Again and Again, Meet?

1075 Words
        “Aku sudah menebak kalau semesta akan membuat kami kembali bertemu, tapi kenapa secepat ini?”         *         “Lo ....” Jessi meluruskan telunjuknya kepadaku, “.... mata lo bengkak.”         Aku menurunkan telunjuk Jessi, mendengus pelan sebelum melangkah menuju dapur.         “Lo nangis semalaman?” tanya Jessi mengikutiku.         Aku membuka kulkas, mengambil air dingin dan langsung meneguknya dari mulut botol. Ujung mataku bisa menangkap tatapan menyelidik yang dilayangkan Jessi untukku.         “Gara-gara Mike, ya?” tanyanya lagi. “Benar kan, gue. Lo kenal sama dia?”         “Kenapa kamu mempunyai waktu untuk menanyakan hal ini?”         Jessi tersenyum lebar, “Karena hari ini aku hanya memiliki satu pasien.”         “Kalau kamu ada waktu untuk mengurusi urusanku, tolong jangan tanggung-tanggung. Kamu bisa sekalian mengurusi hal lain, membayarkan asuransiku, cicilan apartemen ini, pekerjaan dan ....”         Jessi mengangkat tangannya, “Gue harus ke rumah sakit.”         Dia segera berbalik badan dan meninggalkan aku, tapi begitu ia tiba di pintu, suaranya kembali terdengar.         “Jadi, dia siapanya lo? Mantan, ya?”         “Mantan?”         Aku hampir melompat karena kaget, tapi langsung bisa menguasai diri setelah mendengar tanya yang disampaikan dengan nada datar tersebut.         “Kamu tidak ke rumah sakit?” tanyaku saat melihat Anna berdiri di dekatku dengan piyama masih membalut tubuhnya.         “Aku off.”         Aku mengangguk sambil mengeratkan genggaman pada botol minum yang masih kupegang.         Anna melihat sejenak ke arahku, berbeda dengan Jessi, sahabatku yang satu ini hanya menatap tanpa menuntut jawaban atas pertanyaan yang sudah ia lontarkan. Anna tidak juga menunjukkan ekspresi yang berarti,  ia tetap saja pada ekpresi kesehariannya, datar dan dingin.         Aku menggeser tubuhku, sedikit menjauh dari depan kulkas. Lalu Anna segera menggantikan aku untuk berdiri di depan lemari pendingin tersebut. Tak lama setelahnya, ia juga menuntaskan dahaganya dengan beberapa teguk air putih.         Aku masih memperhatikan Anna ketika ia memutar tubuhnya menghadap ke arahku dan bertanya, “Mau keluar?”         *         Aku dan Anna pergi ke kafe yang terletak tepat di depan apartemen kami. Aku sangat menyukai nuansa kafe ini, sangat sejuk. Aku terkadang suka menghabiskan waktu berjam-jam di sini, seorang diri. Selain karena lokasinya yang tidak terlalu jauh, kafe ini memiliki jam operasional penuh, artinya dengan jadwalku yang tidak menentu, aku bisa datang kapan saja ke kafe ini. Dan tempat faforitku adalah lantai dua di bangku paling ujung karena menurutku itu tempat yang strategis untuk memandang ke arah jalan. Lagi pula kalau kebetulan aku ke sini saat malam, di posisi ini membuatku lebih leluasa memandang pemandangan kerlap-kerlip lampu kendaraan.         Aku memesan cokelat panas kesukaanku, tanpa s**u tanpa gula dan juga tanpa karamel. Hanya cokelat. Sementara Anna memesan kopi hitam, juga tanpa gula maupun pemanis lainnya.         Hening menguasai tempat dudukku dan Anna. Selain karena memang aku sedang malas untuk berkata-kata, diam adalah suatu hal yang sangat dikuasai Anna. Kami menghabiskan waktu seperti orang asing yang dipertemukan di satu meja. Hanya sibuk dengan pemikiran sendiri dan juga menikmati minuman masing-masing.         Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya aku tidak pernah keluar berdua dengan Anna. Ini yang pertama dan juga menjadi kali pertama seorang Anna mengajak seseorang untuk menikmati waktu senggang. Selama ini jika ada waktu kosong selalu Jessi yang mengajak keluar. Dan Anna sering tidak ikut, menurutnya waktu senggang yang ia punya mutlak hak miliknya dan tidak bisa diganggu oleh orang lain.         Jadi, inisiatif dia kali ini membuatku bertanya-tanya, tapi sepertinya aku bisa menarik satu kesimpulan. Bahwa sahabatku yang satu itu tidak terlalu dingin dan masih memiliki hati kalau seseorang benar-benar mau memperhatikannya.         Baiklah, sepertinya aku tidak ada waktu untuk memahami kepribadian Anna lebih lanjut. Karena sesuatu di depanku benar-benar membuatku mematung. Bagaimana bisa Mike ada di sini? Aku sudah menebak kalau semesta akan membuat kami kembali bertemu, tapi kenapa secepat ini?         Dengan mata yang terfokus menatap ke arah Mike, aku bisa melihat Anna memutar tubuhnya. Selang beberapa detik berikutnya, ia kembali memperbaiki duduknya, menghadap ke arahku dan menyesap kopi hitamnya perlahan.         “Kalau tidak ingin bertemu dengannya, abaikan saja.”         Aku terkejut, tapi tidak sempat berkata karena Anna kembali bersuara.         “Kalau terlalu menyakitkan untuk melihatnya, pergi saja. Karena kadang melarikan diri membuat napas lebih lega, meski hanya sesaat. Cuma untuk beberapa orang, sesaat ini sangat berharga.”         *         Aku benar-benar pergi setelah Anna mengucapkan hal tersebut. Anna benar, memilih melarikan diri terkadang merupakan hal yang tepat. Meskipun tidak lama, tapi aku bisa menarik napas dengan lega.         Ini aneh, tapi aku kembali harus menahan emosiku. Kenapa saat aku melihatnya muncul kemarahan dalam diriku seakan menguar?         “Ann,” ucapku pelan ketika kami tiba di lobi apartemen. “Aku harus ke suatu tempat.”         Anna melihatku sejenak, kemudian ia mengangguk tanpa suara. Setelah Anna memasuki lift yang akan membawanya ke lantai apartemen kami, aku melambaikan tangan pada supir taxi yang baru saja menurunkan seseorang di depan sana.         “Ke mana, Mbak?” tanya supir taxi setelah aku duduk di bangku belakang mobilnya.         “Tolong jalan dulu saja, Pak,” ujarku.         Untungnya supir taxi yang kutaksir tengah berusia empat puluh tahunan ini tidak bertanya lagi. Ia hanya mengangguk kemudian mengendarai mobilnya menuju jalan raya, menjadi salah satu pengisi jalanan ibu kota.         “Terima kasih, Pak,” kataku sebelum turun dari mobil dan menutup pintu.         Aku menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Kulakukan hal itu berulang kali sampai angin sejuk kembali menyapaku. Membuat beberapa helaian rambutku terbang juga membawa tenang merasuki pikiranku.         Aku melangkah dengan ringan, sedikit merasa bersalah karena tanganku tidak membawa apa-apa. Tapi kupikir bunga yang kemarin kubawakan masih berbau harum, jadi hari ini mungkin aku bisa meminta maaf saja.         “Halo, Nak,” gumamku sambil mengusap batu nisan dengan ukiran tulisan Angel tersebut. “Apa kabar kamu di sana?”         Mataku sudah kembali terasa panas, sepertinya sebentar lagi cairan bening itu berhasil mendobrak pertahananku. Namun aku bisa menahan diri saat kudengar derap langkah kaki mendekat ke arahku. Langkahnya berhenti dan aku bisa merasakan seseorang sedang berdiri di belakangku. Aku tidak berbalik badan, hari ini sepertinya aku akan membalas sapaan pak Ujang tanpa menoleh. Aku terlalu malas untuk bertatap muka dengan siapapun, hanya saja setelah sekian lama aku menunggu pak Ujang tidak juga bersuara, tapi ia juga tidak beranjak dari belakangku. Karena penasaran, akhirnya kuputuskan untuk memulai obrolan dan melihatnya saja. Rasanya juga kurang sopan kalau aku berbicara sambil membelakangi orang seperti yang tadi kuniatkan.         “Selamat siang, Pak Ujang,” ucapku sambil berdiri.         Aku belum berbalik badan, tapi seseorang dibelakangku tidak menyahut salamku. Antara takut dan heran, aku memutar tubuh untuk kemudian tertegun karena sesuatu berdiri di sana. Mengunciku dalam satu tatapan lurus.         *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD