udah malem." Ulangnya. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam kantong celana. Baru kuperhatikan kalau dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung di balik vest hitam, dasi merah plus celana hitam. Kenapa dia jadi keren?! "Gue nginep disini kok, lo pulang aja." Masih berusaha menolak. Setidaknya berusaha, karena sepertinya cowok yang berdiri dihadapanku ini tidak mengerti kata ditolak. "Lo mau tidur dimana? Gue tunggu." What? Gue gak pulang, bego! Lo mau tunggu sampai pagi?! Pikirku. Dia beranjak dari tempatnya berdiri, berjalan ke arah rak buku di sisi kanan ruangan, tempat ratusan sketchbook idea dan map-map hasil kerjaku tertata rapi. Dia mengambil secara acak, membolak-baliknya dengan cepat. "Ini semua lo yang bikin?" tanya, errr, Nathan? "Iya" jawabku, berusaha fokus pada pekerjaan dihadapanku. "Wow." Menyimpan sketchbook pertama dan mengambil yang lain. Begitu seterusnya. "Lo pulang aja deh." Gumamku, tidak bisa berkonsentrasi. "Gue udah bilang kalo gue nganter lo pulang." Jawab Nathan, matanya masih menatap buku-buku designku. "Gue bawa mobil kok, gak mungkin gue tinggalin kan?" protesku. "Besok gue jemput lagi." Balas Nathan. "Fine, gue gak bisa konsentrasi kerja kalo ada orang di sekitar gue." Aku beranjak dari kursi dan mulai membereskan pekerjaanku, berencana membawanya pulang. "Lo bawa kerjaan lo pulang?" tanyanya memperhatikan. Yang kujawab dengan anggukan. "Ternyata ada orang yang lebih workaholic daripada gue." Gumamnya pelan. Kalo klien gak numpuk begini gue gak bakal bawa pulang kerjaan tau!! Pikirku. Karena pekerjaan itu, alhasil aku harus membawa satu kantong besar penuh catatan dan desain. Dia berjalan mendahuluiku meninggalkan ruangan, kemudian berbalik dan merebut kantongan besar yang kubawa. Kasar banget sih, pikirku dalam hati. Tapi baik juga sih. Hmm. NATHAN Aku masuk ke dalam apartemen berukuran besar yang sudah lama kutinggali itu. Sial, sekarang sudah jam setengah satu, malam. Sebenarnya jarak antara kantorku, kantornya dan apartementnya cukup dekat, tapi karena apartement yang kubeli di dekat sana masih dalam tahap pembangunan, jadilah gue harus menempuh perjalanan satu jam dari daerah itu, kalau tidak macet. "Sial." Gumamku kesal sambil menbanting pintu kulkas. Tidak ada makanan. Karena harus menjemput cewek itu gue lupa kalo kulkas lagi kosong. Sebenarnya aku juga enggan memjemput cewek cuek gak tau sopan santun kayak Alice. Namanya aja yang bagus, sikapnya jelek. Kalo bukan karena orang tua gue yang selalu nyuruh-nyuruh buat nunjukin perhatian ke tuh cewek, bulan lalu pasti pertama dan terakhir kali gue ketemu tuh cewek. "Sial, maag gue!" erangku. Yang tersisa di lemari dapur hanya mie instan, dan itu hanya akan memperparah lambungku. ARGH!! Kalau begini jadinya, harusnya gue pulang kerumah, yang sebenarnya lebih dekat jaraknya dengan apartement Alice. Besok juga harus ngejemput Miss Late itu. Dammit. Andai saja Dad dan Mom dan Mike serta Lau yang ikut serta tidak menceramahiku tentang Miss Late itu, pastilah sampai saat ini gue baru satu kali bertemu dengannya. *Flashback Start* "Nate, you have to show her that you care. That's how you treat girl!" kata Mom, ya, karena Mom adalah keturunan Inggris, kebanyakan kami menggunakan bahasa Inggris jika berbicara dengannya, walau dia sangat fasih berbahasa Indonesia sekarang. "Mom, she's not even care if I'm around!" ujarku membela diriku. "She's late on our first meeting! I hate it, Mom, you know me!" "YEAH! Mr. On Time is going out with Miss Late!" seru Mike, kemudian tertawa, yang saat itu sedang duduk bersantai. Quality time kami sekeluarga. "Haha! Very funny Mike!" tawaku sarkastik. Melemparinya dengan bantal. "Dia bahkan tidak terlihat seperti perempuan. No make-up detected at the age of twenty four." "Gak semua cewek pake make-up kali!" protes Lau, tidak pada tempatnya, karena dia bahkan sudah mulai memakai make-up sejak di bangku SMP! "Betul kata Lau, lo aja yang doyan ama cewe feminin. Banyak kok cewek yang gak pake make-up tapi tetep cantik." Kata Mike. "Yes, I'm interest with a real girl, not halfy." "Nate, kamu mau membatalkan perjodohan ini?" tanya Dad, yang sedari tadi diam. "What? Kenapa Dad tiba-tiba bilang gitu?" tanyaku, kaget. Jujur saja, awalnya memang rasanya gue harus nolak perjodohan ini, tapi setelah dipikir-pikir, kenapa tidak mencoba dulu? Walau dengan cewek setengah jadi kayak Alice. "No, of course not. I'm fine with her. Probably. I don’t know." "Then you should learn to love her." Ujar Mom. "Learn to love? Why should I?" tanyaku, sebenarnya tahu maksud Mom, hanya memastikan apakah pemikiranku betul atau tidak. "Jika perjodohan ini terus hingga kalian menikah, tanpa ada cinta, you know how it will end up, right? Divorce. Dan Dad tidak akan pernah mau hal itu terjadi di keluarga ini." Kata Dad. "Yes, Dad. I know. I'll try." Jawabku. Belajar mencintainya? Okay with me. Masalahnya, apakah dia akan melakukan hal yang sama? *Flashback End* Jezz, ini sudah jam setengah delapan dan dia sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya. Miss Late. Harusnya kemarin gue tanya apartementnya di lantai berapa!! Untuk kesekian kalinya kutelpon, akhirnya diangkat juga. "Halo?" jawab Alice. "Lo lama banget sih. Gue udah nungguin lo dari setengah jam yang lalu." Protesku padanya. "Eh, lo di apartement gue?" tanya Alice. "Ya iyalah, gue udah bilang kemarin, mobil lo di tinggal di kantor, kan?" jawabku kesal. "Gue udah di kantor dari sejam yang lalu." Kata Alice, cuek. What?! Naik apa? Bukannya mobilnya di tinggal? Emang dia punya dua mobil? Pikirku. "Naik taksi." Jawab Alice. Ternyata tanpa sadar menyuarakan pikiranku. "Oh, ok." Gumamku. Learn to love. Alright, Mom. "Nanti siang lunch bareng yuk. Gue jemput di kantor lo jam 12. On time. Please jangan telat." Kenapa dia jadi cepet banget? Bukannya dia selalu lama? Bukannya dia 'Miss Late'?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD